Ahlan Wasahlan wa Marhaban Biziyaaratikum.. Selamat Membaca dan Menikmati Sajian dari kami.. :)..
Penasihat : Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam | Pemimpin Umum : Joko Waluyo, S.Pd.I | Pemimpin Redaksi :Devi Muharrom Sholahuddin, Lc. | Wakil Pemimpin Redaksi : Muhammad Sendi Sayyina, S.Pd.I | Dewan Redaksi : Ali Nurdin, M.S.I, Asep Deni Fitriansyah, M.Phil., Asep Ali Rosyadi, S.Ag., Asep Roni Hermansyah, S.Pd.I, Ajat Syarif Hidayatullah, S.Pd.I Al-Hafidz | Distributor : Munir Hermansyah, S.Pd.I, Egi Mulyana, S.Pd.I, Acep Mutawakkil | Dapur Redaksi : Gedung Perpustakaan Pondok Pesantren Darussalam Sindang Sari Kersamanah Garut Indonesia 087758202070 | Risalah Ilmiah FIGUR Darussalam diterbitkan oleh Forum Ilmiah Guru (FIGUR) Pondok Pesantren Darussalam, terbit seminggu sekali, Redaksi menerima tulisan dari berbagai kalangan dan berhak untuk mengeditnya tanpa merubah maksud dan isi tulisan | Kritik dan saran silahkan hubungi redaksi via surat, telepon atau email (figur-darussalam@yahoo.com)

Rabu, 22 Desember 2010

Menyikapi Perbedaan Pendapat Fiqh

No. 18, 17 Muharram 1432 H/23 Desember 2010 M

Menyikapi Perbedaan Pendapat Fiqh
Oleh: Feri Firmansyah
Alumni ke-13 PP.Darussalam Tahun 2004 (REGARD)
Mahasiswa Ushuluddin, Jurusan Tafsir, Universitas Al-Azhar, Kairo

Membahas perbedaan pendapat memang sangat menarik. Terutama berkaitan dengan masalah fiqh. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar, sebagaimana Pepatah Arab mengatakan: "likulli ra'sin ra'yun" (setiap kepala mempunyai pendapat). Semua perbedaan pendapat dalam hal ini, harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana Firman Allah Swt. :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).” (Qs. An Nisa’ [4]: 59).

Memang benar semua permasalahan harus dikembalikan pada al-Qur'an dan Sunnah, Namun, yang jadi permasalahan saat berusaha kembali ke sumber Al-Qur'an dan Sunnah, terjadi perbedaan metodologi dalam menafsirkan, mengartikan sumber tersebut. Lantas timbullah pertanyaan. Bagaimana pandangan ulama terhadap perbedaan pendapat itu? Dan bagaimana sikap kita dalam menghadapi dan mengambil prioritas pendapat fiqh tersebut? Lalu, bagaimanakah kita menerima satu pendapat dan menyisihkan yang lain?

Masalah Umat dalam Memilih Pendapat Fiqh

Perbedaan pendapat ulama tentang masalah fiqh, terkadang membuat orang menjadi bingung. Kebingungan untuk memilih pendapat yang paling benar, kuat atau pun rajih. Sedangkan fenomena yang terjadi, para ulama yang berselisih pendapat adalah mereka yang 'alim dan tidak diragukan kapabelitas keilmuannya.

Dengan adanya perbedaan pendapat ulama, orang terkadang salah dalam menyikapinya.. Mereka cenderung mengikuti para pendahulunya dengan fanatik buta dan menyalahkan pendapat yang lainnya, tanpa mempelajari lebih dalam sebab-sebab perbedaan pendapatnya. Sehingga, kalau sudah fanatik akan terjadi perselisihan dan perpecahan umat.

Selain itu, muncul masalah adanya perang pemikiran yang dilontarkan oleh orientalis. Mereka berusaha mengubah hal yang bersifat qath'i (definitif) kepada zhanni. Dan ada yang mengubah hal-hal yang muhkamat dalam al-Qur'an kepada mutasyabihat. Sebagaimana orang yang menentang pengharaman khamr, riba, daging babi dan lain sebagainya. Mereka mengatakan bahwa itu semua tidak haram dengan menggunakan dalil-dalil 'aqlinya. Inilah pendapat yang keliru yang harus diluruskan.

Orientalis gemar menyingkirkan yang jelas dan menonjolkan yang samar. Dalil yang samar itu biasa disebut sebagai ayat-ayat mutasyabihat, sedangkan dalil yang jelas itu biasa disebut sebagai ayat-ayat muhkamat. Allah telah menjelaskan hal ini di dalam firman-Nya,
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
“Dialah -Allah- yang telah menurunkan kepadamu Kitab suci itu, di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat yaitu Ummul Kitab sedangkan yang lain adalah ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya menyimpan penyimpangan/zaigh maka mereka akan mengikuti ayat yang mutasyabih itu demi menimbulkan fitnah dan ingin menyimpangkan maknanya…” (Qs. Ali Imran: 7)

Ibnu Juraij menjelaskan maksud ungkapan ‘orang-orang yang di dalam hatinya tersimpan penyimpangan’ di dalam ayat ini, “Mereka itu adalah orang-orang munafik.” Hasan al-Bashri berkata, “Mereka itu adalah kaum Khawarij.” Qatadah mengatakan, “Apabila mereka itu bukan Haruriyah (Khawarij) dan Saba’iyah (Syi’ah) maka aku tidak tahu lagi siapakah mereka itu.” al-Baghawi berkata, “Ada pula yang berpendapat bahwa ayat ini mencakup semua ahli bid’ah.”
‘Aisyah radhiyallahu’anha meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا رَأَيْتِ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكِ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ
“Apabila kamu melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mustasyabihat maka mereka itulah orang-orang yang disebut oleh Allah -di dalam ayat tadi- maka waspadalah kamu dari bahaya mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dll)

Pandangan Ulama Mengenai Perbedaan Pendapat

Para ulama mempunyai pandangan masing-masing dalam menghadapi perbedaan pendapat fiqh. Ibnul Qosim mengatakan bahwa beliau mendengar Malik dan Al-Laits berkata tentang masalah perbedaan pendapat di antara sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah tepat perkataan orang-orang yang mengatakan bahwa khilaf (perbedaan pendapat) boleh-boleh saja (ada kelapangan). Tidaklah seperti anggapan mereka. Di antara pendapat-pendapat tadi pasti ada yang keliru dan ada benar.”

Begitu pula Asyhab mengatakan bahwa Imam Malik ditanya mengenai orang yang mengambil hadits dari seorang yang terpercaya dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau ditanya, “Apakah engkau menganggap boleh-boleh saja ada perbedaan pendapat (dalam masalah ijtihadiyah)?”, Imam Malik lantas menjawab, “Tidak demikian. Demi Allah, yang diterima hanyalah pendapat yang benar. Pendapat yang benar hanyalah satu (dari berbagai pendapat ijtihad yang ada). Apakah mungkin ada dua pendapat yang saling bertentangan dikatakan semuanya benar? Tidak ada pendapat yang benar melainkan satu saja.”
Para ulama sepakat bahwa suatu keputusan yang ditetapkan melalui ijtihad tidak sama dengan ketetapan yang berasal dari nash. Apa yang telah ditetapkan oleh nash, kemudian didukung oleh ijma' yang meyakinkan tidak sama dengan apa yang ditetapkan oleh nash tetapi masih mengandung perselisihan pendapat.

Perbedaan pendapat yang terjadi menunjukkan bahwa hal itu adalah masalah ijtihad. Dalam masalah ijtihadiyah, tidak boleh terjadi saling mengingkari antara ulama yang satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, sebagian ulama memiliki peluang untuk mendiskusikannya dengan sebagian yang lain dalam suasana saling menghormati. Selain itu, apa yang telah ditetapkan oleh nash juga banyak berbeda dari segi apakah nash itu sifatnya qath'i (definitif) atau hanya zhanni.

Masalah-masalah yang qath'i dan zhanni berkaitan dengan tetapnya nash (tsubut) dan penunjukannya (dilalah). Diantara nash-nash itu sifatnya sebagai berikut:
1. Ada nash yang ketetapannya (tsubut-nya) zhanni dan penunjukkannya (dilalahnya) juga zhanni.
2. Ada nash yang ketetapannya zhanni, dan penunjukannya qath'i
3. Ada nash yang ketetapannya qath'i, dan penunjukkannya zhanni
4. Ada nash yang ketetapannya qath'i dan penunjukkannya juga qath'i

Ketetapan yang bersifat zhanni ini khusus berkaitan dengan sunnah yang tidak mutawatir. Pengertian sunnah mutawatir adalah sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari sekelompok orang yang lain, dari awal mata rantai periwayatan hingga akhirnya. Sehingga tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk melakukan kebohongan.

Penunjukkan yang bersifat zhanni mencakup sunnah dan al-Qur'an secara bersamaan. Kebanyakan nash yang ada padanya mengandung berbagai macam pemahaman dan penafsiran, karena ungkapan yang dipergunakan pada keduanya sudah barang tentu ada yang hakiki dan ada yang kiasan, ada yang bersifat khusus dan ada yang umum, ada yang mutlak dan ada yang terikat, ada yang berindikasi kesamaan, ada yang berindikasi kandungan yang sama, dan ada pula yang berindikasi sejajar.

Seluruh al-Qur'an tidak diragukan lagi bahwa ketetapannya bersifat pasti, akan tetapi kebanyakan ayat-ayatnya -dalam masalah yang kecil (juz'iyyat)- penunjukannya bersifat zhanni. Inilah yang menyebabkan para fuqaha berbeda pendapat dalam mengambil suatu kesimpulan hukum. Akan tetapi untuk masalah-masalah yang besar, seperti masalahah ketuhanan, kenabian, pahala pokok aturan ibadah, hukum-hukum jinayat, hudud dan lainnya telah dijelaskan dalam ayat yang muhkamat, yang tidak dapat dipertentangkan lagi, sehingga orang berpandangan sama. Bagi orang yang menentang, maka termasuk orang yang keluar dari Islam.

Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa dalam pembahasan nash yang bersifat zhanni, dapat disimpulkan:
1. Seseorang dimaafkan jika dia menolak nash yang ketetapannya bersifat zhanni, jika dia mempunyai dalil yang menunjukkan bahwa dalil itu tidak pasti.
2. Seseorang juga dimaafkan apabila dia menolak suatu pendapat yang berdasarkan nash yang penunjukannya bersifat zhanni, atau untuk memberikan suatu penafsira baru yang belum pernah dilakukan oleh generasi ulama terdahulu. Tentu saja apabila penafsiran seperti itu mungkin dilakukan.
3. Kadangkala seseorang tidak dimaafkan karena melakukan ini dan itu ketika dia menolak nash yang bersifat zhanni, apabila dia sengaja menghindarinya atau mencari yang paling mudah bagi dirinya. Namun tindakan ini tidak sampai membuatnya kafir da mengeluarkannya dari agama ini karena tindakan tersebut. Paling jauh, dia dianggap melakukan bid'ah atau dituduh melakukan bid'ah dan keluar dari jalan yang biasa dipergunakan oleh Ahlussunnah. Allah-lah yang akan memperhitungkan apa yang dilakukan olehnya.

Sikap Kita dalam Perbedaan Pendapat Ulama

Dalam menyikapi perbedaan pendapat ulama, kita harus menghormati perbedaan pendapat ulama tersebut dan mempelajari lebih dalam metodologi pentarjihan. Sehingga, kita bisa bijak dalam memilih pendapat fiqh. Tidak fanatik buta ataupun salah menafsirkan nash-nash qath'i maupun zhanni.

Sebaik-baiknya memahami Islam adalah dengan mengikuti pemahaman para 'ulama yang 'alim yang dikenal dengan salafusshalih. Yang dapat menjelaskan dan memecahkan berbagai permasalahan dengan merujuk al-Qur'an dan as-sunnah. Mereka itu dari kalangan shahabat dan dari kalangan tabi'in dan tabi'at tabi'in. Merekalah sebaik-baik generasi dari umat ini, seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw: "Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian setelahnya, kemudian setelahnya" (HR. Bukhari & Muslim).. "Wallahu'alam bisshawab".

DAFTAR BACAAN

1. Fii Fiqhil Aulawiyat, Dr. Yusuf al-Qaradhawi
2. Shahih Fiqhussunnah, As-sayid Sabiq
3. Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir
4. Shahih Bukhari, Imam al-Bukhari
5. Ma'alim at-Tanzil, al-Baghawi
Read more »

Kamis, 16 Desember 2010

ISLAM DAN LIBERALISME

No. 17, 10 Muharram 1432 H/16 Desember 2010 M

ISLAM DAN LIBERALISME
Oleh : Erfan Shofari Sholahuddin,S.H.I.
(Peserta Program Kaderisasi Ulama Angkatan Ke-IV ISID Gontor)


Islam adalah agama yang sempurna, Nabi Muhammad Saw sebagai penutup para Nabi, adalah orang yang Allah utus untuk membawa risalah Islam. Islam yang dibawa Nabi Muhammad mencakup segala aspek. Islam adalah Negara, Ummat dan Peradaban.

Islam telah menunjukan kebenaran yang nyata dan semua itu jelas terekam sepanjang sejarah perjalanan Islam, Namun demikian kebenaran tidak selamanya diterima oleh sumua pihak, namun banyak yang mengingkarinya

Tantangan mendasar yang dihadapi ummat Islam saat ini bukan berupa ekonomi, politik, sosial dan budaya, tapi tantangan pemikiran. Tantangan pemikiran ini bersifat Internal dan External sekaligus. Tantangan Internal adalah kejumudan, fanatisme, taklid, bid’ah dan khurofat. Sedangkan tantangan External adalah masuknya paham, konsep, sistem dan cara pandang asing seperti Liberalisme, sekularisme, pluralisme agama, relativisme, feminisme dan gender dan yang lainnya kedalam wacana pemikiran dan kehidupan ummat Islam, sehingga yang terjadi adalah kercancuan berfikir dan kebingungan intelektual.

Sudah menjadi kebiasaan Barat, mereka sengaja menciptakan bermacam-macam istilah dan terminologi untuk meletakkan Dunia Islam dalam aneka perangkap. Mereka, misalnya, menciptakan berbagai istilah (dictation): Islam tradisional-modern, Islam moderate-fundamentalis, Islam legalistik/formalistik-subtantif normatif, Islam kultural-struktural, dan Islam inklusif-eksklusif dll.

Barat juga sengaja melontarkan beragam istilah dan pemikiran dengan trend politik maupun ideologi. Semua itu dimaksudkan untuk meragukan keyakinan umat terhadap pemikiran Islam serta melakukan permainan istilah yang berbahaya; semata-mata kerana ketakutan melihat revivalisme (kebangkitan) umat melalui ideologi Islam.

Mereka memunculkan pemikiran nasionalisme, demokrasi, pluralisme politik, hak asasi manusia, kebebasan, globalisasi, dan sebagainya; termasuk dalam hal ini adalah apa yang dikenal dengan istilah yang sangat asing (absurd): “Islam Liberal”.
Pada kesempatan ini, penulis mencba mengkaji secara historis maupun muatan ide dasar dari ide-ide tersebut di atas, baik Islam sendiri, maupun Liberalisme.

ISLAM

Islam adalah agama (Ad-Dien) yang diturunkan oleh Allah SWT, kepada utusan terakhirnya, Muhammad SAW. Agama ini berisikan seluruh ajaran dan panduan hidup manusia di dunia. Panduan ini bersifat lengkap untuk kesejahteraan seluruh manusia. Panduan bagaimana manusia berhubungan dengan penciptanya, yaitu Allah SWT. Panduan, bagaimana manusia berhubungan dengan manusia yang lainnya, serta panduan bagaimana manusia berhubungan dengan dirinya sendiri.

Seluruh panduan dalam Islam berasal dari Allah swt, yang mutlak kebenarannya. Berisi perintah dan anjuran, begitu pula larangan dan cegahan, serta pilihan yang diserahkan kepada manusia untuk bebas memilihnya.

Secara garis besar, Islam berisikan tentang Aqidah dan Syariat. Aqidah merupakan panduan berupa keyakinan-keyakinan yang harus diimani oleh manusia. Sedangkan Syariat adalah panduan hukum yang berkenaan dengan perbuatan manusia.
Beberapa hal tentang aqidah serta Syar’iat bisa dijelaskan dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:

1. Inti aqidah Islam adalah Laa ilaaha illallah, muhammadun rasuulullaah. Artinya, tiada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah swt, dan Muhammad saw, adalah utusan Allah.
2. Aqidah Islam meyakini bahwa pencipta alam seisinya adalah Allah swt. Manusia hidup di dunia ini adalah untuk menjalankan perintah Allah swt. Setelah mati, manusia akan mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya di Akhirat, di hadapan Allah swt. Untuk kemudian diganjar ataupun disiksa sesuai dengan perbuatannya di dunia.
3. Aqidah Islam adalah aqidah yang membawa konsekuensi kepada manusia untuk terikat dengan Syariat Allah swt. Syari’at tersebut melingkupi segenap aspek kehidupan manusia. Jadi di dalan Islam, tidak ada satu pun aspek dalam kehidupan manusia ini yang lepas dari aturan Syari’at Allah. Oleh karena itu, Islam mempunyai kekhasan hukum tersendiri dibandingkan dengan syari’at lain manapun. Syari’at Islam (syari’at Allah swt) meliputi hukum-hukum yang menyangkut antara lain : Aqidah, Ibadah, Akhlaq, Muamalah (politik, ekonomi, peradilan, pendidikan dll)
4. Dari Aqidah Islam inilah terpancarkan satu sistem kehidupan yang meliputi sistem politik Islami, sistem ekonomi Islami, sistem pergaulan yang Islami , sistem pendidikan Islami, sistem peradilan Islami dan sistem-sistem lainnya yang Islami.
5. Aqidah Islam bukanlah aqidah sekular, yang memisahkan agama dari kehidupan. Aqidah Islam adalah Aqidah ruhiyah sekaligus aqidah siyasiyyah. Aqidah ruhiyyah adalah aqidah yang terpancar darinya keyakinana-keyakinan tentang akhirat, sedang aqidah siyasiyyah adalah aqidah yang terpancar darinya aturan-aturan kehidupan di dunia.

LIBERALISME

Liberalisme adalah sebuah ajaran tentang kebebasan. Isme ini lahir seiring dengan lahirnya sekularisme. Jadi Liberalisme adalah anak kandung Sekularisme.Ia bersaudara dengan Kapitalisme dan Demokrasi. Ia mengajarkan akan kebebasan manusia dalam hal apa saja. Kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku dan kebebasan kepemilikan. Dari liberalisme ini muncullah gerakan-gerakan baru yang mengatas namakan gerakan memperjuangkan HAM, Hak Asasi Manusia.

Liberalisme, yang sekarang ini dianut oleh negara-negara Barat dan seluruh pengikutnya, berawal dari adanya kompromi yang terjadi antara pihak agamawan (gereja Eropa) dan golongan Ilmuwan (scientist) Eropa yang tidak puas dengan adanya aturan-aturan yang diberlakukan pihak gereja dalam masyarakat.. Kesepakatan itu isinya adalah pemisahan antara urusan akhirat yang diberikan wewenangnya kepada pihak agamawan, sedangkan urusan dunia diserahkan sepenuhnya kepada pihak masyarakat pada umumnya. Pemisahan agama dari kehidupan inilah yang menjadi awal lahirnya sekularisme.

Beberapa hal tentang Aqidah sekuler yang bisa dijelaskan secara singkat dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut :

1. Urusan agama adalah wewenang pihak gereja, sedangkan urusan kehidupan dunia adalah wewenang masyarakat pada umumnya. Agama adalah urusan individu yang tidak boleh dibawa-bawa dalam urusan publik dan kenegaraan.
2. Tuhan telah menciptakan manusia, adapun hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia diserahkan sepenuhnya kepada manusia untuk membuatnya.
3. Dari aqidah sekular ini terpancarlah aturan-aturan dan system kehidupan. Terpancarlah darinya sistem ekonomi (Kapitalis), sistem Pergaulan Kehidupan yang bebas dan permissive (Liberalis) dan sistem politik pemerintahan (Demokrasi)
4. Liberalisme, lebih lanjut mengajarkan adanya kebebasan dalam hal :
a. Beragama
b. Berpendapat
c. Berperilaku
d. Kepemilikan

PERBANDINGAN ANTARA ISLAM DAN LIBERALISME :

1. Aqidah :
Liberalisme beraqidah sekular, sedangkan Islam tidak beraqidah sekular
2. Sistem kehidupan yang terpancar darinya :
Islam menuntun kehidupan dengan sistem-sistem yang lahir dari Agama Islam itu sendiri. Aturan Islam datang dari Allah swt. Liberalisme melahirkan aturan-aturan yang tidak berlandaskan agama sama sekali.
3. Tentang kebebasan beragama:
Islam mengajarkan bahwa agama di sisi Allah hanyalah Islam. Liberalisme mengajarkan bahwa agama tidak perlu dipersoalkan. Agama adalah urusan individu. Setiap Individu bebas memilih agama apapun.
4. Tentang kebebasan berpendapat:
Tidak ada kebebasan berpendapat dalam Islam, kecuali dalam hal-hal yang mubah. Oleh karena itu Musyawarah dalam Islam hanya dalam persoalan mubah. Hal ini berbeda sama sekali dengan Liberalisme. Liberalisme membebaskan berpendapat apa saja dalam seluruh persoalan, karena setiap individu dijamin bebas berpendapat.
5. Tentang kebebasan berprilaku, syariat Islam mengikat setiap perbuatan manusia. Setiap perbuatan manusia harus terikat dengan hukum syari’at. Hal ini beda sama sekali dengan Liberalisme, dimana ia membebaskan setiap individu untuk berbuat apa saja asalkan tidak merugikan individu yang lain.


Kesimpulan

Dari paparan ide dasar baik Islam maupun Liberalisme tersebut di atas, jelas sekali bahwa antara Islam dan Liberalisme, tidak ada kaitannya sama sekali, dan tidak perlu dikait-kaitkan. Mengaitkan dua hal yang bertentangan adalah tindakan yang tidak benar. Apalagi hasil kaitan yang di reka-reka tersebut disebar luaskan untuk bisa diikuti umat. Jelas ini merupakan aktivitas yang membodohi umat. Perlu diwaspadai gerakan-gerakan yang mengatasnamakan Islam, pembaharuan Islam, akan tetapi sesungguhnya adalah penghancuran terhadap Islam dari dalam.

Referensi :

- Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, (Ponorogo: CIOS-ISID,2007).
- Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal.( Gema Insani Press, Jakarta 2005).
- Adian Husaini, Nuaim Hidayat, Islam Liberal, Sejarah Konsepsi, penyimpangannya, dan jawabannya. (Gema Insani Press, Jakarta 2002).
- http://liberalisme.blogsome.com/2005/12/04/islam-liberal-anjuran-barat-bhg-3/
- http://www.dudung.net/artikel-islami/islam-dan-liberalisme-adakah-korelasinya.html
Read more »

Sabtu, 11 Desember 2010

ILMU FALAK : Korelasi Ilmu Keislaman Klasik dengan Sains Modern

No. 16, 04 Muharram 1432 H/09 Desember 2010 M

ILMU FALAK : Korelasi Ilmu Keislaman Klasik dengan Sains Modern
Oleh: Minda Sari Nurjamilah
(Alumni Darussalam Th.2008 / Mahasiswi Konsentrasi Ilmu Falak IAIN Walisongo Semarang)

Berbicara mengenai ilmu falak tentunya sangat berkaitan erat dengan ilmu astronomi. Maka akan diulas secara singkat mengenai historisitas ilmu astronomi sekaligus eksplorasi latar belakang khazanah dunia Islam dalam dunia astronomi.

Selama kurang lebih 14 abad, peradaban Islam dapat berjaya di seantero dunia. Peradaban Islam dapat mengungguli semua peradaban pada masa itu dalam semua aspek kehidupan. Keunggulan tersebut dapat terlihat dalam bidang politik, militer, ekonomi, sosial dan ilmu pengetahuan serta teknologi khususnya ilmu astronomi. Meskipun semua bidang kehidupan itu mengalami pasang surut, tetapi selama 14 abad peradaban Islam masih terbilang menjadi peradaban adidaya.

Dalam bidang ilmu astronomi, peradaban Islam menjadi pelopor sekaligus peletak pondasi bagi perkembangan ilmu astronomi pada saat ini. Selama peradabannya, perkembangan astronomi Islam selalu yang terdepan dan menjadi guru bagi perkembangan ilmu astronomi di belahan dunia lain. Islam juga melahirkan banyak astronom terkemuka seperti Muhammad Al-Fazari, Al Battani (Al Bategnius), Al Biruni, As-Shufi (Azhopi), Al Khawarizmi, Al Fargani, dan lain-lain.

Kemudian dari ilmu astronomi tersebut muncul ilmu falak sebagai cabang dari ilmu astronomi. Secara etimologi Falak (الفلك) artinya orbit atau lintasan benda-benda langit. Sehingga ilmu falak merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan benda-benda langit (khususnya bumi, bulan dan matahari) pada orbitnya masing-masing untuk mengetahui posisi benda langit tersebut guna mengetahui waktu – waktu di permukaan bumi. Ilmu falak ini merupakan ilmu yang lebih spesifik dari Astronomi karna orientasi objek kajiannya hanya pada bumi, bulan dan matahari. Sedangkan Astronomi mempelajari benda-benda langit secara umum.

Urgensi Mempelajari Ilmu Falak

Mempelajari ilmu falak pada dasarnya mempunyai kepentingan yang saling berkaitan yaitu untuk penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga muncul para ahli falak (astronom muslim) terkenal pada abad-abad kemajuan Islam yang mengembangkan ilmu falak melalui berbagai percobaan dan penelitian secara mendalam. Kemudian juga untuk keperluan yang berkaitan dengan masalah-masalah ibadah, seperti shalat, puasa, dan haji. Keperluan ini meliputi penentuan arah kiblat, penentuan waktu shalat, penentuan awal bulan kamariah untuk puasa, haji dan hari-hari besar Islam, serta untuk penentuan saat terjadinya peristiwa gerhana.

Ilmu falak yang membahas arah kiblat pada dasarnya adalah menghitung besaran sudut yang diapit oleh garis meridian yang melewati suatu tempat yang dihitung arah kiblatnya dengan lingkaran besar yang melewati tempat yang bersangkutan dan ka’bah, serta menghitung jam berapa matahari itu memotong jalur menuju ka’bah.

Sedangkan dalam pembahasan waktu-waktu shalat pada dasarnya adalah menghitung tenggang waktu antara waktu ketika matahari berada di titik kulminasi atas dengan waktu ketika matahari berkedudukan pada awal waktu-waktu shalat. Kemudian dalam pembahasan awal bulan ilmu falak adalah menghitung waktu terjadinya ijtima’ (konjungsi), yakni posisi matahari dan bulan memiliki nilai bujur astronomi yang sama, serta menghitung posisi bulan (hilal) ketika matahari terbenam pada hari terjadinya konjungsi itu.

Sementara yang dibahas dalam gerhana adalah menghitung waktu terjadinya kontak antara matahari dan bulan, dimana bulan mulai menutupi matahari dan lepas darinya pada gerhana matahari, serta kapan bulan mulai masuk pada umbra bayangan bumi serta keluar darinya pada gerhana bulan.

Dengan ilmu falak, setiap muslim dapat memastikan kemana arah kiblat bagi suatu tempat di permukaan bumi yang jauh dari Mekkah. Juga dapat mengetahui waktu shalat sudah tiba atau matahari sudah terbenam untuk berbuka puasa serta perukyat dapat mengarahkan pandangannya ke posisi hilal. Dengan demikian ilmu falak dapat menumbuhkan keyakinan bagi setiap muslim dalam melakukan ibadah, sehingga ibadahnya lebih mantap karena penentuan waktu ibadah yang akurat.

Hisab dan Rukyat

Pada saat ini sangat diperlukan adanya metode yang tepat dalam penentuan awal waktu yang benar-benar ilmiah dan terpadu dengan kaidah syar’i. Penggunaan pemikiran yang matematis dan teori probabilitas yang didukung oleh data serta teguh berpegang pada kaidah syar’i perlu tetap dikembangkan dalam kegiatan hisab dan rukyat.

Hisab dan rukyat merupakan dua metode yang dipergunakan dalam penentuan kajian ilmu falak. Dengan hisab (perhitungan), kita dapat menentukan posisi hilal tanpa terhadang oleh mendung, kabut, dan sebagainya. Juga dapat diketahui kapan terjadi ijtima’ (conjunction), apakah bulan itu sudah di atas ufuk atau belum. Dengan hisab pula dapat dibuat kalender Hijriah tahunan secara jelas dan pasti. Namun disamping kelebihannya juga terdapat kekurangan dari metode Hisab ini, yaitu masih terdapat bermacam-macam sistem perhitungan, yang hasilnya akan berbeda-beda.

Sedangkan rukyat (obsevation) merupakan metode ilmiah yang akurat, karena prosesnya mengamati dan melihat (hilal) secara langsung. Hal ini terbukti dengan berkembangnya ilmu falak (astronomi) pada zaman keemasan Islam.

Namun terdapat beberapa kelemahan yaitu hilal pada tanggal satu sangat tipis sehingga sangat sulit dilihat oleh mata telanjang, apalagi tinggi hilal kurang dari 2 derajat. Selain itu, ketika matahari terbenam (sunset) di ufuk sebelah Barat masih memancarkan sinar berupa mega merah, mega inilah yang menyulitkan melihat bulan sendiri dalam fase pertama (newmoon). Cahaya hilal sangat lemah dibandingkan dengan cahaya matahari maupun senja (twilight), sehingga teramat sulit untuk dapat mengamati hilal yang kekuatan cahayanya kurang dari itu. Kemudian juga ada kendala cuaca, seperti kabut, hujan, debu dan asap yang menghalangi proses observasi.

Pada hakikatnya tidak ada pertentangan antara Hisab dan Rukyat karena keduanya saling berkaitan. Hisab menyediakan data bagi pelaksanaan rukyat, baik tentang penentuan posisi hilal maupun saat pengamatan dan penggunaan peralatannya. Rukyat yang dilaksanakan dengan pedoman dan nilai ilmiah berfungsi menguji kebenaran perhitungan dalam hisab dan dapat dimanfaatkan untuk koreksi.

Daftar Bacaan :

• Azhari, Susiknan, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007
• Badan Hisab & Rukyat Dep. Agama, Almanak Hisab Rukyat, Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam.
• Izzuddin, Ahmad, Fiqh Hisab Rukyah, Menyatukan NU & Muhammadiyah Dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007
• Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004
• Ramdan, Anton, Islam dan Astronomi, Jakarta: Bee Media Indonesia, 2009
Read more »

Kamis, 02 Desember 2010

SANTRI, ANTARA CINTA DAN CITA-CITA

No. 14, 25 Dzulhijjah 1431 H / 02 Desember 2010 M

SANTRI, ANTARA CINTA DAN CITA-CITA
Oleh : H. A Syarif Hidayatulloh, S.Pd.I ( Alumni Reward 2001 )

Kala ku bertemu
Jasadku seolah kaku dengan kehadirannya
Kala ia memandang
lisanku seolah kelu oleh tatapannya
Kala ia bicara
Mulutku terkatup kelu oleh intonasinya
Namun,,
Kurasakan ketentraman luar biasa
Merasuk kedalam jiwa
Karena ku tahu
Cintanya hanya untukku

Begitulah goresan pena, ungkapan hati seorang santri yang sedang di selimuti rasa cinta. Tapi coba renungkan, jangan tanyakan apa yang membuatmu begitu cantik/ganteng. Namun, sekali-kali pertanyakanlah apa yang menyebabkan kejelekanmu terlihat begitu indah?.

Santri di lingkungan pesantren modern dalam kehidupan sehari-harinya tidak terlepas dari aktivitas membaca, menghafal, mengkaji ilmu, menggali kreativitas, skill, seni dan keterampilan lainya. bahkan sampai pada musik modern sekalipun ia coba untuk di pelajari. Mereka senantiasa disibukan dengan berbagai aktivitas guna mempersipkan genarasi Islam yang tangguh dan berprestasi.

Namun pada kenyataannya virus merah jambu ini dapat menyerang siapa saja yang bernama manusia, tidak mengenal tempat dan batas usia. Cinta yang tak pernah bosan untuk di obrolkan. Cinta yang tak pernah pupus oleh waktu, ia senantiasa hadir dalam kehidupan kita. Karena cinta memiliki keunikan dan sekaligus “ keajaiban”.

Namun ada satu fenomena yang menarik dan perlu mendapat perhatian dari kita semua. Sepertinya sebagaian besar dari kita selalu merasa “gatal” bahwa jika cinta tak diekpresikan dengan aktivitas mencintai, akan berakhir dengan kesengsaraan dan penderitaan. Cinta sebenarnya tidak sama dengan aktivitas mencintai, itu sebabnya, jangan heran jika akhirnya banyak yang salah memaknai cinta.

Ibnu Hazm al-Andalusy mengatakan; “cinta adalah kejujuran, ketulusan dan kesetiaan, cinta sejati adalah kesuciaan yang harus di jaga. Cinta semestinya berhulu iman, bermuara takwa dan kebersihan jiwa”.

Mari kita renungkan Sabda Rasul Saw yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Abbas R.A :
“kedudukan setan dalam diri seorang pria itu ada tiga tempat, dalam pandangannya, hatinya, dan dalam ingatannya. Kedudukan setan dalam diri seorang wanita juga ada tiga, dalam lirikan matanya, hatinya, dan kelemahannya”.

Islam Mengakui Rasa Cinta

Islam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Allah SWT. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.

Rasul SAW bersabda : ”telah di anugrahkan kepadaku kecintaan pada wanita dan wangi-wangian serta di jadikan penyejuk mataku ada pada shalat” ( HR. Nasai dan Ahmad ).

Allah SWT Berfirman : “Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .”(QS. Ali Imran :14).

Cinta kepada lain jenis hanya ada dalam wujud ikatan Formal

Dalam konsep Islam, cinta kepada lain jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas, sah dan halal. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat.

Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang disaksikan oleh orang banyak.

Bahkan lebih ‘keren’nya, ucapan janji itu tidaklah ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan wanita itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya, qowwam baginya, dan menjadi `pelindung` dan ‘pengayomnya`. Bahkan `mengambil alih` kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya. Jika sudah terucap ikrar itu jadilah ia ‘the real gentleman’.

Jangan Nodai Cinta

Ibnul qoyyim Berkata : “cinta yang suci akan berubah menjadi kotor jika di kendalikan oleh hawa nafsu dan syahwat”.

Semua bentuk aktifitas pacaran sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan, duduk berduaan yang belum halal, berpeganagan tangan, bahkan bergerilya dan bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka.


Ingatlah akan firman Allah SWT yang berbunyi :“ ..... sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan di mintai pertanggungjawabannya” ( QS. Al Isra : 36 )
“ pada hari ini kami tutup mulut mereka, tangan mereka akan berkata kepda kami dan kaki meraka akan memberikan kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” ( QS. Yaasin : 65 )

Dalam format mencari pasangan hidup, Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang perlu diperhitungkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang terkenal itu.

Dari Abi Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW berdabda,”Wanita itu dinikahi karena 4 hal : hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat”. (HR. Bukhari Muslim)

Selain keempat kriteria itu, Islam membenarkan bila ketika seorang memilih pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. seperti pendidikan dan ilmu pengetahuannya, pekerjaannya, pengalaman dan kedewasaannya. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting. Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebagai ta’aruf.

Dalam Islam, hanya hubungan suami istri sajalah yang membolehkan terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi. Baik itu sentuhan, pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar nikah, Islam tidak pernah membenarkan semua itu. Akhlaq ini sebenarnya bukan hanya monopoli agama Islam saja, tapi hampir semua agama mengharamkan perzinaan. Firman Allah SWT : “jangan dekati zina. Karena ia merupakan perbuatan keji dan seburuk-buruk jalan.” ( Q.S. Al-Isra : 32 ).

Dahulukan ilmu, kejar cita-cita, dan Raih Prestasi

Bolehkah aku megikutimu supaya kamu mengajariku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah di ajarkan kepadamu?” ( Al-kahfi : 66 )
Ayat diatas mengisahkan tentang kedudukan nabi musa yang tinggi dan terhormat. namun tidak menghalanginya untuk terus mencari ilmu dan mengarungi lautan demi ilmu, bahkan meminta tambahan ilmu. Demikianlah Alloh tidak pernah memerintahkan Rasul-Nya untuk meminta tambahan sesuatu perkara kecuali dalam Ilmu.

Abdulloh Ibnu Mas’ud apabila ia membaca Firman Allah SWT: “katakanlah “ Ya Tuhanku tambahkanlah kepadaku ilmu”. ( Thaha : 114 ) Maka dia berdo’a : “ Ya Allah tambahkanlah kepadaku ilmu, keimanan, dan keyakinan”.

Ibnu Mas’ud adalah pencari ilmu sejati yang dalam hal ini wajar dan sangat pantas ia berkata: “ Demi Alloh yang tiada sesembahan yang berhak disembah selain Dia. Tidak ada satu ayat dalam satu suratpun dalam Al-Qur’an yang diturunkan kecuali aku mengetahui dimana diturunkan. Tiada satu ayatpun turun kecuali aku mengetahui kepada siapa diturunkan. Seandainya aku tahu ada orang yang lebih mengaetahui Al-Qur’an selain diriku, sedangkan untaku mampu menjangkaunya, niscaya aku akan kendarai untuk pergi kesana.

Abu bakar Syaharzuri Rahimahulloh pernah berkata :
Cita-citaku di atas bintang kartika maupun kejora
Sungguh tinggi hingga tak terkejar
Aku pun berjibaku dengan hari-hariku
Menundukan atau aku yang harus binasa

Ibnu hajar al asqolani cita-citanya hanya terfokus untuk, menelaah, membaca, mendengar, beribadah, mengarang dan mengajar. Tidak ada waktu yang tidak termanfaatkan kecuali untuk kebiasaan tersebut.

Akhi, jika saat ini engkau sedang terserang virus merah jambu, yakinlah bahwa dia yang sedang kau rindui dan kau cintai sedang dalam bimbingan dan didikan-NYA supaya menjadi pendamping lelaki pilihan sepertimu.

Ukhti, engkau pun demikian, jika ia yang di puja dan di cinta seakan menjadi pilihan terbaikmu berdoalah semoga Alloh mempertemukanmu dalam ikatan suci, namun jika tidak, yakinlah bahwa Alloh sudah memepersiapkan pengganti yang jauh lebih sholih, jauh lebih Alim, jauh lebih baik, jauh lebih dalam pengalamannya, jauh lebih dewasa dan berusahalah untuk selalu menjaga kesucian dan kehormatan jiwamu.

Qodho dan takdir Allah SWT telah di tetapkan, setiap kejadian telah di bukukan, oleh karena itu jangan terbuai asmara cinta sesaat, merenung, berasik apik dalam cinta semu, atau bersedih hati dan menyesali diri. Ciptakanlah mimpi, gali potensi dan raih prestasi. Jika sudah saatnya nanti, jemputlah sang kekasih dengan kemantapan iman, berbekalkan taqwa dan bermodalkan ilmu. Allahu Akbar!!!.

Referensi :

al-Qur'an al-Karim
Tarjamah Ringkasan Syarh Riyadus Sholihin, Imam An Nawawi, Ibs 2008
Taman Orang jatuh Cinta, Ibnul Qoyyim, Ibs, 2008
Ku jemput jodohku, fadlan al ikhwani, Pro u 2 media, 2008
Hikmah harian republika, 2009
Loving you merit yuk, O.Solihin & Hafidz341, Gip 2005
Spirit of succes, aris ahmad jaya, abco publisher,2008
Sekolah cinta Rasululloh, Dr. Nizar Abazhah, Zaman 2010
Read more »

BERFIKIR NEGATIF ADALAH CANDU

No. 14, 17 Dzulhijjah 1431 H / 25 November 2010 M

BERFIKIR NEGATIF ADALAH CANDU
Muhammad Yasyfi Afazani / Mahasiswa ISID Gontor

Apakah anda mengenal orang yang selalu berfikir negatif? Apakah anda mengenal orang yang selalu melihat segala sesuatu itu hanya dari sisi negatifnya saja? Apakah anda mengenal orang yang menjadikan rokok, minuman keras, atau narkoba sebagai pelarian dari masalah yang dihadapi?

Berfikir negatif adalah penyakit yang sangat berbahaya. Ia adalah candu seperti narkoba dan minuman keras. Pada dasarnya kecanduan itu sendiri adalah dampak dari jiwa yang labil dan negatif sehingga mendorong orang berusaha menghindarinya. Maka, ia pun menuju sesuatu yang dianggap sebagai solusi. Ia memulai dengan langkah pertama, kemudian mengulanginya hingga menjadi kebiasaan. Kebiasaan ini digunakan untuk lari dari berbagai masalah. Dengan kebiasaan seperti ini ia merasa bahagia. Padahal, tanpa disadari, ia telah terjerumus pada kondisi yang lebih berbahaya. Semua jenis kecanduan, pada rokok, narkoba, minuman keras, pergaulan bebas, TV, Playstation, dan sebagainya, berakar pada pikiran yang labil atau negatif. Jadi, pikiran negatif bisa menjadi penyebab kecanduan karena seseorang yang memiliki stabilitas spiritual, tidak akan berfikir untuk mencari pelarian dari persoalan hidup dengan cara seperti ini. Justru segala pesoalan ia hadapi dengan sikap positif. Untuk itu, ia menerima semua pemberian Allah dan hanya kepada-Nya ia tawakal. Maka, ia akan semakin rajin shalat, berdoa, dan bersabar. Untuk orang-orang semacam ini Allah menjanjikan kebaikan di dunia dan akhirat.

Jika kita amati, orang yang kecanduan rokok pada awalnya adalah hanya berfikir (gagasan) untuk mencoba merokok, langkah selanjutnya ia mencoba, lalu melakukannya dengan perasaan. Perbuatan itu lantas di ulang-ulang hingga menjadi kebiasaan yang ia lakukan secara otomatis karena sudah menjadi bagian dari perilakunya. Berfikir negatif pun memiliki kecenderungan yang sama dengan kecanduan. Pada awalnya hanya berfikir negatif, lalu dilakukan berulang-ulang hingga menjadi bagian dari perilaku.

Karena perilaku mendatangkan dampak dan dibentuk oleh pikiran dasar maka pikiran negatif yang berkelanjutan akan menghasilkan perilaku negatif yang berkelanjutan juga. Inilah yang disebut kecanduan. Pikiran negatif tidak hanya menyebabkan candu, tapi ia sendiri adalah candu yang harus diatasi.

Kita harus mengetahui bahwasannya setiap kepribadian dipengaruhi oleh program tertentu dari luar. Program ini menjadi alat yang ia gunakan untuk memandang kehidupan. Mungkin ada orang yang hidup dalam keluarga yang biasa bersikap dan berbicara secara negatif. Ia pun meyakini bahwa perilaku itu merupakan perilaku alami yang ia gunakan untuk bergaul dengan orang lain. Tanpa disadari ia lakukan perilaku itu secara berulang hingga menjadi kebiasaan.

Mari kita mengenal berbagai kepribadian negatif:

• Keyakinan dan bayangan negatif.
Kepribadian yang negatif lebih sering meyakini kegagalan dari pada keberhasilan. Bayangan kegagalan selalu ada dalam pikirannya. Ia cenderung kurang percaya diri dalam menghadapi segala sesuatu.

•Menolak perubahan.
Karena keyakinan dan bayangan negatif, seseorang menolak perubahan apapun yang mengeluarkannya dari zona aman dan nyaman. Ia menolak perubahan dan menyelamatkan diri dengan berbagai cara.

•Tidak berperan aktif menyelesaikan masalah
Karena kepribadian yang negatif berhubungan erat dengan perasaannya dalam menghadapi masalah maka tindakannya lebih mengarah pada mempertegas sesuatu dari pada menyelesaikannya. Dalam banyak kasus, orang dengan kepribadian seperti ini akan panik dan emosional. Akibatnya masalah yang dihadapi semakin kacau dan kompleks. Jadi, masalah sebenarnya ada dalam dirinya sendiri.

•Selalu mengeluh, mencela, dan melihat sisi negative dari segala sesuatu.
Ketika kepribadian yang negatif menghadapi masalah, ia cenderung menyalahkan orang lain atau sesuatu dan pengalaman pahit yang dialami waktu kecil. Ia tidak mau bertanggung jawab dan malah melemparkan tanggung jawab itu kepada orang lain.

•Selalu merasa frustasi, sendiri, dan gagal.
Karena pikiran negatif yang berkali-kali dan menguatnya pikiran ini. Hingga menjadi keyakinan. Maka, ia selalu di bayang-bayangi kegagalan. Jika sudah demikian, ia tidak lagi punya harapan untuk maju dan berkembang. Karena ia menggunakan cara-cara mencela dan mengkritik. Maka, hal ini akan berbalik kepadanya dan mempengaruhi perasaanya. Dari waktu kewaktu perasaan ini kian menumpuk dan mengakar pada akal bawah sadarnya. Hingga menjadi spontanitas yang tak disadari.

•Hasil kerja dari capaian individunya menjadi lemah
Hanya sedikit sekali target hidup yang dapat ia capai. Pikiran dan perasaan negative tidak akan membantu orang untuk maju dan berkembang. Bahkan sebaliknya, pikiran dan perasaan negatif hanya akan membuat orang semakin jauh dari cita-citanya, baik di tempat kerja atau dalam kehidupannya. Sebuah penelitian tentang penyebab orang menjadi jauh dari cita-citanya pernah dilaksanakan di New York, Amerika. Penyebab utamanya adalah jauh dari Allah dan selalu berfikir negatif.

• Senang menyendiri dan tidak mampu bersosialisasi hingga tidak punya sahabat.
Tidak seorang pun mau berdampingan dengan orang yang berkepribadian negatif, karena sikap dan prilaku orang semacam ini selalu negatif maka orang-orang pun akan menjauhinya. Jika demikian ia akan terasingkan kemudian selalu bermuram durja

•Sangat mungkin terserang penyakit jiwa atau penyakit.
Pada tahun 1986 sebuah fakultas kedokteran di Sanfransisco mengadakan penelitian tentang hubungan akal dan tubuh dalam hal merebaknya berbagai penyakit, baik penyakit jiwa atau penyakit fisik. Hasil penelitian menegaskan bahwa lebih dari 95% penyebab munculnya penyakit bersumber dari akal. akal berpikir, lalu mengirimkan pesan ke tubuh. Selanjutnya tubuh merespon. Respon itulah yang memengaruhi seluruh anggota tubuh. Contoh: ketika sesorang di pecat dari pekerjaanya maka pikirannya fokus pada perasaan tidak dihargai, di buang, dan takut akan masa depan. Ketika itu jantungnya berdetak kencang dan memompa darah dalam jumlah yang banyak. Detak jantungnya meningkat 2 atatu 3 kali lipat. Hal ini tentu melahirkan berbagai penyakit jantung. Penelitian itu melihat lebih jauh lagi bahwa pikiran negatif membuat sistem saraf selalu tegang. Sistem kekebalan tubuh pun mengerahkan pasukan untuk melindungi. Tarikan nafas menjadi pendek dan cepat, tekanan darah meningkat, suhu tubuh berubah, dan kadar adrenalin bertambah. Semua jelas dapat memunculkan berbagai penyakit.

Karena pikiran negatif orang harus mengalami kesedihan mendalam hingga harus dilarikan kerumah sakit. Ia akan selalu cemas, gelisah, frustasi, sedih, kesepian, dan sebagainya. Semua penyakit ini memerlukan penanganan khusus dari para ahli.

Ini beberapa contoh kepribadian negatif. Banyak contoh lain kepribadian negative seperti ragu, emosional, dengki, benci, dan lain-lain yang bersumber dari pikiran negatif.

Coba kita renungkan dan jawab. Apakah pikiran negatif semakin mendekatkan kita kepada Allah? Apakah pikiran negatif membantu kita mewujudkan apa yang kita inginkan? Apakah pikiran negatif membahagiakan kita dan orang lain? apakah pikiran negatif menjadikan kita sebagai seorang ayah, ibu, saudara, atau anak yang lebih baik? Dan apakah pikiran negatif membantu kita membangun masa depan masyarakat?
Untuk semua pertanyaan diatas, kita pasti menjawab, “TIDAK”. Pikiran negatif justru akan menghasilkan sebaliknya. Selain menjauhkan kita dari Allah, ia juga menjauhkan kita dari cita-cita dan menimbulkan masalah psikis, kesehatan, keluarga dan sosial. Pikiran negatif juga menguburkan nilai-nilai dan mengancam keberlangsungan hidup kita. Menghindarlah dari berfikir negatif karena pikiran itu akan menumpuk dan menyebar hingga menjadi kebiasaan yang menghalangi kita mencapai tujuan dan mendatangkan masalah yang tidak berkesudahan. Yang paling penting untuk disadari adalah pikiran negatif menguatkan ego rendah dan menjauhkan kita dari Allah. Dari itu, marilah kita sama-sama membiasakan diri untuk berhusnudzon. Karena dengan pembiasaan lah kita akan menjadi sebuah karakter “At the first you make habbit, at the last habbit make you”.
Read more »

Jumat, 19 November 2010

KETIKA KITA BERHENTI MENULIS

No. 13, 12 Dzulhijjah 1431 H / 19 November 2010 M

KETIKA KITA BERHENTI MENULIS
Oleh : Asep Roni Hermansyah, S.Pd.I*

“Apabila saya tidak berhasil mengajar melalui pesantren, maka saya akan mengajar dengan pena.” (KH. Imam Zarkasyi, DGMPM, hal. 251)

Muqadimah

Karya, dalam pandangan KH. Imam Zarkasyi, secara mendasar dihubungkan dengan prinsip amal jariyah yang membawa manfaat kepada orang lain. Semakin besar manfaat karya seseorang semakin besar nilai amal jariyah dari karya itu. Sehingga, karya yang bermanfaat merupakan salah satu bentuk ibadah dan realisasi ketakwaan serta menjadi ukuran kebesaran seseorang...
Suatu saat, pernah terjadi dialog antara beliau dengan salah seorang alumni:
Kyai : Kamu sudah mengajar?
Santri : Belum.
Kyai : mati kamu!
Lalu disambung lagi.
Kyai : Sudah menulis atau menerjemahkan buku?
Santri : Belum.
Kyai : mati kamu!
Lalu disambung lagi.
Kyai : Sudah Kawin?
Santri : Belum.
Kyai : mati kamu! (1)

Karya, dalam hal ini menulis, memiliki fungsi yang banyak dan pengaruhnya sangat luas. Transformasi nilai; transformasi pengetahuan; Nasyrul fikroh; Media kaderisasi, Propokasi dan Propaganda.


Transformasi Nilai


Dalam Tulisanya di Risalah ini, KH. Asep Shalahuddin Mu'thie, BA. Menyebutkan bahwa ada lima point penting dalam proses transformasi Nilai dan ajaran Pondok Pesantren Darussalam yang harus difahami dan dihayati oeh semua pihak. Pertama; Keteladanan. Kedua; Penugasan. Ketiga; Penciptaan Lingkungan. Keempat; Pengarahan. Kelima; Pembiasaan. (2)
Kelima nilai ini secara umum telah tertanam dalam sanubari semua penghuni pondok.

Manifestasi langsung telah terlihat secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, semua nilai dan ajaran tidak bisa sekedar diwariskan secara verbal atau melalui aksi. Ia juga harus hadir dalam bentuk tulisan yang bisa diakses dimanapun dan oleh siapapun. Sehingga, mereka yang ingin mengetahui dan mempelajari Darussalam akan lebih mudah. Terutama sebagai buku pegangan utama bagi pondok-pondok alumni yang sekarang telah tersebar di banyak tempat.

Kelima nilai yang ditulis KH. Asep Shalahuddin Mu'thie, BA. Di Risalah Ilmiah Figur hanya review singkat. Keteladan, penugasan, penciptaan lingkungan, pengarahan, dan pembiasaan memiliki kandungan yang tidak bisa dibahas dalam satu paragraph diatas selembar bulletin. Jika ia dikaji secara mendalam, akan tercipta lima jilid buku tebal yang sangat besar manfaatnya untuk semua kalangan.

Trimurti, memiliki Pola Fikir, Pandangan, Derap langkah, ide dan mimpi yang harus dituang menjadi media berbentuk buku. Bahasa verbal (Pidato, ceramah, pengarahan) hanya bersifat temporal dan memiliki keterbatasan akses. Berbeda dengan buku. Ia portable, bisa ditenteng bisa dijinjing, bisa dibaca dimana saja.


Banyak kasus hilangnya sebuah pesantren disebabkan oleh meninggalnya para Founding Fathers. Regenerasi tertunda karena generasi kedua masih muda atau tidak peduli dengan hasil karya para pendahulu. Visi misi lembaga hilang tertanam bersama jasad mulia generasri pertama karena tak sempat tertulis atau barangkali sengaja tak ditulis dengan alasan tawadhu dan takut riya.

Tulisan ini, minim data. Hanya ada 'Transformasi Nilai dan Ajaran Pondok' yang ditulis KH. Asep Sholahuddin yang bisa dijadikan rujukan. Padahal, selama rentang waktu 24 tahun buah karya Trimurti pasti sangat banyak. Akan tetapi, buah karya itu sulit diakses umum. Jika ada tim khusus dan menyimpan semua karya-karya itu di perpustakaan atau ditempat khusus usai moment-moment penting, akan ada sumber data yang sangat berharga yang mengiringi perjalanan Ma'had ini. Jadi, trimurti harus menjadi prionir dalam menulis, karena ia warisan berharga yang tak lekang dimakan usia.

Transformasi Ilmu Pengetahuan

Diantara pertanda kiamat kubro akan segera menjelang adalah menghilangnya ilmu dengan semakin minimnya jumlah ulama. Ulama dalam konteks agama dan bukan ulama entertainment yang besar dan terkenal karena media namun minim ilmu dan rajin berfatwa. Dalam hal ini, penulis sangat mengapresiasi al-mukarram Ust. Adang Hasan Khoiruddin, S.Pd.I yang telah menghasilkan karya dalam dua disiplin ilmu,Faraidh (3) dan Sharf. Dan al-mukarram Ust. Joko Waluyo, S.Pd.I yang telah menyusun muqorror Gramatika Bahasa Inggris yang termasuk pelajaran sulit bagi mayoritas santri. Begitu juga asatidzah lain yang telah menghasilkan karya tulis serupa.

KH. Imam Zarkasyi telah menulis buku-buku yang menjadi rujukan semua Pesantren alumni Gontor. Durusullughoh, Pelajaran Tajwid, Fiqih, Ushuluddin dan beberapa buku lainya, menjadi media transformasi ilmu. Buku-buku yang beliau tulis terlihat sangat sederhana. Akan tetapi, mencipta hasil yang luar biasa. DR. Budiono, salah seorang Dosen LIPIA asal Bandung dalam 'Temu Pendidikan 3' yang diadakan L-DATA dan LP3IT memuji Buku Durusullughoh karangan KH. Imam Zarkasyi yang sistematik dari sisi manhaj, mampu mendorong orang yang tidak mengerti Bahasa Arab menjadi mahir menggunakan bahasa tersebut.

Bahkan, beliau memberikan kritik terhadap lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang mengklaim berhasil mengembangkan Bahasa Arab. Beliau berpendapat bahwa yang berhasil adalah pesantren, sekolah dan madrasah di daerah. sebab, merekalah yang menjadi pondasi penanaman ilmu pengetahuan dan bahasa yang kelak dimatangkan di lembaga pendidikan tinggi. Disini, kami menanti karya serupa yang akan mewarnai dunia dari para pengelola Pondok ini. Bisa saja dengan mengarang Kitab Durusullughoh untuk para mahasiswa yang sampai sekarang belum ada. Semoga. (4)

Nasyrul Fikroh

Transformasi nilai lebih bernuansa kedalam, maka nasyrul fikroh lebih mengarah keluar, ekspansi. Darussalam tidak diseting untuk berskala mini. Akan tetapi, harus melewati batas territorial, ia harus me-nasional bahkan go internasional. Tengok alumni Gontor, mereka telah memasuki setiap lini dalam Bangsa ini. Hal ini adalah keniscayaan bagi Alumni Darussalam dimasa mendatang. Amin.

Dalam bukunya ‘Islam: A Chalenge To Faith’ Samuel M. Zwemmer, membahas bahwa islam adalah tantangan untuk keimanan seorang kristiani. Dalam buku itu, ia juga membahas sistem kaderisasi ulama yang dilakukan di Universitas Al-Azhar Kairo. Ia menggambarkan bahwa Islam adalah a real enemy for the west yang harus dihadapi bersama-sama. Tulisan ini menginspisasi Barat untuk terus berhadapan frontal dengan Islam. (5)

Dalam masalah ini, pernah atau tidak pernah membaca buku tersebut, KH. Imam Zarkasyi sangat jeli. Pertama; beliau mencipta Gontor menggunakan konstruksi baja dengan dasar beton bertulang. System badan wakaf ala Al-Azhar telah menjadi system yang kuat yang menjamin kelangsungan hidup pesantren. Kedua; System kaderisasi ulama telah dimulai dengan program PKU Cios ISID. Ketiga; beliau mengangkat tema seribu gontor. Inilah nasyrul fikroh. Tema ini mengandung makna harapan tinggi bahwa gontor harus mewarnai Indonesia bahkan dunia. Darussalam, sebagai satu bagian dari seribu gontor tentu tidak akan melewatkan prores nasyrul fikroh ini. Dan media tulisan, akan memberi saham yang tidak sedikit. Insya Allah.


Media Kaderisasi, Propokasi dan Propaganda

Buku ‘Das Kapital’ karangan Karl Mark telah menjadi media kaderisasi yang mendorong para pengikutnya mendirikan negara komunis. Akibat ideology ini, sekian juta jiwa melayang, sekian kehancuran terjadi. Buku dan idioligi ini adalah mimpi buruk peradaban hasil dari tulisan. (6)

Buku-buku lain yang isinya sama sangat banyak jumlahnya: Buku 'Ayat-Ayat Setan' karangan Salman Rusdi pada awal tahun 2002 yang berisi hujatan. Buku 'The True Quran' yang menyatakan bahwa al-Quran yang sekarang beredar kurang lengkap dan jauh dari kesempurnaan. Pada tanggal 28 Juli 2003, Majalah Newsweek memuat artikel bertajuk, 'Chalengging The Quran'. Artikel yang ditulis akademisi Jerman Christhop Luxenberg (nama samaran) yang isinya menghujat al-Quran. (7)

KH. Rahmat Abdullah, menulis kritik terhadap system kaderisasi dan propaganda kesesatan yang dijejalkan kepada generasi muda melalui media tulisan, "Seorang penulis membahas Atheisme dengan indah. Tanpa harus mendeklarasikan bahwa ia sedang melawan Tuhan. Dengan tulisanya ia menggiring pembaca untuk bersatu padu melawan Tuhan. Dengan begitu, ia terlepas dari tuduhan atheis sedangkan para pembacanya teracuni dan menjadi katalisator merebaknya para penentang Tuhan."

Dihalaman berikutnya beliau menulis, "Novel-novel berbau lendir bertebaran tak terbendung. Dibiayai dan didistribusikan dengan gencar sampai ke pelosok-pelosok paling terpencil dari negeri ini. Meracuni otak para remaja dengan tema sentral seputar perzinaan dan perselingkuhan. Didalam suatu rumah, sepasang suami istri yang telah sah menikah dan baru beberapa minggu berbulan madu harus berpisah hanya karena masalah sepele, sementara diseberang sana dalam rumah lain sepasang belia hidup romantis, tanpa ikatan nikah, semua penuh cinta. Novel itu diakhiri dengan clossing statemen yang meracuni karakter remaja dan generasi muda. 'Apalah artinya selembar surat nikah, bila hidup penuh neraka. Lebih baik cinta sejati walau tanpa ikatan resmi'." Naudzubillah.(8)

Ketika Kita Berhenti Menulis

Ketika kita berhenti menulis, akan ada orang-orang lain yang mengisi kekosongan itu dengan menghasilkan mahakarya masterpiece yang gilang gemilang, jika ia mengusung tema kebenaran. Atau sebaliknya akan terjadi kehancuran besar jika tulisan itu mendukung tema kebatilan dan kerusakan.

Ketika kita berhenti menulis, akan tercipta jeda lama antar generasi. Kemajuan yang seharusnya cepat menjadi terlambat. Ide dan pokok pikiran yang seharusnya diterjemahkan dan di-bumikan hanya menjadi pengiring kain kapan tersimpan dibawah pusara, tak sempat diwariskan melaui tulisan.

Ketika kita berhenti menulis, akan ada kemunduran. Sebab, kita mengabaikan perintah pertama: membaca dan tidak peduli dengan perintah selanjutnya: menulis. Padahal, Allah Swt. Telah mengajari manusia dengan Perantaraan pena (Alladzi 'allama bil qalam), lalu kenapa kita tidak turut mengajari manusia dan menasehati mereka dengan pena?


* Penulis : Guru Pesantren Darul Aitam, Garut. Alumni Reward 2010 Pesantren Darussalam. Alumni Angkatan 2 Ma'had 'Aly An-Nu'aimy Jakarta.


Referensi : 

1. Dari Gontor Merintis Pesantren Modern, KH. Imam Zarkasyi, Gontor Press, Jawa Timur, Cet. 1, September 1996.
2. Risalah Ilmiah Figur Darusalam, No. 06
3. llmu yang akan lenyap pertama kali seperti yang disebutkan Oleh Rasulullah. Lihat: Sunan Ibnu Majah, juz 6 hal. 196 )
4. Daurah Peningkatan Mutu guru dan Manajemen Lembaga Pendidikan Islam di Gedung LPMP (Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan). Diadakan oleh L-Data (Lembaga Dakwah dan Taklim, pimpinan DR. M. Yusuf Harun, MA.) bekerjasama dengan LP3IT (Pimpinan Ust. Suroso). Daurah ini diikuti oleh penulis dan salah seorang Kader Pesantren Darussalam, Ust. M. Yasfi Afazani.
5. Islam A Chalenge to Faith, Studies on The Mohammedan Relogion And The Needs And Opportunities Of The Mohammedan Worlds From The Standpoint Of Christian Missions, Samuel M. Zwemmwer, F.R.G.S, New York, Student Volunteer Movement For Foreign Missions, 1907, Second Revised Edition, Prepared By: www. Muhammadanism.ogr, August 18, 2004.
6. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Michael H. Hart, 1978, Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, 1982,PT. Dunia Pustaka Jaya, Jln. Kramat II, No. 31A, Jakarta Pusat. Dengan beberapa perubahan.
7. Swaramuslim.net, Aspirasi & Muslim Voice Oleh : Redaksi 14 Aug 2003 - 1:36 pm. Dengan beberapa perubahan.
8. Pilar-Pilar Asasi, KH. Rahmat Abdullah, Hal. 67, 69. Dengan beberapa perubahan.
Read more »

Kamis, 11 November 2010

Mahar Dalam Tinjauan Para Mufassir

No. 12, 04 Dzulhijjah 1431 H / 11 November 2010 M

Mahar Dalam Tinjauan Para Mufassir
Oleh: Abdul Hakim, S.H.I.
(Peserta Program Kaderisasi Ulama ISID Gontor Angkatan Ke-IV)

Dekonsrtuksi syariah adalah salah satu upaya kaum feminis untuk menghancurkan agama Islam, diantara hukum yang akan didekonstruksi ialah akhwal al-syahksiah, (hukum keluarga). Mahar merupakan salah satu sorotan kaum feminis, mereka berpendapat bahwa mahar bisa saja dilakukan oleh istri dengan alasan (Equality) kesetaraan jender, dilihat dari perkembangan jaman dewasa ini, contohnya seperti yang terjadi Di IAIN Wali Songo, ada seorang dosen membolehkan mahar dari pihak perempuan. Padahal, ulama tafsir dan ulama fiqih telah menetapkan bahwasannya mahar diberikan oleh laki-laki. Dari masalah diatas maka penulis akan mengulas sedikit pemahaman mahar menurut ulama tafsir terdahulu. Yaitu dengan menganalisis satu ayat tentang mahar dengan mengambil beberapa pendapat mufassir, sehingga menghasilkan indikasi hukum yang mengarah kepada kewajiban siapa yang memberikan mahar, diantara ayat yang menjelaskan mahar adalah Q.S An-Nisa :4): "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan, kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya "

Analisis Bahasa

: واو عاطفة nun yang mengindikasikan perintah memberikan mahar ini kewajiban yang diathafkan kepada lafadz ayat sebelumnya yaitu lafadz انكحوا selanjutnya lafadz اتوا bershigat fi’il amr yang hukumnya mabni kepada hadf dan sebagaimana kaidah Fiqhiyyah الاصل في الامر للوجوب yaitu asal dari perintah adalah wajib.
النساء jama’ taksir dari امراةdan berkedudukan sebagai maf’ul awal yang statusnya sebagai akhid atau calon istri yang akan menerima mahar. صدقا تهن sebagai maf’ul kedua dari lafadz اتوا yang statusnya sebagai ma’khud atau barang yang diterima calon istri.
نحلة shigahnya masdar dan berkedudukan sebagai maf’ul mutlak atau hal dari lafadz اتوا yaitu pemberian secara sukarela.


فا disini merupakan fa istinafiyah yaitu untuk memulai perkataan, ان syartiyah yang menjazmkan dua fi’il ya’ni fi’il syarat dan jawab syarat , lafadz طبن bershigat fi’il madhi dan berkedudukan sebagai syarat dari lafadz ان adapun jawab dari lafad in tersebut ialah lafadz كلوا yang disambungkan dengan فا dan memakai fa tersebut adalah wajib karena jawab syarat tersebut tidak dibentuk dari fi’il madhi atau fi’il mudhori’
kedua lafadz ini merupakan hal dari isim dhomir ه yang kembali kepada lafadz شيء


Pendapat Mufassirin

Bila mengulas kembali buku-buku tafsir dari para penafsir terdahulu maka akan mendapatkan banyak pendapat yang menfsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, baik yang berbeda pendapat maupun yang sama pendapatnya, tetapi di dalam menafsirkan ayat ini para ulama’ tafsir tidak terlalu banyak berbeda pendapat.
Di dalam tafsir Baghowi dijelaskan bahwa khitab dari surah An Nisa ayat 4 bertujuan kepada wali nikah, karena pada zaman dahulu ketika seorang ayah menikahkan anaknya dan menerima mahar dari mempelai lelaki mereka tidak memberikan mahar tersebut kepada anakanya baik sedikit dari mahar itu. Sedangkan yang lain berpendapat berdasarkan hadits rasul yang melarang akan assyaghar (assyaghar adalah seorang ayah menikahkan anak perempuannya yang satu kemudian menikahkan anak perempuan yang lain, akan tetapi keduanya dinikahkan tanpa mahar), khithab tersebut ditujukan kepada suami yang di perintahkan untuk memberikan mahar kepada calon istrinya, dan pendapat ini yang paling benar karena khitab yang sebelumnya menyatakan kepada orang yang menikahi
Diperkuat dengan pendapat Imam Mawardi yang mengatakan bahwa khithab ayat tesebut terbagi dua yaitu, pertama: kepada calon suami yaitu berdasarkan pendapat kebanyakan para ulama’ tafsir; kedua: kepada wali perempuan, karena pada zaman jahiliyah wali berkuasa penuh akan mahar anak perempuannya, maka Allah menyuruh agar mahar tersebut diberikan kepada mereka (anak perempuan mereka), pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Shalih
Sedangkan di dalam buku Majmu’ Al-Bayan dikatan bahwa khithab tersebut bertujukan kepada mempelai lelaki, suatu perintah dari Allah SWT kepada calon suami agar memberikan mahar kepada mereka untuk dihalalkannya hubungan suami-istri, dan mengembalikan setengahnya apabila diceraikan sebelum melakukannya, tanpa harus ada permintaan dari istri dan juga tidak ada pertengkaran, karena harta yang setengah tersebut diambil secara hukum dan tidak disebut dengan pemberian yang diberikan dengan sukarela, berdasarkan pendapat Ibnu ‘Abbas dan Qatadah dan Ibnu Jarir.

Jadi yang menjadi kewajiban yang membayar mahar adalah calon suami kepada calon istrinya, dan apabila telah terjadi pernikahan selanjutnya apabila suami menthalak istrinya maka ia wajib membayar mahar yang telah ditentukan, apabila ia menthalak sebelum hubungan suami istri maka ia boleh membayar mahar setengah dari yang telah ditentukan.

Kandungan Ayat

Ayat tersebut menjelaskan tentang mahar, dan terdapat tiga kata kunci yaitu pertama: adalah khitab dari mahar yang menunjukkan kepada suami; kedua:صدقا تهن maksudnya adalah mahar, kata mahar terdapat banyak persamaan kata diantaranya, faridhah yang terdapat di dalam surah Al-Baqoroh ayat 236, nihlah (Al-Nisa’, 4), Al-Ajr (Al-Thalaq, 10), hibah, thaul, nikah. Dan dari kata-kata tersebut yang paling populer di pergunakan adalah kata al-mahru, yaitu pemberian calon suami kepada sang isteri sebagai tanda tanggung jawab suami di dalam kehidupan rumah tangga dengan memberikan nafkah, juga sebagai tanda kemuliaan seorang isteri, diangkat derajatnya dari tidak diberikan mahar ketika zaman jahiliyah menjadi harus diberikan; ketiga : نحلة artinya adalah dengan sukarela, atau seorang suami memberikan mahar kepada istrinya harus dengan rasa ikhlas tanpa harus terpaksa, maka tidak ada alasan bagi suami untuk menggunakan mahar yang sudah diberikan kepada istrinya. Dan juga menurut Qurais Syihab dalam tafsirnya mengatakan nihlah itu artinya pemberian yang tulus tanpa mengharapkan sedikitpun imbalan, kata ini juga dapat berarti agama, pandangan hidup, sehingga maskawin yang diserahkan itu merupakan bukti kebenaran dan ketulusan hati sang suami, yang diberikannya tanpa mengharapkan imbalan, bahkan diberikannya karena didorong oleh tuntunan agama atau pandangan hidupnya.
Ada ulama yang menafsiri kata tersebut adalah kewajiban karena kata نحلة menurut bahasa artinya adalah agama, syariat, atau madhab.
Ketiga:  artinya yang sedap lagi baik manfa’atnya, maksudnya pemberian yang sudah diberikan secara sukarela boleh dipergunakan oleh suami asalkan istri menghalalkannya dan sebagai makanan yang baik dan bermanfa’at.
Maka mahar adalah suatu pemberian yang wajib ditunaikan oleh calon suami kepada calon istri sebagai tanda keihklasan dan kerelaannya untuk bersama sebagai suami istri.

Akibat Hukum

Dalil-dalil diatas menjelaskan suatu kewajiban bagi seorang calon suami untuk membayar mahar kepada calon istri dan menjadi haram baginya untuk menggunakan mahar tersebut kecuali atas kerelaan hati isteri, karena isteri adalah pemilik hartanya sendiri, sedangkan suami tidak mempunyai hak terhadapnya karena sudah diberikan dengan penuh kerelaan dan apabila istri merelakan hartanya untuk dipergunakan oleh suami, maka suami harus menggunakan sebaik mungkin, dengan manfa’at yang baik.

Perintah kepada suami untuk menggunakan harta istrinya atas kerelaan isteri bukanlah suatu kewajiban, karena ayat tersebut menunjukkan suatu yang telah diharamkan menjadi suatu yang dihalalkan dengan syarat isteri merelakannya. Suami wajib membayar setengah dari mahar yang telah ditentukan apabila ia menceraikannya sebelum ada hubungan biologis.
1. Ulama’ tafsir berpendapat bahwa khithab ayat tentang mahar tersebut terbagi dua yaitu kepada wali dan kepada calon suami, tetapi pendapat yang paling kuat adalah kepada calon suami
2. Kandungan ayat yang terdapat di dalam ayat tersebut adalah perintah kepada calon suami untuk memeberikan mahar kepada calon istri dengan rasa sukarela
3. Memberikan mahar kepada calon istri merupakan suatu yang diwajibkan kepada calon suami, dan diharamkan bagi suami untuk menggunakan pemberiannya kecuali atas izin isteri
Maka dari keterangan di atas sungguh naif sekali kaum feminis yang menyatakan bahwa mahar bisa dari seorang perempuan berdasarkan asas (equality) Kesetaraan jender. Padahal telah kita ketahui dalam pembahasan diatas bahwa para mufassir dalam menafsiri ayat mahar menyatakan bahwa khitob dari ayat tersebut untul laki-laki, bukan perempuan.

Referensi:

Jalaluddin.Tafsri Jalalain, Surabaya, Maktabah Salim.
Abi Muhammad Husain. Tafsir Al-baghawi. Darulkutub ilmiyah: Bairut. Libanon
Abu Hasan Ali. Al-Nukatu Wal-‘Uyun Tafsir Al-Mawardi. Darul kutub ilmiyah: Bairut. Libanon.
Abu Ali Al-fadhl. 1994. Majmu’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an. Darul fikri: Bairut. Libanon.
Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Kasir.
M. Qurais Syhihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta Lentera Hati
Imam Fahrudin, Tafsir Kabir jilid 5 Mesir. At-Taufiqiyyah
Al-Imam As-Syafi’I Tafsir imam Syafi’I jilid 2, Jakarta Timur. Al.Mahira.
Read more »

Senin, 08 November 2010

Makna Kesederhanaan

No. 07, 28 Syawal 1431 H / 07 Oktober 2010 M

Renungan

Makna Kesederhanaan
Oleh : Asep Deni Fitriansyah, M.Phil
(Guru TMI Pondok Pesantren Darussalam)

Berbicara tentang kesederhanaan tidak bisa lepas dari gaya hidup manusia yang menjadi tren pada masanya, karena sejatinya kesederhanaan adalah suatu nilai yang barometernya selalu berubah ubah sesuai dengan cara pandang manusianya. Kesederhanaan dalam kacamata orang-orang zuhud, para biksu, akan berbeda dengan para politisi dan birokrasi, sama bedanya cara pandang masyarakat biasa dengan selebritis. Sebagai contoh bagi orang zuhud memiliki baju lebih dari yang dipakai sudah merupakan pemborosan, dapat makan lebih dari tiga kali dalam sehari bisa jadi dianggap mewah, tapi bandingkan dengan usulan DPR untuk membangun perkantoran yang sangat megah, dengan pasilitas yang serba wah. Dengan rencana anggaran tidak kurang dari 1,8 triliun rupiah, jumlah yang sangat pantastik. Dengan alasan demi kenyamanan bekerja. Bagi mereka uang sebanyak itu tidak dianggap sebagai pemborosan. padahal rakyat miskin masih sangat membutuhkan dana itu untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Disisi lain penilaian tentang kesederhanaan juga dipengaruhi oleh kebutuhan masing-masing individu yang pastinya berbeda, 1 juta rupiah bagi masyarakat biasa dipedesaan sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan hidup sekeluarga selama 1 bulan, namun bagi masyarakat kota apalagi kalangan borju, 1 juta kurang untuk kebutuhan hidup 1 hari. Karena kebutuhan masyarakat desa lebih sedikit dari kebutuhan masyarakat kota, disamping godaan untuk berbelanja di desa lebih kecil daripada di kota.

Kesederhanaan merupakan sikap seimbang dalam hidup, sikap antara ifrath dan tafrith, antara berlebihan dan mengabaikan, yang dalam bahasa arab disebut dengan attawassuth yang berarti sinergi tengah. Sederhana dalam bicara, berarti berbicara sesuai kebutuhan, singkat padat berisi. Sederhana dalam berpakaian berarti memakai pakaian sewajarnya dengan tujuan utama menutupi aurat. Sederhana dalam makanan berarti mengkonsumsi makanan yang mencukupi kadar kebutuhan gizi tubuh. Sederhana dalam belanja berarti jumlah belanja tidak lebih besar dari nominal pendapatan.

Manusia harusnya belajar tentang kesederhanaan dari apa yang terjadi di alam sekitar; lihatlah burung pipit meski ada jutaan dahan kayu di hutan, seekor pipit cukup memakai sebatang ranting untuk menggayutkan sarangnya. Keselamatan telur-telurnya lebih berarti dibanding seberapa banyak ranting yang bisa dikuasai. Lihat pula seekor zebra hanya meneguk air kubangan secukupnya meski panas terik membakar. Bersikap sesuai dengan keperluan dan kemampuan, tak melebihkan dan tak menguranginya. Menjaga batas kewajaran agar melodi hidup dapat berjalan seirama.

Kesederhanaan adalah kekuatan di balik orang-orang hebat. Tokoh besar dunia, seperti Rasulullah, Budha, Mahatma Gandhi dan lainnya, memberi keteladan itu. Keinginan mereka selalu terkontrol dalam batas keperluan. Mereka tidak mau membebani hidup dengan hal-hal yang remeh, kegiatan yang tidak bernilai. Mereka menempatkan nilai hidup di atas materi. Tulus menerima dan mensyukuri segala yang dianugerahkan, hidup terasa berkecukupan dan bersahaja. Di Negara mana pun orang bersahaja lebih dihormati dan disegani, ketimbang orang yang bergelimpangan harta tapi congkak dan boros.

Rasulullah saw adalah seorang pemimpin yang sederhana. Rumah dan perabotan beliau sederhana. Pakaian beliau tidak lebih bagus dari yang lain. Beliau bergaul dengan siapa pun, kaya maupun miskin. Pola pikir beliau juga tidak berbelit-belit, Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah saw. tidak pernah memilih antara dua perkara melainkan akan memilih yang paling mudah antara keduanya selama perkara itu tidak mendatangkan dosa. Jika mendatangkan dosa, baginda adalah orang yang paling menjauhinya” (HR. Muslim). Beliau makan juga tidak melebihi batas kenyangnya perut. Aisyah menuturkan, keluarga Muhammad tidak ada yang pernah kenyang dari roti gandum dua hari berturut-turut sampai meninggal (HR. Bukhari).

Kesederhanaan dapat mengubah suasana sosial semakin harmonis, terhindar dari kesenjangan yang dapat mengusik ketentraman hidup bersama. Kesederhanaan akan membuka sekat diri merasa lebih berharga. Dan menggantinya dengan ketawadhuan, kesadaran akan keterbatasan diri, begitu pula rekan-rekan kita. Maka saling melengkapi lebih penting dari pada menonjolkan diri. Inilah refleksi keimanan, Rasul bersabda, “Sesungguhnya kesederhanaan itu bagian dari iman” (HR. Abu Dawud).

Kesederhanaan berarti melepaskan diri dari tuntutan dunawiyah yang menyesakkan, membebaskannya dari hawa nafsu untuk dipuaskan, yang sejatinya nafsu itu tidak mungkin dapat terpenuhi, ia bagaikan anak kecil yang menetek pada ibunya, kalau tidak di sapih maka sampai dewasa ia akan tetap menyusu pada ibunya. Sederhana berarti mengambil persoalan dari esensinya, dan menyikapinya dengan proporsional. Kesederhanaan selalu dekat dengan kemurahan hati dan sikap yang bijak, dan akan membawa pelakunya pada lapang dada dan menjauhkannya dari prasangka yang dapat meresahkan hidup.

Kesederhanaan adalah prilaku hamba Allah yang dikasihi yang dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan istilah ‘ibarurrahman “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan hartanya, mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” (al-Furqa 67). Walaupun firman Allah ini tidak secara langsung memerintahkan hambanya untuk hidup sederhana, namun secara imflisit menekankan pentingnya hidup sederhana, dengan bahasa lain seakan Allah berfirman; kalau engkau mau menjadi hambaKu, maka hiduplah sederhana, karena kesederhanaan adalah ciri perilaku hamba-hambaKu yang Ku kasihi.

Dalam ayat lain Allah dengan tegas melarang hambanya untuk berprilaku berlebih-lebihan dan boros, yang merupakan antonim dari kesederhanaan; “Dan tunaikanlah haknya dihari memetik hasilnya, dan janganlah kamu berlebih-lebihan sesungguhnya Allah tidak menyukai tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (al-An’am 141); “Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (al-A’raf 31). Boros adalah prilaku hidup manusia yang tidak berlandaskan azas proporsional. Melakukan sesuatu melebihi batas kewajaran, dan kemampuan. Sikap yang sungguh sangat buruk. Boros akan menjadikan manusia bersifat tamak, egois dan tidak bersahaja, selalu menganggap segala sesuatu itu remeh (kecil tak berharga). Karenanya wajar kalau Allah memerintahkan hambaNya untuk menjauhinya.
Sebagai penutup dari tulisan ini, mari kita renungi kaidah yang sangat masyhur dikalangan ulama ushul yang berbunyi :
كل شيء إذا زاد على حده انقلب إلى ضده
Maksud dari kaidah diatas adalah bahwa segala sesuatu apabila melebihi batas kewajarannya maka akibatnya akan berbalik ke arah kebalikannya. Wallahu a’lam bisshawab.
Read more »

MENYIKAPI PLURALITAS DAN PLURALISME AGAMA

No. 11

MENYIKAPI PLURALITAS DAN PLURALISME AGAMA
Oleh: Muhammad Ihsan, SHI.
(Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Angkatan Ke-IV ISID Gontor Ponorogo)


Kehidupan umat manusia dalam keragaman agama, budaya, etnis, dan bangsa dalam bermasyarakat dan bernegara di mana pun berada di dunia ini adalah suatu keniscayaan (QS: 49: 13). Lebih dari itu, pluralitas merupakan bagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah (QS: 30: 22). Tinggal bagaimana kita bersikap dalam menghadapi pluralitas ini.

Tercatat di dalam sejarah bahwa masyarakat Madinah di masa Rasulullah SAW terdiri atas berbagai macam suku dan agama. Namun keragaman suku dan agama tersebut tidak lantas menjadikan satu sama lain saling mempertunjukkan perbedaan apalagi pertentangan, yang terjadi justru tercipta sebuah kerukunan bermasyarakat dan sikap toleransi yang tinggi. Hal ini ditandai dengan terbentuknya sebuah konstitusi yang dideklarasikan dan ditandatangani oleh perwakilan-perwakilan dari berbagai suku dan penganut agama yang ada waktu itu. Konstitusi itulah yang kita kenal dengan Piagam Madinah. Dalam kerukunan kehidupan bermasyarakat yang sedemikian plural, mereka menikmati kebebasan untuk menganut agama dan beribadat menurut agamanya dengan damai.

Seperti halnya pada masa Rasulullah, masyarakat Indonesia juga hidup dalam pluralitas suku bangsa, ras, dan agama. Untuk mersepon kenyataan ini, pemerintah Indonesia mengambil sikap dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, yang artinya berbeda-beda tapi tetap satu jua. Akan tetapi, sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya 65 tahun lalu, impian untuk hidup berdampingan dengan damai antar pemeluk agama belum maksimal. Masih banyak rintangan untuk menjalankan keyakinannya masing-masing. Kebebasan dalam beragama masih saja mendapat intimidasi dari pemeluk agama lainnya. Kekerasan atas nama agama sering menjadi sorotan orang-orang liberal untuk mendeskriditkan kaum agamawan. Namun sebenarnya adalah manusiawi jika seorang penganut agama berkeyakinan bahwa ajaran agama yang dipercayainya sebagai satu-satunya yang benar. Setiap penganut agama berkeyakinan bahwa agamanyalah yang akan mengantarkan manusia ke dalam kehidupan yang bahagia. Tapi keyakinan akan hal tersebut tidak harus menimbulkan persengketaan yang mengakibatkan banyak kerugian.

Sikap fanatik beragama memang harus dimiliki setiap umat yang memegang teguh agamanya. Meyakini bahwa agama adalah ajaran yang haqq, the ultimate concern adalah sikap yang harus kita miliki sebagai umat beragama. Tanpa “kefanatikan” beragama ini, orang akan lantas menganggap semua agama adalah sama, kebenaran yang diyakini suatu agama adalah bersifat relatif karena kebenaran yang sama juga dimiliki oleh agama lain. Sehingga dengan mudahnya ia keluar masuk agama-agama yang dikehendakinya. Akan tetapi kefanatikan beragama ini pun jangan sampai merusak tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang plural dengan berbagai agama resmi dan aliran kepercayaan, dengan memaksakan kehendak diri terhadap orang lain yang tidak seagama dengan kita. Bukankah Allah SWT telah mengajarkan pada Nabi Muhammad SAW dalam (QS: 109: 6) tentang hal ini? Allah berfirman:

“untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”

Beragama tidak hanya kesadaran kognitif, tetapi juga keyakinan hati, pengamalan anggota badan, kecintaan ruhaniah, dan kehangatan kebersamaan dalam melaksanakan ritual keagamaan. Dan hendaknya aspek-aspek penghayatan kehidupan beragama ini diterapkan juga dalam setiap tingkah laku kita sebagai individu, di masyarakat, maupun dalam kehidupan bernegara.

Nilai-nilai dasar dan universalitas agama yang kita yakini ini hendaknya kita aplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Sikap toleran, saling menghormati, musyawarah, tolong menolong, gotong royong, ramah tamah yang juga menjadi kearifan bangsa Indonesia sejak zaman nenek moyang dulu hendaknya tidak luntur oleh perubahan zaman. Karena sikap-sikap inilah yang juga diwariskan oleh para Nabi pembawa risalah keagamaan, dari sejak diutusnya Adam AS. hingga disempurnakannya Islam dengan risalah Muhammadiyah.
Dalam kehidupan sosial, Islam mengajarkan kita untuk membangun tatanan kehidupan bermasyarakat yang baik, dengan bermu’amalah dan tolong menolong dengan sesama anggota masyarakat, tidak saja sebatas sesama kaum muslim, tapi juga dengan penganut agama lain (QS: 60: 8). Dengan demikian, pluralitas yang penuh kedamaian dalam segala segi kehidupan akan terpelihara jika kita mau menghargai dan bertoleransi dengan orang lain.

Akan tetapi sikap toleransi beragama memiliki rambu-rambu tersendiri dalam Islam. Islam mengatur sedemikian rupa kerukunan antar umat manusia dengan tidak mengabaikan aspek kemurnian akidah yang dianut oleh umat muslim. Sehingga tidak hanya esensi dari toleransi –yaitu terciptanya kehidupan masyarakat yang damai sejahtera– yang bisa diraih, tetapi juga keutuhan dan kemurnian akidah pun tetap terjaga. Karena berapa banyak di antara saudara-saudara muslim kita yang terbuai dengan apa yang diistilahkan dalam al-Qur’an sebagai zukhruf al qawl gururan “kata-kata yang indah namun menipu” (QS: 6: 112) yang dengan kata-kata itu mereka akhirnya terjerembab ke dalam paham yang membingungkan sikap keberagamaannya. Karena serangan yang dilancarkan oleh kaum orientalis saat ini tidak secara kontras terlihat oleh kasat mata, tidak pula dirasakan oleh hati, lalu dengan mudah kita menolaknya; melainkan merasuknya paham-paham menyesatkan itu bisa jadi secara halus meluncur dari mulut para cendikia muslim yang tidak menyadari bahwa dia telah terkontaminasi oleh pemikiran menyimpang yang disusupkan oleh kaum orientalis melalui kata-kata menipu itu. Misalnya saja, penyamarataan derajat manusia yang dalam hal ini muncul dengan konsep HAM (padahal yang sebenarnya adalah paham humanisme sekular), keyakinan bahwa semua agama adalah benar, sehingga kebenaran bersifat relatif dan tidak ada agama yang lebih benar dari yang lain (paham relativisme), atau semua agama adalah sama (pluralisme agama), yang semuanya merupakan propaganda Barat dan kaum orientalis agar umat muslim menjadi ragu bahkan mempertanyakan keyakinannya, hingga akhirnya mereka menjauhi bahkan phobia dengan Islam dan islamisasi. Oleh karena itu, toleransi agama hendaknya berada dalam aturan dan koridor Islami untuk menghindari merasuknya paham menyesatkan yang dipropagandakan oleh kaum orientalis, yaitu pluralisme agama.

Pengertian antara pluralitas dan pluralisme agama pada saat ini sudah banyak direduksi oleh para orientalis dan juga oleh cendikiawan muslim liberal, bahkan cenderung disamakan. Seperti yang dilakukan oleh John Hick, dia menyatakan bahwa agama merupakan manifestasi-manifestasi dari realita yang satu, sehingga semua agama dianggap sama dan tak ada yang lebih baik satu sama lain. Pengertian ini tentu sangat keliru karena berangkat dari pemahaman agama yang sempit, yang memandang agama hanya sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial. Parahnya, pemahaman reduksionistik inilah yang justru semakin populer di kalangan para ahli dan para pemikir.
Adapun Islam, sudah berabad-abad yang lalu meletakkan konsep-konsep dasar dalam menghadapi pluralisme. Meski tidak menjadi bahasan tersendiri yang independen, Islam sebenarnya telah memiliki konsep yang mapan dalam menyikapi pluralisme agama. Biasanya konsep itu terdapat pada salah satu bab atau sub-bab pembahasan fiqhiyyah dalam kitab-kitab fiqh, dan tidak dalam pembahasan ilmu kalam atau teologi Islam. Karena isu-isu pluralitas dalam pandangan para ulama muslim lebih mengupas masalah koeksistensi dan interaksi sosial praktis antar manusia yang berafiliasi pada agama, tradisi, dan kultur yang berbeda, yang diatur dalam sebuah tatanan masyarakat, baik yang menyangkut hak maupun kewajiban, untuk menjamin ketenteraman dan perdamaian umum. Dengan begitu Islam memandangnya sebagai hakikat ontologis yang genuine (otentik) yang tidak mungkin dinafikan. Maka dengan begitu, umat muslim hendaknya memandang pluralisme ini melalui sudut pandang (worldview) keislamannya. Berbeda dengan teori-teori kaum orientalis yang melihatnya dengan melepaskan terlebih dahulu atribut-atribut keagamaannya, lalu mengklaim bahwa pandangannya itu objektif, dan menyimpulkan bahwa pluralisme merupakan keragaman yang hanya terjadi pada level manifestasi eksternal yang superfisial dan tidak hakiki, sehingga menurut mereka, yang beragam itu pada dasarnya adalah sama.

Sehingga pada tataran solusi pun, Islam menawarkan solusi yang praktis sosiologis karena permasalahan pluralisme lebih merupakan permasalahan yang aplikatif, praktis, administratif, dan historis, yakni dengan membangun tatanan masyarakat yang solid. Sementara teori-teori pluralisme orientalis memberi solusi teologis epistimologis, karena menganggap permasalahan tersebut adalah menyangkut keimanan atau teologi, yakni dengan menganggap semua agama adalah sama.


Referensi:
Baisard, Marcel A., Humanisme Dalam Islam Cet. I, pent.: H. M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980)
Hasan, Masudul, History of Islam Vol. I, (India: Adam Publishers & distributors, 1995)
Mas’du, Abdurrahman, Menuju Paradigma Islam Humanis, (Yogyakarta: Gama Media, 2003)
Balitbang dan Diklat Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Tafsir al-Qur’an Tematik: Hubungan Antar Umat Beragama Cet. I, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2008)
Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis Cet. I, (Jakarta: Perspektif, 2005)
Read more »

UPAYA MENGGAPAI CINTA KEPADA ALLAH

No. 10

Topik : Tadabbur/Tausiah

UPAYA MENGGAPAI CINTA KEPADA ALLAH
Oleh : Asep Ali Rosyadi, S.Ag.
(Guru TMI PP. Darussalam)

Berbiacara masalah cinta sangatlah menarik terutama bagi kaum remaja meskipun kadang – kadang pelik dan rumit karena sebenarnya siapa yang harus lebih kita cintai di dunia ini dan sekarang ini.

Dalam menjalani kehidupan cinta memang sangatlah dibutuhkan, karena manusia tak akan mampu menjalani hidup tanpa cinta. Tanpa cinta, kehidupan akan terasa gersang, hati menjadi keras dan tubuhpun akan menjadi kurus kering laksana mayat, maka selayaknya manusia hidup dipenuhi dengan perasaan cinta dan kasih sayang, tapi jangan salah dalam bercinta ! sebab kalo kita terlalu cinta terhadap harta, harta tersebut suatu saat akan hancur dan binasabahkan ketika meninggal harta itupun kita tinggalkan dan akan dibagi – bagikan sebagai harta warisan. Jika kita cinta kepada wanita apalagi sampai tergila – gila maka ingatlah bahwa itu hanyalah dorongan syahwat dan ia akan hilang atau berakhir dengan tragedi kematian salah satunya atau bahkan kedua – duanya.

Cinta yang harus kira cari adalah cinta yang kekal dan tak akan binasa. Cinta yang akan menambah kekuatan kita dan kita tak takut akan berakhir dengan kekerasan, penentangan, penghianatan, atau keretakan hubungan. Ya…cinta yang abadi. Yaitu cinta kita kepada Allah SWT sang pencipta seluruh jagat raya termasuk diri kita.

Mari kita renungkan sebuah ayat dalam Al-qur`an surat At-Taubah : 24 yang artinya : “Katakanlah ! jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiaannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rosul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak akan member petunjuk kepada orang-orang fasik”.
Dalam ayat ini Allah melukiskan sebuah gambaran, seandainya saja ada delapan jenis rasa cinta di satu sisi timbangan dan di satu sisi lainnya berisi cinta kepada-Nya kemudian keduanya ditimbang, jika yang delapan hal itu lebih berat walaupun hanya seberat atom saja, maka bersiaplah menunggu apa yang akan kita peroleh berupa label sebagai orang fasik.

Allah berfirman :”Dan Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang fasik”. Orang fasik dalam ayat ini adalah orang yang lebih mencintai delapan hal itu daripada cintanya kepada Allah, meskipun hukum mencintai delapan hal itu mubah (boleh). Karena sebenarnya terhadap delapan hal itu, Allah menyuruh kepada kita sesuatu, yaitu :
Bapak – bapak kalian : Allah memerintahkan kita berbuat baik.
Isteri- isteri kalian : Nabi berwasiat tentang isteri kita, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya(HR. Tirmidzi, Ad-Darami dan Ibnu Hibban)

Harta – harta yang kalian uahakan, perniagaan kalian, dan tempat tinggal kalian, yaitu rumah-rumah yang megah yang biasa kamu tinggal disana, semua itu boleh. Ayat ini tentunya bukan seruan untuk meninggalkan, tapi untuk membandingkan mana yang harus lebih kita cintai.

Allah telah memberikan kepada kita kemampuan untuk mencintai Isteri, anak dan keluarga kita. Dialah yang telah menumbuhkan rasa cinta dihati kita, lalau memberitahu kita bahwa yang paling utama kita harus mencintai-Nya melebihi cinta kita kepada yang lain.

Orang yang beriman sangat mencintai Allah maka sebagai orang yang mengaku beriman kepada Allah, Cintailah Allah sebesar nikmat yang Dia berikan kepada kita, Cintailah Allah karna kesempurnaan-Nya, cintai Allah karna karunia-Nya kepada kita, karna kelembutan-Nya kepada kita, dan cintailah Allah karena hidayah-Nya kepada kita.

Nabi bersabda: “Tiga hal siapa yang memilikinya, ia akan merasakan kelezatan iman ; Hendaklah Allah dan Rosul-Nya lebih ia cintai dari yang lainya, ia mencintai seseorang karna Allah dan ia benci kembali kepada kekufuran seperti ia benci dilemparkan ke neraka (HR: Bukhori Muslim)
Cinta adanya dihati, musibah terbesar bagi hati ketika ia tidak mampu melakukan tugas yang menjadi tujuan dasar dari penciptaan hati tersebut. Karena ia diciptakan untuk mengenal Allah dan mencintai-Nya dan pada hakikatnya kita tidak mengetahui sesuatu, sebab puncak dan dasar pengetahuan adalah mengenal dan mencintai (mahabbah) Rabb kita.

Mungkin saja semua dari kita akan mengaku mencintai Allah, tapi pengakuan itu akan diuji oleh Allah untuk membedakan pengakuan yang benar daripada yang bohong.

Janganlah mengaku cinta kepada Allah dengan ucapan semata, tetapi buktikanlah melalui perbuatan kita. Kita bisa menyatakan apa saja baik itu benar atau bohong, namun yang benar adalah perbuatan kita.
Jika kita ingin mengetahui kadar cinta kita kepada Allah, maka ukurlah diri kita dengan ayat ini: “katakanlah (hai Muhammad) jika kamu semua (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku” maka pertanyaannya adalah sudahkah kita mengikuti apa yang di perintahkan Allah dan Rosulnya ?

Sebenarnya semua orang rindu dan ingin menggapai cinta yang hakik, yaitu Cinta kepada Allah. Namun kadang-kadang hawa nafsu kita mengajak kita untuk lebih mencintai hal-hal lain. Maka berikut ini adalah beberapa kiat yaitu untuk menggapai cinta kepada Allah :
1. Jangan terus-menerus melakukan kemaksiatan. Kita semua sering berbuat kesalahan tetapi bila kita ingin menggapai cinta Allah janganlah kemaksiatan itu kita lakukan berulangkali, maka dosa yang terus menerus kita lakukan harus segera kita hentikan.
2. Segeralah tinggalkan “teman jelek kita” teman jelek adalah mereka yang suka berbuat hal yang sia-sia dan selalu mengajak kita untuk berbuat maksiat.
3. Kerjakanlah shalat lima waktu tepat pada waktunya, dan terus lakukan hal tersebut.
4. Biasakanlah melaksanakan shalat berjamaah di mesjid.
5. Perbanyaklah mengingat Allah dan berdo’a terutama do’a memohon keteguhan iman.
6. Hapal kanlah Juz Amma, lalu kerjakanlah shalat malam sambil menhapalkannya dan jangan lupa datangilah majlis-majlis ilmu.
7. Carilah dan bergaulah dengan orang sholih.
8. Bicaralah Agama kepada teman kita lalu ajaklah mereka kepada kebenaran.

Alangkah indahnya hidup kita ini seandainya kita mampu menggapai cinta kepada Allah dengan melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya karena dengan begitu Allah pun akan mencintai dan mengampuni dosa-dosa kita bahkan seluruh penghuni langit dan bumi, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadist yang artinya: “ Sesungguhnya Allah apabila mencintai seorang hamba, dipanggilah jibril seraya berfirman kepadanya “Bahwa sanya aku telah mencintai pulan maka cintailah engkau kepadanya”. maka jibrilpun mencintainya kemudian diumumkan kepada penghuni langit . (jibril) berkata :”sesungguhnya Allah telah cinta kepada sifulan maka cintailah dia” maka seluruh penghuni langitpun mencintainya, selanjutnya cinta kasih itu sampai kepada penduduk bumi (demikian pula) bila Allah membenci seorang hamba, dipanggilah jibril seraya berfirman kepadanya ”bahwasanya aku telah membenci fulan maka bencilah engkau kepadanya” maka jibrilpun membencinya kemudian diumumkan kepada penghuni langit sesungguhnya Allah telah membenci si fulan maka bencilah dia maka dibencilah dia selanjutnya benci pulalah seluruh penghuni bumi kepadanya (HR Muslim).

Akhir kata, mari kita berdo’a: “Wahai dzat yang memutar balikan hati, teguhkanlah hati kami kepada Agama-Mu, Wahai dzat yang mengendalikan hati, arahkan hati kami untuk menaati-Mu dan menaati Rosul-Mu”
“Wahai dzat yang menguasai jiwa manusia, masukanlah kami kedalam golongan orang –orang yang mencintai-Mu dan mengikuti jejak langkah utusan-Mu yang mulia, Muhammad SAW. Amien…

Referensi;

1. Al-Qur’an dan terjemahnya
2. Amru Kholid, Hati Sebening Embun
3. KH. Qomaruddin Sholeh dkk, Pedoman menuju akhlak muslim
Read more »

NASIONALISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM

No. 08

NASIONALISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh: Erfan Shofari Sholahuddin, S.Sy.
(Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Angkatan IV CIOS ISID Gontor Ponorogo)


Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ali dkk., 1994:89), kata bangsa memiliki arti: (1) kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya serta berpemerintahan sendiri; (2) golongan manusia, binatang, atau tumbuh-tumbuhan yang mempunyai asal-usul yang sama dan sifat khas yang sama atau bersamaan; dan (3) kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan yang biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Beberapa makna kata bangsa diatas menunjukkan arti bahwa bangsa adalah kesatuan yang timbul dari kesamaan keturunan, budaya, pemerintahan, dan tempat. Pengertian ini berkaitan dengan arti kata suku yang dalam kamus yang sama diartikan sebagai golongan orang-orang (keluarga) yang seturunan; golongan bangsa sebagai bagian dari bangsa yang besar (ibid, 1994:970). Beberapa suku atau ras dapat menjadi pembentuk sebuah bangsa dengan syarat ada kehendak untuk bersatu yang diwujudkan dalam pembentukan pemerintahan yang ditaati bersama.

Kata bangsa mempunyai dua pengertian: pengertian antropologis-sosiologis dan pengertian politis. Menurut pengertian antropologis-sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan persekutuan-hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota masyarakat tersebut merasa satu kesatuan suku, bahasa, agama, sejarah, dan adat istiadat. Pengertian ini memungkinkan adanya beberapa bangsa dalam sebuah negara dan—sebaliknya—satu bangsa tersebar pada lebih dari satu negara. Kasus pertama terjadi pada negara yang memiliki beragam suku bangsa, seperti Amerika Serikat yang menaungi beragam bangsa yang berbeda. Kasus kedua adalah sebagaimana yang terjadi pada bangsa Korea yang terpecah menjadi dua negara, Korea Utara dan Korea Selatan. Sementara dalam pengertian politis, bangsa adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Bangsa (nation) dalam pengertian politis inilah yang kemudian menjadi pokok pembahasan nasionalisme (Nur dalam Yatim, 2001:57—58).

Istilah nasionalisme yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia memiliki dua pengertian: paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan menngabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu (Op. cit, 1994:684). Dengan demikian, nasionalisme berarti menyatakan keunggulan suatu afinitas kelompok yang didasarkan atas kesamaan bahasa, budaya, dan wilayah. Istilah nasionalis dan nasional, yang berasal dari bahasa Latin yang berarti “lahir di”, kadangkala tumpang tindih dengan istilah yang berasal dari bahasa Yunani, etnik. Namun istilah yang disebut terakhir ini biasanya digunakan untuk menunjuk kepada kultur, bahasa, dan keturunan di luar konteks politik (Riff, 1995: 193-194).

Islam bagi pemeluknya bukan saja menjadi agama—dalam pengertian Barat—namun ia juga sistem yang melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam bukunya, Marcel Boisard (1980:183) menilai bahwa universalitas Islam sebagai agama dan sistem sosial dapat dibuktikan dari empat segi: segi metafisik, segi agama, segi sosiologis, dan segi politik. Sebagai keimanan terhadap keesaan Tuhan yang dituangkan dalam keyakinan yang sangat kuat, Islam adalah ideologi universal yang tidak bisa disamakan dengan ideologi dan agama apapun. Di samping aspek fundamental ini, konsepsi Islam tentang manusia membantu kepada universalitas manusia. Manusia adalah makhluk merdeka dan bertanggung jawab. Namun, dia tidak terpencil karena dia hidup di lingkungan sosial dan dia akan menerima akibat dari setiap perbuatannya. Konsepsi ganda Islam tentang individu sesuai dengan konsep universalitas yang diterima oleh filsafat Barat modern. Islam juga mengajarkan universalitas moral.

Merupakan fakta yang tidak diragukan bahwa ajaran Islam dapat memasuki dan berkembang di daerah geografis dan lingkungan kultural yang berbeda-beda. Wahyu ilahi ditujukan kepada semua manusia agar mereka memeluk Islam dan ditujukan—pada tingkat lain—secara khusus kepada kaum beriman untuk mematuhi aturan-aturannya. Mematuhi ajaran yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw. berarti memutuskan hubungan dengan orde sosial kesukuan dan mengidentifikasikan dirinya dengan kesatuan baru (Dault, 2005:160). Namun afiliasi dan loyalitas kepada komunitas yang berdasarkan keimanan tidak berarti bahwa Islam melarang ikatan-ikatan lain selain ikatan berdasar keimanan. Alih-alih, Islam menganjurkan bentuk-bentuk ikatan lain, seperti ikatan keluarga, selama tidak bertentangan dengan Islam (Umari dalam Dault, 2005:162).

Studi tentang hubungan Islam dan nasionalisme bermula dari kawasan Timur Tengah. Seperti di Indonesia, sejumlah pelajar Timur Tengah yang belajar di Eropa kembali dengan membawa konsep nasionalisme yang dipelajari di Barat. Konsep Barat tentang patria (tanah air) memengaruhi kata wathan dalam bahasa Arab dengan memberi pengertian politik padanya. Mereka percaya bahwa kemajuan yang dicapai Eropa dipengaruhi oleh kuatnya patriotisme individu dan masyarakat terhadap negara. Hal ini tergambar dari pernyataan Al-Tahtawi, seorang teoritisi nasionalisme Arab berpengaruh, bahwa “Patriotisme adalah sumber kemajuan dan kekuatan, sarana untuk mengatasi jarak antara wilayah Islam dengan Eropa” (Azra dalam Dault, 2005:186). Perkembangan pemikiran nasionalisme sekular berdampak pada tatanan politik umat Islam. Bentuk negara-bangsa—yang diadopsi dari Barat—dijadikan sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan yang sah dalam pergaulan internasional. Kenyataan ini berdampak pada terpecah-belahnya dunia Islam menjadi banyak negara-bangsa yang tidak lagi berdasar pada ajaran Islam yang baku. Basis material negara-bangsa yang hanya berpatok pada etnisitas, kultur, bahasa, dan wilayah dan mengabaikan kategori religius (keimanan).

Absennya keimanan dari rumusan nasionalisme menimbulkan kritik dari sebagian tokoh Islam. Mereka meyakini bahwa hal ini menyebabkan lemahnya kesatuan dunia Islam. Ali Muhammad Naqvi, misalnya, menyatakan bahwa Islam tidak sesuai dengan nasionalisme karena keduanya berlawanan secara ideologis. Kriteria nasional sebagai basis bangunan komunitas ditolak Al-Quran, karena ia hanya bersifat nasional-lokal sementara Islam mempunyai tujuan universal. Alasan lain adalah spirit sekular dalam nasionalisme yang menghendaki pemisahan tegas antara agama dan politik (Naqvi dalam Dault, 2005:188).

Kritik yang dilontarkan memosisikan Islam vis a vis nasionalisme. Namun dalam konteks Indonesia, sila-sila dalam Pancasila—sebagai ideologi negara—tidak satupun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan Kuntowijoyo (1997:85) berpendapat bahwa Pancasila adalah obyektifikasi Islam. Meskipun dia mengingatkan bahwa Islam adalah agama dan Pancasila adalah ideologi. Bagi Kunto, ideologi dan agama dibedakan berdasarkan motif. Ideologi tanpa agama dapat berjalan karena dalam diri manusia terdapat apa yang disebut Immanuel Kant sebagai categorical imperative, seperti nilai-nilai disiplin, setia kawan, kedermawanan, dan nilai etika yang lain. Dalam agama terdapat sistem dosa-pahala, surga-neraka, dan halal-haram yang semuanya berdasar keimanan dan kemudian menggiring seseorang untuk bertindak sesuai dengan kategori-kategori yang dia yakini. Categorical imperative—sebagai sistem sekular—juga memiliki sanksi yang bersifat personal, berupa rasa bersalah, dan sanksi institusional yang terwujud dalam hukum formal.

Pancasila menggabungkan konsep tentang kekuasaan (ketuhanan dan kedaulatan rakyat), konsep tentang proses (kemanusiaan dan kebangsaan), dan konsep tentang tujuan (keadilan sosial). Keunikan Pancasila adalah bahwa kekuasaan diletakkan di bawah Tuhan dan rakyat—teodemokrasi. Istilah ini tersusun dari dua istilah: teokrasi dan demokrasi. Teokrasi (teosentrisme)—dengan menghilangkan konotasi negatif ala Barat—bagi umat Islam sama dengan istilah tawhid, yaitu menjadikan Tuhan sebagai pusat. Dalam pelaksanaannya kekuasaan dilaksanakan dengan memerhatikan prinsip-prinsip agama, seperti syura dan keadilan. Sementara demokrasi adalah sistem kekuasaan dengan kedaulatan berada sepenuhnya di tangan rakyat, tanpa harus terikat pada hukum-hukum Tuhan. Dengan demikian, teodemokrasi adalah konsep tentang kekuasaan negara yang dibatasi oleh hukum Tuhan di satu sisi dan oleh rakyat di sisi lain. Dapat pula dirumuskan bahwa ia adalah kekuasaan yang dimiliki oleh rakyat dengan keyakinan bahwa sumber kekuasaan adalah Tuhan. Sebelum konsep demokrasi dikenal, tanggung jawab kekuasaan dilaksanakan hanya kepada Tuhan, sehingga sering disalahgunakan. Dalam sejarah Jawa misalnya, seorang raja memakai gelar khalifatullah dan dalam sistem kesadaran rakyat kekuasaan raja dianggap sebagai kekuasaan Tuhan yang tidak bisa di ganggu gugat. Hal ini yang kemudian memberi konotasi negatif terhadap sistem teokrasi dalam kajian politik di Barat (Kuntowijoyo, 1997:62; Burhan dan Muhammad (eds.), 2001:29).
Nasionalisme Indonesia yang berbentuk negara-bangsa dan menggunakan demokrasi sebagai sistem politik tidak bertentangan dengan Islam sepanjang ia tidak melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan dalam agama. Abul A’la Maududi (2004:54) menyatakan bahwa setiap individu dalam masyarakat Islam memiliki hak dan kekuasaan sebagai khalifah Allah dan dalam hal ini semua individu adalah sama. Institusi yang menangani urusan negara dibentuk sesuai dengan kehendak individu-individu dalam masyarakat. Pendapat mereka menentukan bentuk, pemimpin, dan segala sesuatu yang terkait dengan pemerintahan sesuai prinsip-prinsip Islam. Dalam hal ini, sistem politik Islam merupakan demokrasi yang sebenarnya.

Referensi :

Ali, Lukman. Dkk. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Boisard, Marcel A. 1979. Humanisme Dalam Islam. Terjemahan oleh M. Rasjidi. 1980. Jakarta: Bulan Bintang.
Dault, Adhyaksa. 2005. Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan.
Maududi, Abul A’la. Tanpa Tahun. Islam Kaffah: Menjadikan Islam Sebagai Jalan Hidup. Terjemahan oleh Muhammad Humaidi. 2004. Jogjakarta: Cahaya Hikmah.
Riff, Michael A. (ed). 1982. Kamus Ideologi Politik Modern. Terjemahan oleh M. Miftahuddin dan Hartian Silawati. 1995. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Yatim, Badri. 2001. Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme. Bandung: Nuansa.
Read more »