Ahlan Wasahlan wa Marhaban Biziyaaratikum.. Selamat Membaca dan Menikmati Sajian dari kami.. :)..
Penasihat : Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam | Pemimpin Umum : Joko Waluyo, S.Pd.I | Pemimpin Redaksi :Devi Muharrom Sholahuddin, Lc. | Wakil Pemimpin Redaksi : Muhammad Sendi Sayyina, S.Pd.I | Dewan Redaksi : Ali Nurdin, M.S.I, Asep Deni Fitriansyah, M.Phil., Asep Ali Rosyadi, S.Ag., Asep Roni Hermansyah, S.Pd.I, Ajat Syarif Hidayatullah, S.Pd.I Al-Hafidz | Distributor : Munir Hermansyah, S.Pd.I, Egi Mulyana, S.Pd.I, Acep Mutawakkil | Dapur Redaksi : Gedung Perpustakaan Pondok Pesantren Darussalam Sindang Sari Kersamanah Garut Indonesia 087758202070 | Risalah Ilmiah FIGUR Darussalam diterbitkan oleh Forum Ilmiah Guru (FIGUR) Pondok Pesantren Darussalam, terbit seminggu sekali, Redaksi menerima tulisan dari berbagai kalangan dan berhak untuk mengeditnya tanpa merubah maksud dan isi tulisan | Kritik dan saran silahkan hubungi redaksi via surat, telepon atau email (figur-darussalam@yahoo.com)

Jumat, 19 November 2010

KETIKA KITA BERHENTI MENULIS

No. 13, 12 Dzulhijjah 1431 H / 19 November 2010 M

KETIKA KITA BERHENTI MENULIS
Oleh : Asep Roni Hermansyah, S.Pd.I*

“Apabila saya tidak berhasil mengajar melalui pesantren, maka saya akan mengajar dengan pena.” (KH. Imam Zarkasyi, DGMPM, hal. 251)

Muqadimah

Karya, dalam pandangan KH. Imam Zarkasyi, secara mendasar dihubungkan dengan prinsip amal jariyah yang membawa manfaat kepada orang lain. Semakin besar manfaat karya seseorang semakin besar nilai amal jariyah dari karya itu. Sehingga, karya yang bermanfaat merupakan salah satu bentuk ibadah dan realisasi ketakwaan serta menjadi ukuran kebesaran seseorang...
Suatu saat, pernah terjadi dialog antara beliau dengan salah seorang alumni:
Kyai : Kamu sudah mengajar?
Santri : Belum.
Kyai : mati kamu!
Lalu disambung lagi.
Kyai : Sudah menulis atau menerjemahkan buku?
Santri : Belum.
Kyai : mati kamu!
Lalu disambung lagi.
Kyai : Sudah Kawin?
Santri : Belum.
Kyai : mati kamu! (1)

Karya, dalam hal ini menulis, memiliki fungsi yang banyak dan pengaruhnya sangat luas. Transformasi nilai; transformasi pengetahuan; Nasyrul fikroh; Media kaderisasi, Propokasi dan Propaganda.


Transformasi Nilai


Dalam Tulisanya di Risalah ini, KH. Asep Shalahuddin Mu'thie, BA. Menyebutkan bahwa ada lima point penting dalam proses transformasi Nilai dan ajaran Pondok Pesantren Darussalam yang harus difahami dan dihayati oeh semua pihak. Pertama; Keteladanan. Kedua; Penugasan. Ketiga; Penciptaan Lingkungan. Keempat; Pengarahan. Kelima; Pembiasaan. (2)
Kelima nilai ini secara umum telah tertanam dalam sanubari semua penghuni pondok.

Manifestasi langsung telah terlihat secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, semua nilai dan ajaran tidak bisa sekedar diwariskan secara verbal atau melalui aksi. Ia juga harus hadir dalam bentuk tulisan yang bisa diakses dimanapun dan oleh siapapun. Sehingga, mereka yang ingin mengetahui dan mempelajari Darussalam akan lebih mudah. Terutama sebagai buku pegangan utama bagi pondok-pondok alumni yang sekarang telah tersebar di banyak tempat.

Kelima nilai yang ditulis KH. Asep Shalahuddin Mu'thie, BA. Di Risalah Ilmiah Figur hanya review singkat. Keteladan, penugasan, penciptaan lingkungan, pengarahan, dan pembiasaan memiliki kandungan yang tidak bisa dibahas dalam satu paragraph diatas selembar bulletin. Jika ia dikaji secara mendalam, akan tercipta lima jilid buku tebal yang sangat besar manfaatnya untuk semua kalangan.

Trimurti, memiliki Pola Fikir, Pandangan, Derap langkah, ide dan mimpi yang harus dituang menjadi media berbentuk buku. Bahasa verbal (Pidato, ceramah, pengarahan) hanya bersifat temporal dan memiliki keterbatasan akses. Berbeda dengan buku. Ia portable, bisa ditenteng bisa dijinjing, bisa dibaca dimana saja.


Banyak kasus hilangnya sebuah pesantren disebabkan oleh meninggalnya para Founding Fathers. Regenerasi tertunda karena generasi kedua masih muda atau tidak peduli dengan hasil karya para pendahulu. Visi misi lembaga hilang tertanam bersama jasad mulia generasri pertama karena tak sempat tertulis atau barangkali sengaja tak ditulis dengan alasan tawadhu dan takut riya.

Tulisan ini, minim data. Hanya ada 'Transformasi Nilai dan Ajaran Pondok' yang ditulis KH. Asep Sholahuddin yang bisa dijadikan rujukan. Padahal, selama rentang waktu 24 tahun buah karya Trimurti pasti sangat banyak. Akan tetapi, buah karya itu sulit diakses umum. Jika ada tim khusus dan menyimpan semua karya-karya itu di perpustakaan atau ditempat khusus usai moment-moment penting, akan ada sumber data yang sangat berharga yang mengiringi perjalanan Ma'had ini. Jadi, trimurti harus menjadi prionir dalam menulis, karena ia warisan berharga yang tak lekang dimakan usia.

Transformasi Ilmu Pengetahuan

Diantara pertanda kiamat kubro akan segera menjelang adalah menghilangnya ilmu dengan semakin minimnya jumlah ulama. Ulama dalam konteks agama dan bukan ulama entertainment yang besar dan terkenal karena media namun minim ilmu dan rajin berfatwa. Dalam hal ini, penulis sangat mengapresiasi al-mukarram Ust. Adang Hasan Khoiruddin, S.Pd.I yang telah menghasilkan karya dalam dua disiplin ilmu,Faraidh (3) dan Sharf. Dan al-mukarram Ust. Joko Waluyo, S.Pd.I yang telah menyusun muqorror Gramatika Bahasa Inggris yang termasuk pelajaran sulit bagi mayoritas santri. Begitu juga asatidzah lain yang telah menghasilkan karya tulis serupa.

KH. Imam Zarkasyi telah menulis buku-buku yang menjadi rujukan semua Pesantren alumni Gontor. Durusullughoh, Pelajaran Tajwid, Fiqih, Ushuluddin dan beberapa buku lainya, menjadi media transformasi ilmu. Buku-buku yang beliau tulis terlihat sangat sederhana. Akan tetapi, mencipta hasil yang luar biasa. DR. Budiono, salah seorang Dosen LIPIA asal Bandung dalam 'Temu Pendidikan 3' yang diadakan L-DATA dan LP3IT memuji Buku Durusullughoh karangan KH. Imam Zarkasyi yang sistematik dari sisi manhaj, mampu mendorong orang yang tidak mengerti Bahasa Arab menjadi mahir menggunakan bahasa tersebut.

Bahkan, beliau memberikan kritik terhadap lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang mengklaim berhasil mengembangkan Bahasa Arab. Beliau berpendapat bahwa yang berhasil adalah pesantren, sekolah dan madrasah di daerah. sebab, merekalah yang menjadi pondasi penanaman ilmu pengetahuan dan bahasa yang kelak dimatangkan di lembaga pendidikan tinggi. Disini, kami menanti karya serupa yang akan mewarnai dunia dari para pengelola Pondok ini. Bisa saja dengan mengarang Kitab Durusullughoh untuk para mahasiswa yang sampai sekarang belum ada. Semoga. (4)

Nasyrul Fikroh

Transformasi nilai lebih bernuansa kedalam, maka nasyrul fikroh lebih mengarah keluar, ekspansi. Darussalam tidak diseting untuk berskala mini. Akan tetapi, harus melewati batas territorial, ia harus me-nasional bahkan go internasional. Tengok alumni Gontor, mereka telah memasuki setiap lini dalam Bangsa ini. Hal ini adalah keniscayaan bagi Alumni Darussalam dimasa mendatang. Amin.

Dalam bukunya ‘Islam: A Chalenge To Faith’ Samuel M. Zwemmer, membahas bahwa islam adalah tantangan untuk keimanan seorang kristiani. Dalam buku itu, ia juga membahas sistem kaderisasi ulama yang dilakukan di Universitas Al-Azhar Kairo. Ia menggambarkan bahwa Islam adalah a real enemy for the west yang harus dihadapi bersama-sama. Tulisan ini menginspisasi Barat untuk terus berhadapan frontal dengan Islam. (5)

Dalam masalah ini, pernah atau tidak pernah membaca buku tersebut, KH. Imam Zarkasyi sangat jeli. Pertama; beliau mencipta Gontor menggunakan konstruksi baja dengan dasar beton bertulang. System badan wakaf ala Al-Azhar telah menjadi system yang kuat yang menjamin kelangsungan hidup pesantren. Kedua; System kaderisasi ulama telah dimulai dengan program PKU Cios ISID. Ketiga; beliau mengangkat tema seribu gontor. Inilah nasyrul fikroh. Tema ini mengandung makna harapan tinggi bahwa gontor harus mewarnai Indonesia bahkan dunia. Darussalam, sebagai satu bagian dari seribu gontor tentu tidak akan melewatkan prores nasyrul fikroh ini. Dan media tulisan, akan memberi saham yang tidak sedikit. Insya Allah.


Media Kaderisasi, Propokasi dan Propaganda

Buku ‘Das Kapital’ karangan Karl Mark telah menjadi media kaderisasi yang mendorong para pengikutnya mendirikan negara komunis. Akibat ideology ini, sekian juta jiwa melayang, sekian kehancuran terjadi. Buku dan idioligi ini adalah mimpi buruk peradaban hasil dari tulisan. (6)

Buku-buku lain yang isinya sama sangat banyak jumlahnya: Buku 'Ayat-Ayat Setan' karangan Salman Rusdi pada awal tahun 2002 yang berisi hujatan. Buku 'The True Quran' yang menyatakan bahwa al-Quran yang sekarang beredar kurang lengkap dan jauh dari kesempurnaan. Pada tanggal 28 Juli 2003, Majalah Newsweek memuat artikel bertajuk, 'Chalengging The Quran'. Artikel yang ditulis akademisi Jerman Christhop Luxenberg (nama samaran) yang isinya menghujat al-Quran. (7)

KH. Rahmat Abdullah, menulis kritik terhadap system kaderisasi dan propaganda kesesatan yang dijejalkan kepada generasi muda melalui media tulisan, "Seorang penulis membahas Atheisme dengan indah. Tanpa harus mendeklarasikan bahwa ia sedang melawan Tuhan. Dengan tulisanya ia menggiring pembaca untuk bersatu padu melawan Tuhan. Dengan begitu, ia terlepas dari tuduhan atheis sedangkan para pembacanya teracuni dan menjadi katalisator merebaknya para penentang Tuhan."

Dihalaman berikutnya beliau menulis, "Novel-novel berbau lendir bertebaran tak terbendung. Dibiayai dan didistribusikan dengan gencar sampai ke pelosok-pelosok paling terpencil dari negeri ini. Meracuni otak para remaja dengan tema sentral seputar perzinaan dan perselingkuhan. Didalam suatu rumah, sepasang suami istri yang telah sah menikah dan baru beberapa minggu berbulan madu harus berpisah hanya karena masalah sepele, sementara diseberang sana dalam rumah lain sepasang belia hidup romantis, tanpa ikatan nikah, semua penuh cinta. Novel itu diakhiri dengan clossing statemen yang meracuni karakter remaja dan generasi muda. 'Apalah artinya selembar surat nikah, bila hidup penuh neraka. Lebih baik cinta sejati walau tanpa ikatan resmi'." Naudzubillah.(8)

Ketika Kita Berhenti Menulis

Ketika kita berhenti menulis, akan ada orang-orang lain yang mengisi kekosongan itu dengan menghasilkan mahakarya masterpiece yang gilang gemilang, jika ia mengusung tema kebenaran. Atau sebaliknya akan terjadi kehancuran besar jika tulisan itu mendukung tema kebatilan dan kerusakan.

Ketika kita berhenti menulis, akan tercipta jeda lama antar generasi. Kemajuan yang seharusnya cepat menjadi terlambat. Ide dan pokok pikiran yang seharusnya diterjemahkan dan di-bumikan hanya menjadi pengiring kain kapan tersimpan dibawah pusara, tak sempat diwariskan melaui tulisan.

Ketika kita berhenti menulis, akan ada kemunduran. Sebab, kita mengabaikan perintah pertama: membaca dan tidak peduli dengan perintah selanjutnya: menulis. Padahal, Allah Swt. Telah mengajari manusia dengan Perantaraan pena (Alladzi 'allama bil qalam), lalu kenapa kita tidak turut mengajari manusia dan menasehati mereka dengan pena?


* Penulis : Guru Pesantren Darul Aitam, Garut. Alumni Reward 2010 Pesantren Darussalam. Alumni Angkatan 2 Ma'had 'Aly An-Nu'aimy Jakarta.


Referensi : 

1. Dari Gontor Merintis Pesantren Modern, KH. Imam Zarkasyi, Gontor Press, Jawa Timur, Cet. 1, September 1996.
2. Risalah Ilmiah Figur Darusalam, No. 06
3. llmu yang akan lenyap pertama kali seperti yang disebutkan Oleh Rasulullah. Lihat: Sunan Ibnu Majah, juz 6 hal. 196 )
4. Daurah Peningkatan Mutu guru dan Manajemen Lembaga Pendidikan Islam di Gedung LPMP (Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan). Diadakan oleh L-Data (Lembaga Dakwah dan Taklim, pimpinan DR. M. Yusuf Harun, MA.) bekerjasama dengan LP3IT (Pimpinan Ust. Suroso). Daurah ini diikuti oleh penulis dan salah seorang Kader Pesantren Darussalam, Ust. M. Yasfi Afazani.
5. Islam A Chalenge to Faith, Studies on The Mohammedan Relogion And The Needs And Opportunities Of The Mohammedan Worlds From The Standpoint Of Christian Missions, Samuel M. Zwemmwer, F.R.G.S, New York, Student Volunteer Movement For Foreign Missions, 1907, Second Revised Edition, Prepared By: www. Muhammadanism.ogr, August 18, 2004.
6. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Michael H. Hart, 1978, Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, 1982,PT. Dunia Pustaka Jaya, Jln. Kramat II, No. 31A, Jakarta Pusat. Dengan beberapa perubahan.
7. Swaramuslim.net, Aspirasi & Muslim Voice Oleh : Redaksi 14 Aug 2003 - 1:36 pm. Dengan beberapa perubahan.
8. Pilar-Pilar Asasi, KH. Rahmat Abdullah, Hal. 67, 69. Dengan beberapa perubahan.
Read more »

Kamis, 11 November 2010

Mahar Dalam Tinjauan Para Mufassir

No. 12, 04 Dzulhijjah 1431 H / 11 November 2010 M

Mahar Dalam Tinjauan Para Mufassir
Oleh: Abdul Hakim, S.H.I.
(Peserta Program Kaderisasi Ulama ISID Gontor Angkatan Ke-IV)

Dekonsrtuksi syariah adalah salah satu upaya kaum feminis untuk menghancurkan agama Islam, diantara hukum yang akan didekonstruksi ialah akhwal al-syahksiah, (hukum keluarga). Mahar merupakan salah satu sorotan kaum feminis, mereka berpendapat bahwa mahar bisa saja dilakukan oleh istri dengan alasan (Equality) kesetaraan jender, dilihat dari perkembangan jaman dewasa ini, contohnya seperti yang terjadi Di IAIN Wali Songo, ada seorang dosen membolehkan mahar dari pihak perempuan. Padahal, ulama tafsir dan ulama fiqih telah menetapkan bahwasannya mahar diberikan oleh laki-laki. Dari masalah diatas maka penulis akan mengulas sedikit pemahaman mahar menurut ulama tafsir terdahulu. Yaitu dengan menganalisis satu ayat tentang mahar dengan mengambil beberapa pendapat mufassir, sehingga menghasilkan indikasi hukum yang mengarah kepada kewajiban siapa yang memberikan mahar, diantara ayat yang menjelaskan mahar adalah Q.S An-Nisa :4): "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan, kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya "

Analisis Bahasa

: واو عاطفة nun yang mengindikasikan perintah memberikan mahar ini kewajiban yang diathafkan kepada lafadz ayat sebelumnya yaitu lafadz انكحوا selanjutnya lafadz اتوا bershigat fi’il amr yang hukumnya mabni kepada hadf dan sebagaimana kaidah Fiqhiyyah الاصل في الامر للوجوب yaitu asal dari perintah adalah wajib.
النساء jama’ taksir dari امراةdan berkedudukan sebagai maf’ul awal yang statusnya sebagai akhid atau calon istri yang akan menerima mahar. صدقا تهن sebagai maf’ul kedua dari lafadz اتوا yang statusnya sebagai ma’khud atau barang yang diterima calon istri.
نحلة shigahnya masdar dan berkedudukan sebagai maf’ul mutlak atau hal dari lafadz اتوا yaitu pemberian secara sukarela.


فا disini merupakan fa istinafiyah yaitu untuk memulai perkataan, ان syartiyah yang menjazmkan dua fi’il ya’ni fi’il syarat dan jawab syarat , lafadz طبن bershigat fi’il madhi dan berkedudukan sebagai syarat dari lafadz ان adapun jawab dari lafad in tersebut ialah lafadz كلوا yang disambungkan dengan فا dan memakai fa tersebut adalah wajib karena jawab syarat tersebut tidak dibentuk dari fi’il madhi atau fi’il mudhori’
kedua lafadz ini merupakan hal dari isim dhomir ه yang kembali kepada lafadz شيء


Pendapat Mufassirin

Bila mengulas kembali buku-buku tafsir dari para penafsir terdahulu maka akan mendapatkan banyak pendapat yang menfsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, baik yang berbeda pendapat maupun yang sama pendapatnya, tetapi di dalam menafsirkan ayat ini para ulama’ tafsir tidak terlalu banyak berbeda pendapat.
Di dalam tafsir Baghowi dijelaskan bahwa khitab dari surah An Nisa ayat 4 bertujuan kepada wali nikah, karena pada zaman dahulu ketika seorang ayah menikahkan anaknya dan menerima mahar dari mempelai lelaki mereka tidak memberikan mahar tersebut kepada anakanya baik sedikit dari mahar itu. Sedangkan yang lain berpendapat berdasarkan hadits rasul yang melarang akan assyaghar (assyaghar adalah seorang ayah menikahkan anak perempuannya yang satu kemudian menikahkan anak perempuan yang lain, akan tetapi keduanya dinikahkan tanpa mahar), khithab tersebut ditujukan kepada suami yang di perintahkan untuk memberikan mahar kepada calon istrinya, dan pendapat ini yang paling benar karena khitab yang sebelumnya menyatakan kepada orang yang menikahi
Diperkuat dengan pendapat Imam Mawardi yang mengatakan bahwa khithab ayat tesebut terbagi dua yaitu, pertama: kepada calon suami yaitu berdasarkan pendapat kebanyakan para ulama’ tafsir; kedua: kepada wali perempuan, karena pada zaman jahiliyah wali berkuasa penuh akan mahar anak perempuannya, maka Allah menyuruh agar mahar tersebut diberikan kepada mereka (anak perempuan mereka), pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Shalih
Sedangkan di dalam buku Majmu’ Al-Bayan dikatan bahwa khithab tersebut bertujukan kepada mempelai lelaki, suatu perintah dari Allah SWT kepada calon suami agar memberikan mahar kepada mereka untuk dihalalkannya hubungan suami-istri, dan mengembalikan setengahnya apabila diceraikan sebelum melakukannya, tanpa harus ada permintaan dari istri dan juga tidak ada pertengkaran, karena harta yang setengah tersebut diambil secara hukum dan tidak disebut dengan pemberian yang diberikan dengan sukarela, berdasarkan pendapat Ibnu ‘Abbas dan Qatadah dan Ibnu Jarir.

Jadi yang menjadi kewajiban yang membayar mahar adalah calon suami kepada calon istrinya, dan apabila telah terjadi pernikahan selanjutnya apabila suami menthalak istrinya maka ia wajib membayar mahar yang telah ditentukan, apabila ia menthalak sebelum hubungan suami istri maka ia boleh membayar mahar setengah dari yang telah ditentukan.

Kandungan Ayat

Ayat tersebut menjelaskan tentang mahar, dan terdapat tiga kata kunci yaitu pertama: adalah khitab dari mahar yang menunjukkan kepada suami; kedua:صدقا تهن maksudnya adalah mahar, kata mahar terdapat banyak persamaan kata diantaranya, faridhah yang terdapat di dalam surah Al-Baqoroh ayat 236, nihlah (Al-Nisa’, 4), Al-Ajr (Al-Thalaq, 10), hibah, thaul, nikah. Dan dari kata-kata tersebut yang paling populer di pergunakan adalah kata al-mahru, yaitu pemberian calon suami kepada sang isteri sebagai tanda tanggung jawab suami di dalam kehidupan rumah tangga dengan memberikan nafkah, juga sebagai tanda kemuliaan seorang isteri, diangkat derajatnya dari tidak diberikan mahar ketika zaman jahiliyah menjadi harus diberikan; ketiga : نحلة artinya adalah dengan sukarela, atau seorang suami memberikan mahar kepada istrinya harus dengan rasa ikhlas tanpa harus terpaksa, maka tidak ada alasan bagi suami untuk menggunakan mahar yang sudah diberikan kepada istrinya. Dan juga menurut Qurais Syihab dalam tafsirnya mengatakan nihlah itu artinya pemberian yang tulus tanpa mengharapkan sedikitpun imbalan, kata ini juga dapat berarti agama, pandangan hidup, sehingga maskawin yang diserahkan itu merupakan bukti kebenaran dan ketulusan hati sang suami, yang diberikannya tanpa mengharapkan imbalan, bahkan diberikannya karena didorong oleh tuntunan agama atau pandangan hidupnya.
Ada ulama yang menafsiri kata tersebut adalah kewajiban karena kata نحلة menurut bahasa artinya adalah agama, syariat, atau madhab.
Ketiga:  artinya yang sedap lagi baik manfa’atnya, maksudnya pemberian yang sudah diberikan secara sukarela boleh dipergunakan oleh suami asalkan istri menghalalkannya dan sebagai makanan yang baik dan bermanfa’at.
Maka mahar adalah suatu pemberian yang wajib ditunaikan oleh calon suami kepada calon istri sebagai tanda keihklasan dan kerelaannya untuk bersama sebagai suami istri.

Akibat Hukum

Dalil-dalil diatas menjelaskan suatu kewajiban bagi seorang calon suami untuk membayar mahar kepada calon istri dan menjadi haram baginya untuk menggunakan mahar tersebut kecuali atas kerelaan hati isteri, karena isteri adalah pemilik hartanya sendiri, sedangkan suami tidak mempunyai hak terhadapnya karena sudah diberikan dengan penuh kerelaan dan apabila istri merelakan hartanya untuk dipergunakan oleh suami, maka suami harus menggunakan sebaik mungkin, dengan manfa’at yang baik.

Perintah kepada suami untuk menggunakan harta istrinya atas kerelaan isteri bukanlah suatu kewajiban, karena ayat tersebut menunjukkan suatu yang telah diharamkan menjadi suatu yang dihalalkan dengan syarat isteri merelakannya. Suami wajib membayar setengah dari mahar yang telah ditentukan apabila ia menceraikannya sebelum ada hubungan biologis.
1. Ulama’ tafsir berpendapat bahwa khithab ayat tentang mahar tersebut terbagi dua yaitu kepada wali dan kepada calon suami, tetapi pendapat yang paling kuat adalah kepada calon suami
2. Kandungan ayat yang terdapat di dalam ayat tersebut adalah perintah kepada calon suami untuk memeberikan mahar kepada calon istri dengan rasa sukarela
3. Memberikan mahar kepada calon istri merupakan suatu yang diwajibkan kepada calon suami, dan diharamkan bagi suami untuk menggunakan pemberiannya kecuali atas izin isteri
Maka dari keterangan di atas sungguh naif sekali kaum feminis yang menyatakan bahwa mahar bisa dari seorang perempuan berdasarkan asas (equality) Kesetaraan jender. Padahal telah kita ketahui dalam pembahasan diatas bahwa para mufassir dalam menafsiri ayat mahar menyatakan bahwa khitob dari ayat tersebut untul laki-laki, bukan perempuan.

Referensi:

Jalaluddin.Tafsri Jalalain, Surabaya, Maktabah Salim.
Abi Muhammad Husain. Tafsir Al-baghawi. Darulkutub ilmiyah: Bairut. Libanon
Abu Hasan Ali. Al-Nukatu Wal-‘Uyun Tafsir Al-Mawardi. Darul kutub ilmiyah: Bairut. Libanon.
Abu Ali Al-fadhl. 1994. Majmu’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an. Darul fikri: Bairut. Libanon.
Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Kasir.
M. Qurais Syhihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta Lentera Hati
Imam Fahrudin, Tafsir Kabir jilid 5 Mesir. At-Taufiqiyyah
Al-Imam As-Syafi’I Tafsir imam Syafi’I jilid 2, Jakarta Timur. Al.Mahira.
Read more »

Senin, 08 November 2010

Makna Kesederhanaan

No. 07, 28 Syawal 1431 H / 07 Oktober 2010 M

Renungan

Makna Kesederhanaan
Oleh : Asep Deni Fitriansyah, M.Phil
(Guru TMI Pondok Pesantren Darussalam)

Berbicara tentang kesederhanaan tidak bisa lepas dari gaya hidup manusia yang menjadi tren pada masanya, karena sejatinya kesederhanaan adalah suatu nilai yang barometernya selalu berubah ubah sesuai dengan cara pandang manusianya. Kesederhanaan dalam kacamata orang-orang zuhud, para biksu, akan berbeda dengan para politisi dan birokrasi, sama bedanya cara pandang masyarakat biasa dengan selebritis. Sebagai contoh bagi orang zuhud memiliki baju lebih dari yang dipakai sudah merupakan pemborosan, dapat makan lebih dari tiga kali dalam sehari bisa jadi dianggap mewah, tapi bandingkan dengan usulan DPR untuk membangun perkantoran yang sangat megah, dengan pasilitas yang serba wah. Dengan rencana anggaran tidak kurang dari 1,8 triliun rupiah, jumlah yang sangat pantastik. Dengan alasan demi kenyamanan bekerja. Bagi mereka uang sebanyak itu tidak dianggap sebagai pemborosan. padahal rakyat miskin masih sangat membutuhkan dana itu untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Disisi lain penilaian tentang kesederhanaan juga dipengaruhi oleh kebutuhan masing-masing individu yang pastinya berbeda, 1 juta rupiah bagi masyarakat biasa dipedesaan sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan hidup sekeluarga selama 1 bulan, namun bagi masyarakat kota apalagi kalangan borju, 1 juta kurang untuk kebutuhan hidup 1 hari. Karena kebutuhan masyarakat desa lebih sedikit dari kebutuhan masyarakat kota, disamping godaan untuk berbelanja di desa lebih kecil daripada di kota.

Kesederhanaan merupakan sikap seimbang dalam hidup, sikap antara ifrath dan tafrith, antara berlebihan dan mengabaikan, yang dalam bahasa arab disebut dengan attawassuth yang berarti sinergi tengah. Sederhana dalam bicara, berarti berbicara sesuai kebutuhan, singkat padat berisi. Sederhana dalam berpakaian berarti memakai pakaian sewajarnya dengan tujuan utama menutupi aurat. Sederhana dalam makanan berarti mengkonsumsi makanan yang mencukupi kadar kebutuhan gizi tubuh. Sederhana dalam belanja berarti jumlah belanja tidak lebih besar dari nominal pendapatan.

Manusia harusnya belajar tentang kesederhanaan dari apa yang terjadi di alam sekitar; lihatlah burung pipit meski ada jutaan dahan kayu di hutan, seekor pipit cukup memakai sebatang ranting untuk menggayutkan sarangnya. Keselamatan telur-telurnya lebih berarti dibanding seberapa banyak ranting yang bisa dikuasai. Lihat pula seekor zebra hanya meneguk air kubangan secukupnya meski panas terik membakar. Bersikap sesuai dengan keperluan dan kemampuan, tak melebihkan dan tak menguranginya. Menjaga batas kewajaran agar melodi hidup dapat berjalan seirama.

Kesederhanaan adalah kekuatan di balik orang-orang hebat. Tokoh besar dunia, seperti Rasulullah, Budha, Mahatma Gandhi dan lainnya, memberi keteladan itu. Keinginan mereka selalu terkontrol dalam batas keperluan. Mereka tidak mau membebani hidup dengan hal-hal yang remeh, kegiatan yang tidak bernilai. Mereka menempatkan nilai hidup di atas materi. Tulus menerima dan mensyukuri segala yang dianugerahkan, hidup terasa berkecukupan dan bersahaja. Di Negara mana pun orang bersahaja lebih dihormati dan disegani, ketimbang orang yang bergelimpangan harta tapi congkak dan boros.

Rasulullah saw adalah seorang pemimpin yang sederhana. Rumah dan perabotan beliau sederhana. Pakaian beliau tidak lebih bagus dari yang lain. Beliau bergaul dengan siapa pun, kaya maupun miskin. Pola pikir beliau juga tidak berbelit-belit, Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah saw. tidak pernah memilih antara dua perkara melainkan akan memilih yang paling mudah antara keduanya selama perkara itu tidak mendatangkan dosa. Jika mendatangkan dosa, baginda adalah orang yang paling menjauhinya” (HR. Muslim). Beliau makan juga tidak melebihi batas kenyangnya perut. Aisyah menuturkan, keluarga Muhammad tidak ada yang pernah kenyang dari roti gandum dua hari berturut-turut sampai meninggal (HR. Bukhari).

Kesederhanaan dapat mengubah suasana sosial semakin harmonis, terhindar dari kesenjangan yang dapat mengusik ketentraman hidup bersama. Kesederhanaan akan membuka sekat diri merasa lebih berharga. Dan menggantinya dengan ketawadhuan, kesadaran akan keterbatasan diri, begitu pula rekan-rekan kita. Maka saling melengkapi lebih penting dari pada menonjolkan diri. Inilah refleksi keimanan, Rasul bersabda, “Sesungguhnya kesederhanaan itu bagian dari iman” (HR. Abu Dawud).

Kesederhanaan berarti melepaskan diri dari tuntutan dunawiyah yang menyesakkan, membebaskannya dari hawa nafsu untuk dipuaskan, yang sejatinya nafsu itu tidak mungkin dapat terpenuhi, ia bagaikan anak kecil yang menetek pada ibunya, kalau tidak di sapih maka sampai dewasa ia akan tetap menyusu pada ibunya. Sederhana berarti mengambil persoalan dari esensinya, dan menyikapinya dengan proporsional. Kesederhanaan selalu dekat dengan kemurahan hati dan sikap yang bijak, dan akan membawa pelakunya pada lapang dada dan menjauhkannya dari prasangka yang dapat meresahkan hidup.

Kesederhanaan adalah prilaku hamba Allah yang dikasihi yang dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan istilah ‘ibarurrahman “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan hartanya, mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” (al-Furqa 67). Walaupun firman Allah ini tidak secara langsung memerintahkan hambanya untuk hidup sederhana, namun secara imflisit menekankan pentingnya hidup sederhana, dengan bahasa lain seakan Allah berfirman; kalau engkau mau menjadi hambaKu, maka hiduplah sederhana, karena kesederhanaan adalah ciri perilaku hamba-hambaKu yang Ku kasihi.

Dalam ayat lain Allah dengan tegas melarang hambanya untuk berprilaku berlebih-lebihan dan boros, yang merupakan antonim dari kesederhanaan; “Dan tunaikanlah haknya dihari memetik hasilnya, dan janganlah kamu berlebih-lebihan sesungguhnya Allah tidak menyukai tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (al-An’am 141); “Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (al-A’raf 31). Boros adalah prilaku hidup manusia yang tidak berlandaskan azas proporsional. Melakukan sesuatu melebihi batas kewajaran, dan kemampuan. Sikap yang sungguh sangat buruk. Boros akan menjadikan manusia bersifat tamak, egois dan tidak bersahaja, selalu menganggap segala sesuatu itu remeh (kecil tak berharga). Karenanya wajar kalau Allah memerintahkan hambaNya untuk menjauhinya.
Sebagai penutup dari tulisan ini, mari kita renungi kaidah yang sangat masyhur dikalangan ulama ushul yang berbunyi :
كل شيء إذا زاد على حده انقلب إلى ضده
Maksud dari kaidah diatas adalah bahwa segala sesuatu apabila melebihi batas kewajarannya maka akibatnya akan berbalik ke arah kebalikannya. Wallahu a’lam bisshawab.
Read more »

MENYIKAPI PLURALITAS DAN PLURALISME AGAMA

No. 11

MENYIKAPI PLURALITAS DAN PLURALISME AGAMA
Oleh: Muhammad Ihsan, SHI.
(Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Angkatan Ke-IV ISID Gontor Ponorogo)


Kehidupan umat manusia dalam keragaman agama, budaya, etnis, dan bangsa dalam bermasyarakat dan bernegara di mana pun berada di dunia ini adalah suatu keniscayaan (QS: 49: 13). Lebih dari itu, pluralitas merupakan bagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah (QS: 30: 22). Tinggal bagaimana kita bersikap dalam menghadapi pluralitas ini.

Tercatat di dalam sejarah bahwa masyarakat Madinah di masa Rasulullah SAW terdiri atas berbagai macam suku dan agama. Namun keragaman suku dan agama tersebut tidak lantas menjadikan satu sama lain saling mempertunjukkan perbedaan apalagi pertentangan, yang terjadi justru tercipta sebuah kerukunan bermasyarakat dan sikap toleransi yang tinggi. Hal ini ditandai dengan terbentuknya sebuah konstitusi yang dideklarasikan dan ditandatangani oleh perwakilan-perwakilan dari berbagai suku dan penganut agama yang ada waktu itu. Konstitusi itulah yang kita kenal dengan Piagam Madinah. Dalam kerukunan kehidupan bermasyarakat yang sedemikian plural, mereka menikmati kebebasan untuk menganut agama dan beribadat menurut agamanya dengan damai.

Seperti halnya pada masa Rasulullah, masyarakat Indonesia juga hidup dalam pluralitas suku bangsa, ras, dan agama. Untuk mersepon kenyataan ini, pemerintah Indonesia mengambil sikap dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, yang artinya berbeda-beda tapi tetap satu jua. Akan tetapi, sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya 65 tahun lalu, impian untuk hidup berdampingan dengan damai antar pemeluk agama belum maksimal. Masih banyak rintangan untuk menjalankan keyakinannya masing-masing. Kebebasan dalam beragama masih saja mendapat intimidasi dari pemeluk agama lainnya. Kekerasan atas nama agama sering menjadi sorotan orang-orang liberal untuk mendeskriditkan kaum agamawan. Namun sebenarnya adalah manusiawi jika seorang penganut agama berkeyakinan bahwa ajaran agama yang dipercayainya sebagai satu-satunya yang benar. Setiap penganut agama berkeyakinan bahwa agamanyalah yang akan mengantarkan manusia ke dalam kehidupan yang bahagia. Tapi keyakinan akan hal tersebut tidak harus menimbulkan persengketaan yang mengakibatkan banyak kerugian.

Sikap fanatik beragama memang harus dimiliki setiap umat yang memegang teguh agamanya. Meyakini bahwa agama adalah ajaran yang haqq, the ultimate concern adalah sikap yang harus kita miliki sebagai umat beragama. Tanpa “kefanatikan” beragama ini, orang akan lantas menganggap semua agama adalah sama, kebenaran yang diyakini suatu agama adalah bersifat relatif karena kebenaran yang sama juga dimiliki oleh agama lain. Sehingga dengan mudahnya ia keluar masuk agama-agama yang dikehendakinya. Akan tetapi kefanatikan beragama ini pun jangan sampai merusak tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang plural dengan berbagai agama resmi dan aliran kepercayaan, dengan memaksakan kehendak diri terhadap orang lain yang tidak seagama dengan kita. Bukankah Allah SWT telah mengajarkan pada Nabi Muhammad SAW dalam (QS: 109: 6) tentang hal ini? Allah berfirman:

“untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”

Beragama tidak hanya kesadaran kognitif, tetapi juga keyakinan hati, pengamalan anggota badan, kecintaan ruhaniah, dan kehangatan kebersamaan dalam melaksanakan ritual keagamaan. Dan hendaknya aspek-aspek penghayatan kehidupan beragama ini diterapkan juga dalam setiap tingkah laku kita sebagai individu, di masyarakat, maupun dalam kehidupan bernegara.

Nilai-nilai dasar dan universalitas agama yang kita yakini ini hendaknya kita aplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Sikap toleran, saling menghormati, musyawarah, tolong menolong, gotong royong, ramah tamah yang juga menjadi kearifan bangsa Indonesia sejak zaman nenek moyang dulu hendaknya tidak luntur oleh perubahan zaman. Karena sikap-sikap inilah yang juga diwariskan oleh para Nabi pembawa risalah keagamaan, dari sejak diutusnya Adam AS. hingga disempurnakannya Islam dengan risalah Muhammadiyah.
Dalam kehidupan sosial, Islam mengajarkan kita untuk membangun tatanan kehidupan bermasyarakat yang baik, dengan bermu’amalah dan tolong menolong dengan sesama anggota masyarakat, tidak saja sebatas sesama kaum muslim, tapi juga dengan penganut agama lain (QS: 60: 8). Dengan demikian, pluralitas yang penuh kedamaian dalam segala segi kehidupan akan terpelihara jika kita mau menghargai dan bertoleransi dengan orang lain.

Akan tetapi sikap toleransi beragama memiliki rambu-rambu tersendiri dalam Islam. Islam mengatur sedemikian rupa kerukunan antar umat manusia dengan tidak mengabaikan aspek kemurnian akidah yang dianut oleh umat muslim. Sehingga tidak hanya esensi dari toleransi –yaitu terciptanya kehidupan masyarakat yang damai sejahtera– yang bisa diraih, tetapi juga keutuhan dan kemurnian akidah pun tetap terjaga. Karena berapa banyak di antara saudara-saudara muslim kita yang terbuai dengan apa yang diistilahkan dalam al-Qur’an sebagai zukhruf al qawl gururan “kata-kata yang indah namun menipu” (QS: 6: 112) yang dengan kata-kata itu mereka akhirnya terjerembab ke dalam paham yang membingungkan sikap keberagamaannya. Karena serangan yang dilancarkan oleh kaum orientalis saat ini tidak secara kontras terlihat oleh kasat mata, tidak pula dirasakan oleh hati, lalu dengan mudah kita menolaknya; melainkan merasuknya paham-paham menyesatkan itu bisa jadi secara halus meluncur dari mulut para cendikia muslim yang tidak menyadari bahwa dia telah terkontaminasi oleh pemikiran menyimpang yang disusupkan oleh kaum orientalis melalui kata-kata menipu itu. Misalnya saja, penyamarataan derajat manusia yang dalam hal ini muncul dengan konsep HAM (padahal yang sebenarnya adalah paham humanisme sekular), keyakinan bahwa semua agama adalah benar, sehingga kebenaran bersifat relatif dan tidak ada agama yang lebih benar dari yang lain (paham relativisme), atau semua agama adalah sama (pluralisme agama), yang semuanya merupakan propaganda Barat dan kaum orientalis agar umat muslim menjadi ragu bahkan mempertanyakan keyakinannya, hingga akhirnya mereka menjauhi bahkan phobia dengan Islam dan islamisasi. Oleh karena itu, toleransi agama hendaknya berada dalam aturan dan koridor Islami untuk menghindari merasuknya paham menyesatkan yang dipropagandakan oleh kaum orientalis, yaitu pluralisme agama.

Pengertian antara pluralitas dan pluralisme agama pada saat ini sudah banyak direduksi oleh para orientalis dan juga oleh cendikiawan muslim liberal, bahkan cenderung disamakan. Seperti yang dilakukan oleh John Hick, dia menyatakan bahwa agama merupakan manifestasi-manifestasi dari realita yang satu, sehingga semua agama dianggap sama dan tak ada yang lebih baik satu sama lain. Pengertian ini tentu sangat keliru karena berangkat dari pemahaman agama yang sempit, yang memandang agama hanya sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial. Parahnya, pemahaman reduksionistik inilah yang justru semakin populer di kalangan para ahli dan para pemikir.
Adapun Islam, sudah berabad-abad yang lalu meletakkan konsep-konsep dasar dalam menghadapi pluralisme. Meski tidak menjadi bahasan tersendiri yang independen, Islam sebenarnya telah memiliki konsep yang mapan dalam menyikapi pluralisme agama. Biasanya konsep itu terdapat pada salah satu bab atau sub-bab pembahasan fiqhiyyah dalam kitab-kitab fiqh, dan tidak dalam pembahasan ilmu kalam atau teologi Islam. Karena isu-isu pluralitas dalam pandangan para ulama muslim lebih mengupas masalah koeksistensi dan interaksi sosial praktis antar manusia yang berafiliasi pada agama, tradisi, dan kultur yang berbeda, yang diatur dalam sebuah tatanan masyarakat, baik yang menyangkut hak maupun kewajiban, untuk menjamin ketenteraman dan perdamaian umum. Dengan begitu Islam memandangnya sebagai hakikat ontologis yang genuine (otentik) yang tidak mungkin dinafikan. Maka dengan begitu, umat muslim hendaknya memandang pluralisme ini melalui sudut pandang (worldview) keislamannya. Berbeda dengan teori-teori kaum orientalis yang melihatnya dengan melepaskan terlebih dahulu atribut-atribut keagamaannya, lalu mengklaim bahwa pandangannya itu objektif, dan menyimpulkan bahwa pluralisme merupakan keragaman yang hanya terjadi pada level manifestasi eksternal yang superfisial dan tidak hakiki, sehingga menurut mereka, yang beragam itu pada dasarnya adalah sama.

Sehingga pada tataran solusi pun, Islam menawarkan solusi yang praktis sosiologis karena permasalahan pluralisme lebih merupakan permasalahan yang aplikatif, praktis, administratif, dan historis, yakni dengan membangun tatanan masyarakat yang solid. Sementara teori-teori pluralisme orientalis memberi solusi teologis epistimologis, karena menganggap permasalahan tersebut adalah menyangkut keimanan atau teologi, yakni dengan menganggap semua agama adalah sama.


Referensi:
Baisard, Marcel A., Humanisme Dalam Islam Cet. I, pent.: H. M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980)
Hasan, Masudul, History of Islam Vol. I, (India: Adam Publishers & distributors, 1995)
Mas’du, Abdurrahman, Menuju Paradigma Islam Humanis, (Yogyakarta: Gama Media, 2003)
Balitbang dan Diklat Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Tafsir al-Qur’an Tematik: Hubungan Antar Umat Beragama Cet. I, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2008)
Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis Cet. I, (Jakarta: Perspektif, 2005)
Read more »

UPAYA MENGGAPAI CINTA KEPADA ALLAH

No. 10

Topik : Tadabbur/Tausiah

UPAYA MENGGAPAI CINTA KEPADA ALLAH
Oleh : Asep Ali Rosyadi, S.Ag.
(Guru TMI PP. Darussalam)

Berbiacara masalah cinta sangatlah menarik terutama bagi kaum remaja meskipun kadang – kadang pelik dan rumit karena sebenarnya siapa yang harus lebih kita cintai di dunia ini dan sekarang ini.

Dalam menjalani kehidupan cinta memang sangatlah dibutuhkan, karena manusia tak akan mampu menjalani hidup tanpa cinta. Tanpa cinta, kehidupan akan terasa gersang, hati menjadi keras dan tubuhpun akan menjadi kurus kering laksana mayat, maka selayaknya manusia hidup dipenuhi dengan perasaan cinta dan kasih sayang, tapi jangan salah dalam bercinta ! sebab kalo kita terlalu cinta terhadap harta, harta tersebut suatu saat akan hancur dan binasabahkan ketika meninggal harta itupun kita tinggalkan dan akan dibagi – bagikan sebagai harta warisan. Jika kita cinta kepada wanita apalagi sampai tergila – gila maka ingatlah bahwa itu hanyalah dorongan syahwat dan ia akan hilang atau berakhir dengan tragedi kematian salah satunya atau bahkan kedua – duanya.

Cinta yang harus kira cari adalah cinta yang kekal dan tak akan binasa. Cinta yang akan menambah kekuatan kita dan kita tak takut akan berakhir dengan kekerasan, penentangan, penghianatan, atau keretakan hubungan. Ya…cinta yang abadi. Yaitu cinta kita kepada Allah SWT sang pencipta seluruh jagat raya termasuk diri kita.

Mari kita renungkan sebuah ayat dalam Al-qur`an surat At-Taubah : 24 yang artinya : “Katakanlah ! jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiaannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rosul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak akan member petunjuk kepada orang-orang fasik”.
Dalam ayat ini Allah melukiskan sebuah gambaran, seandainya saja ada delapan jenis rasa cinta di satu sisi timbangan dan di satu sisi lainnya berisi cinta kepada-Nya kemudian keduanya ditimbang, jika yang delapan hal itu lebih berat walaupun hanya seberat atom saja, maka bersiaplah menunggu apa yang akan kita peroleh berupa label sebagai orang fasik.

Allah berfirman :”Dan Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang fasik”. Orang fasik dalam ayat ini adalah orang yang lebih mencintai delapan hal itu daripada cintanya kepada Allah, meskipun hukum mencintai delapan hal itu mubah (boleh). Karena sebenarnya terhadap delapan hal itu, Allah menyuruh kepada kita sesuatu, yaitu :
Bapak – bapak kalian : Allah memerintahkan kita berbuat baik.
Isteri- isteri kalian : Nabi berwasiat tentang isteri kita, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya(HR. Tirmidzi, Ad-Darami dan Ibnu Hibban)

Harta – harta yang kalian uahakan, perniagaan kalian, dan tempat tinggal kalian, yaitu rumah-rumah yang megah yang biasa kamu tinggal disana, semua itu boleh. Ayat ini tentunya bukan seruan untuk meninggalkan, tapi untuk membandingkan mana yang harus lebih kita cintai.

Allah telah memberikan kepada kita kemampuan untuk mencintai Isteri, anak dan keluarga kita. Dialah yang telah menumbuhkan rasa cinta dihati kita, lalau memberitahu kita bahwa yang paling utama kita harus mencintai-Nya melebihi cinta kita kepada yang lain.

Orang yang beriman sangat mencintai Allah maka sebagai orang yang mengaku beriman kepada Allah, Cintailah Allah sebesar nikmat yang Dia berikan kepada kita, Cintailah Allah karna kesempurnaan-Nya, cintai Allah karna karunia-Nya kepada kita, karna kelembutan-Nya kepada kita, dan cintailah Allah karena hidayah-Nya kepada kita.

Nabi bersabda: “Tiga hal siapa yang memilikinya, ia akan merasakan kelezatan iman ; Hendaklah Allah dan Rosul-Nya lebih ia cintai dari yang lainya, ia mencintai seseorang karna Allah dan ia benci kembali kepada kekufuran seperti ia benci dilemparkan ke neraka (HR: Bukhori Muslim)
Cinta adanya dihati, musibah terbesar bagi hati ketika ia tidak mampu melakukan tugas yang menjadi tujuan dasar dari penciptaan hati tersebut. Karena ia diciptakan untuk mengenal Allah dan mencintai-Nya dan pada hakikatnya kita tidak mengetahui sesuatu, sebab puncak dan dasar pengetahuan adalah mengenal dan mencintai (mahabbah) Rabb kita.

Mungkin saja semua dari kita akan mengaku mencintai Allah, tapi pengakuan itu akan diuji oleh Allah untuk membedakan pengakuan yang benar daripada yang bohong.

Janganlah mengaku cinta kepada Allah dengan ucapan semata, tetapi buktikanlah melalui perbuatan kita. Kita bisa menyatakan apa saja baik itu benar atau bohong, namun yang benar adalah perbuatan kita.
Jika kita ingin mengetahui kadar cinta kita kepada Allah, maka ukurlah diri kita dengan ayat ini: “katakanlah (hai Muhammad) jika kamu semua (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku” maka pertanyaannya adalah sudahkah kita mengikuti apa yang di perintahkan Allah dan Rosulnya ?

Sebenarnya semua orang rindu dan ingin menggapai cinta yang hakik, yaitu Cinta kepada Allah. Namun kadang-kadang hawa nafsu kita mengajak kita untuk lebih mencintai hal-hal lain. Maka berikut ini adalah beberapa kiat yaitu untuk menggapai cinta kepada Allah :
1. Jangan terus-menerus melakukan kemaksiatan. Kita semua sering berbuat kesalahan tetapi bila kita ingin menggapai cinta Allah janganlah kemaksiatan itu kita lakukan berulangkali, maka dosa yang terus menerus kita lakukan harus segera kita hentikan.
2. Segeralah tinggalkan “teman jelek kita” teman jelek adalah mereka yang suka berbuat hal yang sia-sia dan selalu mengajak kita untuk berbuat maksiat.
3. Kerjakanlah shalat lima waktu tepat pada waktunya, dan terus lakukan hal tersebut.
4. Biasakanlah melaksanakan shalat berjamaah di mesjid.
5. Perbanyaklah mengingat Allah dan berdo’a terutama do’a memohon keteguhan iman.
6. Hapal kanlah Juz Amma, lalu kerjakanlah shalat malam sambil menhapalkannya dan jangan lupa datangilah majlis-majlis ilmu.
7. Carilah dan bergaulah dengan orang sholih.
8. Bicaralah Agama kepada teman kita lalu ajaklah mereka kepada kebenaran.

Alangkah indahnya hidup kita ini seandainya kita mampu menggapai cinta kepada Allah dengan melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya karena dengan begitu Allah pun akan mencintai dan mengampuni dosa-dosa kita bahkan seluruh penghuni langit dan bumi, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadist yang artinya: “ Sesungguhnya Allah apabila mencintai seorang hamba, dipanggilah jibril seraya berfirman kepadanya “Bahwa sanya aku telah mencintai pulan maka cintailah engkau kepadanya”. maka jibrilpun mencintainya kemudian diumumkan kepada penghuni langit . (jibril) berkata :”sesungguhnya Allah telah cinta kepada sifulan maka cintailah dia” maka seluruh penghuni langitpun mencintainya, selanjutnya cinta kasih itu sampai kepada penduduk bumi (demikian pula) bila Allah membenci seorang hamba, dipanggilah jibril seraya berfirman kepadanya ”bahwasanya aku telah membenci fulan maka bencilah engkau kepadanya” maka jibrilpun membencinya kemudian diumumkan kepada penghuni langit sesungguhnya Allah telah membenci si fulan maka bencilah dia maka dibencilah dia selanjutnya benci pulalah seluruh penghuni bumi kepadanya (HR Muslim).

Akhir kata, mari kita berdo’a: “Wahai dzat yang memutar balikan hati, teguhkanlah hati kami kepada Agama-Mu, Wahai dzat yang mengendalikan hati, arahkan hati kami untuk menaati-Mu dan menaati Rosul-Mu”
“Wahai dzat yang menguasai jiwa manusia, masukanlah kami kedalam golongan orang –orang yang mencintai-Mu dan mengikuti jejak langkah utusan-Mu yang mulia, Muhammad SAW. Amien…

Referensi;

1. Al-Qur’an dan terjemahnya
2. Amru Kholid, Hati Sebening Embun
3. KH. Qomaruddin Sholeh dkk, Pedoman menuju akhlak muslim
Read more »

NASIONALISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM

No. 08

NASIONALISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh: Erfan Shofari Sholahuddin, S.Sy.
(Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Angkatan IV CIOS ISID Gontor Ponorogo)


Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ali dkk., 1994:89), kata bangsa memiliki arti: (1) kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya serta berpemerintahan sendiri; (2) golongan manusia, binatang, atau tumbuh-tumbuhan yang mempunyai asal-usul yang sama dan sifat khas yang sama atau bersamaan; dan (3) kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan yang biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Beberapa makna kata bangsa diatas menunjukkan arti bahwa bangsa adalah kesatuan yang timbul dari kesamaan keturunan, budaya, pemerintahan, dan tempat. Pengertian ini berkaitan dengan arti kata suku yang dalam kamus yang sama diartikan sebagai golongan orang-orang (keluarga) yang seturunan; golongan bangsa sebagai bagian dari bangsa yang besar (ibid, 1994:970). Beberapa suku atau ras dapat menjadi pembentuk sebuah bangsa dengan syarat ada kehendak untuk bersatu yang diwujudkan dalam pembentukan pemerintahan yang ditaati bersama.

Kata bangsa mempunyai dua pengertian: pengertian antropologis-sosiologis dan pengertian politis. Menurut pengertian antropologis-sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan persekutuan-hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota masyarakat tersebut merasa satu kesatuan suku, bahasa, agama, sejarah, dan adat istiadat. Pengertian ini memungkinkan adanya beberapa bangsa dalam sebuah negara dan—sebaliknya—satu bangsa tersebar pada lebih dari satu negara. Kasus pertama terjadi pada negara yang memiliki beragam suku bangsa, seperti Amerika Serikat yang menaungi beragam bangsa yang berbeda. Kasus kedua adalah sebagaimana yang terjadi pada bangsa Korea yang terpecah menjadi dua negara, Korea Utara dan Korea Selatan. Sementara dalam pengertian politis, bangsa adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Bangsa (nation) dalam pengertian politis inilah yang kemudian menjadi pokok pembahasan nasionalisme (Nur dalam Yatim, 2001:57—58).

Istilah nasionalisme yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia memiliki dua pengertian: paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan menngabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu (Op. cit, 1994:684). Dengan demikian, nasionalisme berarti menyatakan keunggulan suatu afinitas kelompok yang didasarkan atas kesamaan bahasa, budaya, dan wilayah. Istilah nasionalis dan nasional, yang berasal dari bahasa Latin yang berarti “lahir di”, kadangkala tumpang tindih dengan istilah yang berasal dari bahasa Yunani, etnik. Namun istilah yang disebut terakhir ini biasanya digunakan untuk menunjuk kepada kultur, bahasa, dan keturunan di luar konteks politik (Riff, 1995: 193-194).

Islam bagi pemeluknya bukan saja menjadi agama—dalam pengertian Barat—namun ia juga sistem yang melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam bukunya, Marcel Boisard (1980:183) menilai bahwa universalitas Islam sebagai agama dan sistem sosial dapat dibuktikan dari empat segi: segi metafisik, segi agama, segi sosiologis, dan segi politik. Sebagai keimanan terhadap keesaan Tuhan yang dituangkan dalam keyakinan yang sangat kuat, Islam adalah ideologi universal yang tidak bisa disamakan dengan ideologi dan agama apapun. Di samping aspek fundamental ini, konsepsi Islam tentang manusia membantu kepada universalitas manusia. Manusia adalah makhluk merdeka dan bertanggung jawab. Namun, dia tidak terpencil karena dia hidup di lingkungan sosial dan dia akan menerima akibat dari setiap perbuatannya. Konsepsi ganda Islam tentang individu sesuai dengan konsep universalitas yang diterima oleh filsafat Barat modern. Islam juga mengajarkan universalitas moral.

Merupakan fakta yang tidak diragukan bahwa ajaran Islam dapat memasuki dan berkembang di daerah geografis dan lingkungan kultural yang berbeda-beda. Wahyu ilahi ditujukan kepada semua manusia agar mereka memeluk Islam dan ditujukan—pada tingkat lain—secara khusus kepada kaum beriman untuk mematuhi aturan-aturannya. Mematuhi ajaran yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw. berarti memutuskan hubungan dengan orde sosial kesukuan dan mengidentifikasikan dirinya dengan kesatuan baru (Dault, 2005:160). Namun afiliasi dan loyalitas kepada komunitas yang berdasarkan keimanan tidak berarti bahwa Islam melarang ikatan-ikatan lain selain ikatan berdasar keimanan. Alih-alih, Islam menganjurkan bentuk-bentuk ikatan lain, seperti ikatan keluarga, selama tidak bertentangan dengan Islam (Umari dalam Dault, 2005:162).

Studi tentang hubungan Islam dan nasionalisme bermula dari kawasan Timur Tengah. Seperti di Indonesia, sejumlah pelajar Timur Tengah yang belajar di Eropa kembali dengan membawa konsep nasionalisme yang dipelajari di Barat. Konsep Barat tentang patria (tanah air) memengaruhi kata wathan dalam bahasa Arab dengan memberi pengertian politik padanya. Mereka percaya bahwa kemajuan yang dicapai Eropa dipengaruhi oleh kuatnya patriotisme individu dan masyarakat terhadap negara. Hal ini tergambar dari pernyataan Al-Tahtawi, seorang teoritisi nasionalisme Arab berpengaruh, bahwa “Patriotisme adalah sumber kemajuan dan kekuatan, sarana untuk mengatasi jarak antara wilayah Islam dengan Eropa” (Azra dalam Dault, 2005:186). Perkembangan pemikiran nasionalisme sekular berdampak pada tatanan politik umat Islam. Bentuk negara-bangsa—yang diadopsi dari Barat—dijadikan sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan yang sah dalam pergaulan internasional. Kenyataan ini berdampak pada terpecah-belahnya dunia Islam menjadi banyak negara-bangsa yang tidak lagi berdasar pada ajaran Islam yang baku. Basis material negara-bangsa yang hanya berpatok pada etnisitas, kultur, bahasa, dan wilayah dan mengabaikan kategori religius (keimanan).

Absennya keimanan dari rumusan nasionalisme menimbulkan kritik dari sebagian tokoh Islam. Mereka meyakini bahwa hal ini menyebabkan lemahnya kesatuan dunia Islam. Ali Muhammad Naqvi, misalnya, menyatakan bahwa Islam tidak sesuai dengan nasionalisme karena keduanya berlawanan secara ideologis. Kriteria nasional sebagai basis bangunan komunitas ditolak Al-Quran, karena ia hanya bersifat nasional-lokal sementara Islam mempunyai tujuan universal. Alasan lain adalah spirit sekular dalam nasionalisme yang menghendaki pemisahan tegas antara agama dan politik (Naqvi dalam Dault, 2005:188).

Kritik yang dilontarkan memosisikan Islam vis a vis nasionalisme. Namun dalam konteks Indonesia, sila-sila dalam Pancasila—sebagai ideologi negara—tidak satupun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan Kuntowijoyo (1997:85) berpendapat bahwa Pancasila adalah obyektifikasi Islam. Meskipun dia mengingatkan bahwa Islam adalah agama dan Pancasila adalah ideologi. Bagi Kunto, ideologi dan agama dibedakan berdasarkan motif. Ideologi tanpa agama dapat berjalan karena dalam diri manusia terdapat apa yang disebut Immanuel Kant sebagai categorical imperative, seperti nilai-nilai disiplin, setia kawan, kedermawanan, dan nilai etika yang lain. Dalam agama terdapat sistem dosa-pahala, surga-neraka, dan halal-haram yang semuanya berdasar keimanan dan kemudian menggiring seseorang untuk bertindak sesuai dengan kategori-kategori yang dia yakini. Categorical imperative—sebagai sistem sekular—juga memiliki sanksi yang bersifat personal, berupa rasa bersalah, dan sanksi institusional yang terwujud dalam hukum formal.

Pancasila menggabungkan konsep tentang kekuasaan (ketuhanan dan kedaulatan rakyat), konsep tentang proses (kemanusiaan dan kebangsaan), dan konsep tentang tujuan (keadilan sosial). Keunikan Pancasila adalah bahwa kekuasaan diletakkan di bawah Tuhan dan rakyat—teodemokrasi. Istilah ini tersusun dari dua istilah: teokrasi dan demokrasi. Teokrasi (teosentrisme)—dengan menghilangkan konotasi negatif ala Barat—bagi umat Islam sama dengan istilah tawhid, yaitu menjadikan Tuhan sebagai pusat. Dalam pelaksanaannya kekuasaan dilaksanakan dengan memerhatikan prinsip-prinsip agama, seperti syura dan keadilan. Sementara demokrasi adalah sistem kekuasaan dengan kedaulatan berada sepenuhnya di tangan rakyat, tanpa harus terikat pada hukum-hukum Tuhan. Dengan demikian, teodemokrasi adalah konsep tentang kekuasaan negara yang dibatasi oleh hukum Tuhan di satu sisi dan oleh rakyat di sisi lain. Dapat pula dirumuskan bahwa ia adalah kekuasaan yang dimiliki oleh rakyat dengan keyakinan bahwa sumber kekuasaan adalah Tuhan. Sebelum konsep demokrasi dikenal, tanggung jawab kekuasaan dilaksanakan hanya kepada Tuhan, sehingga sering disalahgunakan. Dalam sejarah Jawa misalnya, seorang raja memakai gelar khalifatullah dan dalam sistem kesadaran rakyat kekuasaan raja dianggap sebagai kekuasaan Tuhan yang tidak bisa di ganggu gugat. Hal ini yang kemudian memberi konotasi negatif terhadap sistem teokrasi dalam kajian politik di Barat (Kuntowijoyo, 1997:62; Burhan dan Muhammad (eds.), 2001:29).
Nasionalisme Indonesia yang berbentuk negara-bangsa dan menggunakan demokrasi sebagai sistem politik tidak bertentangan dengan Islam sepanjang ia tidak melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan dalam agama. Abul A’la Maududi (2004:54) menyatakan bahwa setiap individu dalam masyarakat Islam memiliki hak dan kekuasaan sebagai khalifah Allah dan dalam hal ini semua individu adalah sama. Institusi yang menangani urusan negara dibentuk sesuai dengan kehendak individu-individu dalam masyarakat. Pendapat mereka menentukan bentuk, pemimpin, dan segala sesuatu yang terkait dengan pemerintahan sesuai prinsip-prinsip Islam. Dalam hal ini, sistem politik Islam merupakan demokrasi yang sebenarnya.

Referensi :

Ali, Lukman. Dkk. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Boisard, Marcel A. 1979. Humanisme Dalam Islam. Terjemahan oleh M. Rasjidi. 1980. Jakarta: Bulan Bintang.
Dault, Adhyaksa. 2005. Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan.
Maududi, Abul A’la. Tanpa Tahun. Islam Kaffah: Menjadikan Islam Sebagai Jalan Hidup. Terjemahan oleh Muhammad Humaidi. 2004. Jogjakarta: Cahaya Hikmah.
Riff, Michael A. (ed). 1982. Kamus Ideologi Politik Modern. Terjemahan oleh M. Miftahuddin dan Hartian Silawati. 1995. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Yatim, Badri. 2001. Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme. Bandung: Nuansa.
Read more »

JANGAN BERHENTI MEMBACA !

No. 09


JANGAN BERHENTI MEMBACA !
Oleh : Asep Roni Hermansyah, S.Pd.I1


Ilmu bagi seorang pendidik ibarat persediaan logistik yang harus dijaga agar jangan sampai menipis dan habis persediannya. Dalam suasana perang, saat persediaan logistik menipis, habis atau berhasil dikuasai musuh, akan terjadi kekalahan signifikan yang bisa meluluhlantakan eksistensi. Tengok sejarah, saat Rasulullah saw. menguasai sumur-sumur di areal perang Badar, Quraisy hanya mampu berdiri tegak beberapa saat dan kemudian bertekuk lutut. (Lihat: Sirah Nabawiyah –pelajaran dari kehidupan nabi-, DR. Musthafa As-Siba’i, hal. 67, pererjemah Shalihin Rasyid, Era Intermedia, Solo. Atau lihat: سيرة ابن هشام - ج 1 / ص 620)

Ilmu bagi seorang pendidik ibarat pedang bagi seorang pejuang (mujahid). Bisa digunakan untuk membela diri atau menyerang. Jika pedang itu tajam, akan tercipta kemenangan. Namun sebaliknya jika tumpul atau hanya disarungkan, seakan-akan dengan suka rela menjadi seorang pecundang.
Ilmu bagi seorang pendidik ibarat pelita ditengah gelap malam. Jika ia ada dan tersedia maka jalan terjal penuh duri masih bisa dilewati. Akan tetapi, jika ia padam, jalan lurus dan lenggang pun seakan menanjak dan penuh onak.

Ilmu, tidak akan ada dengan serta merta. Meniup sekali, kemudian rangkaian kata dan untaian kalimat masuk dengan lancar kedalam akal pikiran hanya terjadi di dunia dongeng. Membakar buku, mencampur abu dengan air, meminumnya dan ilmu hadir secara kasyaf hanya dagelan konyol orang-orang pandir.
Layaknya sebuah komputer, ada input, proces dan output. Ilmu juga memerlukan input agar bisa di-print out. Input ilmu pengetahuan adalah membaca. Dengan membaca intensif, seorang ‘alim (Pendidik/Ustadz/Santri) akan mampu menghasilkan karya, lancar berbicara, lugas mengulas, mudah menelaah, kreatif menulis, kritis berfikir, bijak memutuskan, dan lebih hati-hati dalam berperilaku.

Memaksa diri untuk memulai membaca sangat berat, dan akan lebih berat jika tidak pernah mau untuk memulai. Membaca adalah proses merubah untuk berubah. Setelah seseorang membaca ia akan sampai pada suatu ilmu, ilmu itu harus mampu merubah pola fikir, watak dan perilaku. Inilah yang sulit, inilah yang dihindari, inilah momok menakutkan bagi mereka yang malas membaca. Merasa takut saat bacaan itu menjadi ilmu ternyata tak mampu untuk mengamalkan dan mengajarkan. Takut terkena delik sebagai seorang ‘alim yang tidak ‘amil. Padahal, saat membaca ditinggalkan, dengan otomatis ia kena delik memelihara kebodohan. Nah lho!

Biblioholism

Biblioholism atau disebut juga literary addiction bisa diterjemahkan sebagai kecanduan buku. Berbeda dengan pembaca buku biasa. Mereka lebih ekstrem karena lebih tamak membeli, mengumpulkan, dan lebih rakus membaca buku. Semua itu menempatkan mereka dalam dunia eksotis yang disebut biblioholic (orangnya).
Pada abad ke-18 ada seorang pakar perundang-undangan Perancis, Boulard, begitu bernafsu mengoleksi buku sampai harus membeli rumah keenam untuk menampung semua koleksi bukunya. Namun, dia bibliomania; membeli dan mengoleksi buku tetapi tidak membaca. Dia bukan seorang bibliofil (bibliophile), yaitu senang membeli dan rajin membaca buku sampai menguasai apa yang ia baca.
Ada istilah lain yang sejalan dengan itu, tetapi ada perbedaan yang melatar belakanginya, seperti bibliotaf (bibliothap), yaitu orang yang ingin buku-bukunya aman, sehingga buku-buku tersebut dikubur supaya awet. Ada juga Bibliocast adalah orang yang tak tahan ingin merobek bila melihat halaman buku yang baik. Ia bisa disebut penghancur buku. Lain lagi dengan biblionarsis. Ia membeli buku mahal yang kemudian dipajang dengan baik hanya untuk pamer dan mendapat pujian. Itulah pendapat Tom Raabe dalam bukunya Biblioholism, The Literary Addiction (Fulcrum Publishing, 1991).

Indonesia berada di urutan ke-21 sebagai negara yang mempunyai kampung buku (book village) kedua di Asia Tenggara setelah Malaysia. Kampung buku di dunia ini awalnya digagas oleh Richard Booth dengan membuat book town di Wales, Inggris, yang disebut Hay-On-Wye. Selanjutnya diikuti beberapa negara, di antaranya Redu Village du Livre (Belgia), Bredevoot (Belanda), Miyagawa (Jepang), dan Kampung Buku Langkawi (Malaysia). Di Indonesia, kampung buku tersebut berada di Desa Buku Taman Kyai Langgeng yang terletak di kawasan obyek wisata Taman Kyai Langgeng, Kota Magelang, Jawa Tengah. (lihat : Mamat Sasmita, http://www.prakarsa-rakyat.org/ artikel/ news/ artikel.php? aid=22454, dengan beberapa perubahan)
Mana diantara label diatas yang menempel dalam diri kita: kolektor buku, penikmat buku, pemajang buku, perusak buku, atau sama sekali asing dengan buku? Anda lebih tahu, bukan !

Muslim dan Membaca

Jauh sebelum Richard Booth menggagas kampung buku, Khalifah Al-Makmun sudah menciptakan Baitul-Hikmah. Perpustakaan besar sekaligus Lembaga Khusus untuk menulis, menerjemah, menelaah, dan membaca buku. para ulama muslim adalah orang-orang yang tidak pernah berhenti membaca. Bahkan, setiap orang dari mereka memiliki koleksi bacaan (perpustakaan pribadi) yang jumlahnya melebihi perpustakaan umum zaman sekarang. Mari kita baca secara langsung tulisan F.B. Artz yang dikutip DR. Salah Zaimeche saat mengomentari kenyataan tersebut:

We hear of a private library in Baghdad from as early as the ninth century that required a hundreed and twenty camels to move it from one place to another.

Saya terjemahkan secara bebas: (kami mendengar bahwa ada satu perpustakaan pribadi di Baghdad pada abad ke-19 M memerlukan seratus dua puluh unta untuk memindahkan buku koleksinya dari satu tempat ke tempat yang lain.)

Di halaman berikutnya dia menulis:
Another scholar of Baghdad refused to accept a position elsewhere because it would take four hundreed camels to transfort his books. The catalogue of this private library filled tens volumes, wich is the more astonishing when it is realized that the library of the king of France in 1300 had only about four hundreed titles.

(Lihat : F.B. Artz, The Mind: The Mind of The Middle Ages; third edition revised; The University of Chicago Press, 1980; pp. 149,153. Atau lihat : Baghdad, Salah Zaimeche, Ph.D. Foundation For Science Technology and Civilisation, June 2004, Manchester, United Kingdom. www.fstc.co.uk)

Saya terjemahkan secara bebas: (seorang ilmuan (sarjana) lain, menolak untuk menerima jabatan yang ditawarkan kepadanya disetiap tempat. Sebab, ia harus menyediakan empat ratus ekor unta sebagai alat transportasi untuk memindahkan koleksi buku yang ia miliki. Katalog dari koleksi buku di perpustakaan itu mencapai sepuluh volume (jilid). Yang lebih mengejutkan, ternyata pada saat yang sama, Raja Perancis pada tahun 1300 M hanya memiliki empat ratus jilid buku saja.)

Mari kita sedikit kritisi kenyataan diatas :
1. Koleksi buku yang demikian banyak menunjukan bahwa ilmuan tersebut mencintai ilmu pengetahuan.
2. Jika sepersepuluh saja dari koleksi itu pernah dibaca oleh pemiliknya, maka pengetahun pemilik perpustakaan tersebut sungguh sangat luas. Apalagi jika seluruhnya pernah dibaca.
3. Jabatan yang tinggi tidak membuat ilmuan tersebut silau. Ia menolaknya karena lebih senang bermesraan dengan buku-bukunya. Perbedaan mencolok dengan zaman ini, para pencari jabatan hanya memiliki beberapa jilid buku saja sebagai koleksi yang dipajang untuk menambah wibawa dimata pendukungnya (biblionarsis).
4. Harta (uang) yang dikeluarkan oleh ilmuan tersebut sungguh tiada terkira. Apalagi jika dikalikan dengan harga kertas, pada saat itu masih termasuk barang mahal dan langka. Berbeda jauh dengan orang-orang di zaman ini, yang lebih suka membeli barang-barang elektronik dan aneka furniture penghias ruangan daripada membeli buku.
5. Jika perpustakaan pribadi sampai sedemikian banyak jumlah koleksinya, maka sebanyak apa koleksi buku yang ada di Perpustakaan Baitul-Hikmah milik Khalifah.
6. Sebagai ilustrasi, Maktabah Ibnu Shalah Darul Aitam memiliki sekitar 800-1000 jilid buku berbagai ukuran disimpan dalam dua rak. Saya mengambil perkiraan minimum, jika buku-buku itu bisa diangkut dengan lima ekor unta, maka perpustakaan pribadi milik ilmuan diatas jumlahnya sekitar 80 kali Maktabah Ibnu Shalah, Subhanallah. Padahal, jika Asatidzah, Ustadzat, Santri dan Santriyah mau membaca buku-buku yang ada di Maktabah Ibnu Shalah saja, wawasan keilmuan pasti meningkat dengan pesat dan fenomenal. Apalagi jika 80 kali lebih banyak. Atau ditambah Maktabah Kubro dan Maktabah Syamilah (digital) yang jumlahnya hampir mencapai 36 Gigabytes. Jika dicetak, Kampung Sindangsari pasti tertimbun buku. Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang selalu mensyukuri nikmat as-sam’u (pendengaran), al- absharu (penglihatan) dan al-af`idah (matahati) dengan banyak membaca.

Saat Berhenti Membaca 

Ketika buku tak lagi mampir ditangan walau sekejap, ada kehilangan pencapaian yang sangat banyak yang seharusnya mengisi relung-relung terdalam dari hati dan pikiran. Ada banyak kemunduran yang diciptakan dengan sengaja dan suka rela.

Saat mengajar Tafsir, pernahkah membuka kitab-kitab tafsir dan mengambil keterangan dari kitab-kitab tersebut sebagai referensi? Bukankah ada banyak hasil karya para ulama yang bisa dijadikan rujukan? Tasir Ibnu Katsir, Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ruhul-Ma'ani, Shofwatut-tafasir, Tafsir Fi Dzilalil-Quran, dll.
Saat mengajar Tarikh Islam, pernahkah membuka maraji utama sejarah nabi Kitab Sirah Ibnu Hisyam? membuka beberapa maraji tarikh seperti Al-Bidayah Wan-Nihayah, Usudul-Ghabah, Hayatush-Shabah? Atau mungkin mendengar nama kitab-kitab itu saja baru sekarang? Lalu bagaimana mungkin wawasan keilmuan akan berkembang jika khazanah Islam saja tidak pernah dibuka dan dikenali!

Ketika membaca tak lagi menjadi prioritas utama, maka persediaan ilmu dalam gudang akan semakin berkurang. Ketika ia dibutuhkan, hanya akan ada kata maaf: “Maaf saya tidak tahu”, “Maaf saya kurang begitu faham”, “Maaf saya belum sempat membaca”. Bahkan mungkin akan terjadi penolakan terhadap kebenaran, karena tidak pernah membaca akan menciptakan dinding kebodohan. Jika dinding itu menyekat jiwa orang yang sombong, ia akan berkata, “Mengapa mesti begini”, “Kok tidak sesuai dengan logika”, “Ini bertentangan dengan hak asasi manusia”. Dalam ranah mikro, akan muncul nada dan gaya pesimis skeptis, “Saya tidak berani bergaul langsung dengan anak dan mengontrol ke lapangan. Soalnya, takut ditanya dan tidak mampu untuk menjawab”. Innalillahi, Bagaimana mau maju!


1) Penulis alumni Reward 2001, Pesantren Darussalam Sindangsari Kersamanah Garut. Alumni Ma'had 'Aly Li I'dad Mu'allimin Jakarta. Sekarang, mengajardi Pesantren DarulAitam
Read more »

ZAID BIN TSABIT DAN DO’A KEBERKAHAN

No. 06, 21 Syawal 1431 H / 30 september 2010 M (03)



SIRAH


ZAID BIN TSABIT DAN DO’A KEBERKAHAN


Oleh: H. Ajat Syarif Hidayatullah, S.Pd.I. Al-Hafidz
(Pengajar Pondok Pesantren Yatim Piatu Darul-Aitam "Muniroh")


Suatu hari rumah Rasul SAW di ketuk seorang anak yatim yang masih lugu, ia membawa mangkuk makanan yang akan di berikan kepada Rasul, sambil malu-malu anak itu berkata : “ibuku menitipkan makanan untukmu ya Rasul”. Rasul tersenyum saat menerima makanan itu lalu mendo’akannya “Allah memberimu kabar gembira dan memberkatimu”. Anak itu adalah Zaid bin Tsabit an-Najjari ayahnya terbunuh pada peperangan Bu’ats antara suku Khojroj dan Aus, ibundanya Nawwar an-Najjariyah ia mendidik anak-anaknya dengan didikan yang tegas dan keras seperti halnya didikan anak laki-laki pada masa itu.


Pada perang Badar Rasul melihat anak itu membawa pedang untuk ikut dalam peperangan namun Rasul menolaknya karena usianya yang masih sangat kecil, lalu pada perang Uhud barulah Rasul mengikut sertakannya, Pada perang Khandak ia banyak di kenal oleh para mujahidnya, sedang dalam perang Tabuk ia adalah pemegang panji Bani Najjar karena ia di pandang Rasul lebih menguasai dan memahami al-Qur’an di banding dengan sahabat-sahabat lainya, Ia pula di tugaskan Rasul untuk mempelajari bahasa Suryani dan ia mampu untuk menguasainya dalam tempo yang singkat, selain itu ia pula menjadi pakar ilmu pengetahuan, termasuk ilmu waris, Rasul juga menugaskan Zaid untuk mempelajari bahasa Ibrani bahasanya orang Yahudi, juga berkah doa Rasul dan kepandaiannya ia mampu menguasinya dalam waktu yang sangat singkat. Ia sekretaris Rasul SAW juga penterjemahnya, ia yang mendapat do’a kebaikan dan keberkahan dari Rasul SAW. Di masa Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq RA ia mendapatkan kehormatan untuk menghimpun dan menuliskah al-Qur’an .


Do’a keberkahan, kebaikan, kemaslahatan untuk dunia dan akhirat dari mu’min untuk mu’min yang lainya, dari orang tua untuk anaknya, guru untuk muridnya, kiayi/ustadz untuk santrinya, sangatlah di anjurkan karena ia akan berdampak positif dan memberi semangat berjuang, dapat menumbuhkan kasih sayang, memperkuat ikatan persaudaraan serta bukti dari kecintaan hakiki. Tidak lah di perbolehkan bagi seseorang untuk mendo’akan keburukan, kedzaliman, kanistaan dan kerugiaan seseorang untuk dunia dan akhiratnya.


Abu Darda RA telah mendengar Rasul SAW bersabda : "Barang siapa yang berdoa untuk saudaranya di tempat yang tidak di ketahuinya maka doanya akan diamini malaikat", seraya berkata : "maka bagimu seperti itu juga“.



Sumber :


sekolah Cinta Rasul, tarj, DR. Nizar Abadzhah, Zaman 2010

Sunan Abu Daud, Juz. IV, hal. 330
Read more »

TAFSIR AL-QUR'AN VERSUS HERMENEUTIKA

No. 06, 21 Syawal 1431 H / 30 september 2010 M (02)

TELA'AH UTAMA

TAFSIR AL-QUR'AN VERSUS HERMENEUTIKA

Oleh: Devi Muharrom Sholahuddin, Lc.
(Mahasiswa Pascasarjana ISID Gontor Ponorogo)

Belakangan ini, diskursus seputar Al-Qur’an ramai diperbincangkan. Teori penafsiran yang telah mapan selama berabad-abad diragukan dan dipermasalahkan oleh sebagian kalangan pemikir muslim kontemporer. Tafsir AL-Qur’an yang sudah mapan, berurat dan berakar didalam Islam dianggap sudah tidak relevan lagi dengan zaman dan kebutuhan umat Islam saat ini. Maka dibutuhkan sebuah metode penafsiran baru yang sesuai dengan zaman. Teori penafsiran tersebut adalah hermeneutika.


Hermeneutika dibangun atas faham relatifisme. Hermeneutika itu sendiri menggiring kepada gagasan bahwa segala penafsiran al-Qur’an itu relatif, padahal fakta sejarah membuktikan, bahwa para mufassir terkemuka sepanjang masa memiliki kesepakatan-kesepakatan dalam proses penafsiran al-Qur’an. Jika metode hermeneutika tetap dipaksakan ke dalam al-Qur’an maka akan berinflikasi bahwa segala problematika yang terjadi didalam Bible, terjadi juga di dalam al-Qur’an. Tulisan ini akan mengungkap bahwasannya metode hermeneutika tidak layak untuk disandingkan dengan tafsir al-Qur’an.

Tafsir Al-Qur'an

Tafsir secara etimologi berasal dari kata fasara (Fi’il madhī -kata kerja lampau) dengan wazan Taf'īl yang berarti penyingkap atau penjelas. Didalam lisān al-’arab: kata al-Fasru berarti penyingkap sedangkan kata at-Tafsīr berarti penyingkap atau penjelas dari kata-kata yang sulit. Sedangkan tafsir secara terminology para mufassirīn berbeda-beda dalam mendefinisikan pengertian tafsir, menurut istilah sebagian ulama adalah suatu ilmu yang dapat memberikan pengertian yang tepat dan akurat dalam memahami teks-teks al-Qur’an menurut kadar kemampuan manusia. Sedangkan menurut Imam Az-Zarkasy dalam kitabnya Al-burhān fī ’Ulūmi al-Qur'ān mendefinisikan bahwasannya Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitab Allah yang diturunkan melalui nabinya Muhammad SAW. Penjelasan mengenai makna-makna Kitab Allah dan penarikan hukum-hukum serta hikmah yang tekandung didalamnya.

Kebutuhan Manusia Terhadap Ilmu Tafsir

Allah SWT menurunkan al-Qur'an kepada manusia melalui Rasul-Nya Muhammad SAW. Untuk di baca, dipahami dan diamalkan apa-apa yang terkandung didalamnya, al-Qur'an diturunkan dengan berbahasa arab. Isi yang terkandung didalam al-Qur'an tidak akan mendapatkan sasaran yang benar dan tidak akan bisa diamalakan tanpa melalui proses pemahaman yang benar, proses pemahaman inilah yang disebut dengan Ilmu Tafsir.


Al-Isbahany menuturkan keutamaan tafsir dilihat dari tiga aspek: Pertama, aspek pembahasan. Pembahasan tafsir adalah Kalam Ilahi yang penuh dengan hikmah dan keutamaan , didalamnya terdapat berita masa lalu dan masa yang akan datang. Kedua, aspek tujuan. tujuan daripada tafsir adalah pencapaian terhadap kebahagiaan yang hakiki. Ketiga, aspek kebutuhan yang sangat terhadap tafsir, dikarenakan kelengkapan hidup dalam beragama maupun dalam kehidupan duniawi sangat membutuhkan terhadap ilmu syariat dan pengetahuan keagaaman yang tidak akan didapatkan kecuali dengan memahami ilmu yang terkadung didalam al-Qur'an.
Hermeneutika

Setelah kita membahas secara terperinci pengertian tafsir dalam tradisi keilmuan Islam, maka pada bahasan selanjutnya kita akan membahas definisi hermeneutika secara etimologi dan terminilogi serta bagaimana konsep hermeneutika diterapkan terhadap Bible dan di paksakan untuk diterapkan kepada al-Qur’an oleh para orientalis dan cendikiawan muslim liberal.

Secara etimologi, Istilah “hermeneutics” berasal dari bahasa Yunani kuno (Greek) “τα έρμενευτικα (dibaca: ta hermeneutika), yaitu bentuk jamak dari perkataan: τα έρμενευτικον (to hermeneutikon)” yang bermakna: ‘perkara-perkara yang berkenaan dengan pemahaman atau penerjemahan suatu pesan. Diambil dari infinitif: έρμενεύειν, Kedua kata ini merupakan derivat dari kata “Hermes” (‘Eρμες). Mulai abad ke-17 istilah ‘hermeneutics’ dipakai untuk menunjuk suatu ilmu, metode dan teknik memahami suatu pesan, karya atau teks. Sejak itu, istilah ‘hermeneutics’ dikontraskan dengan ‘exegesis’ (εξεγησις), sebagaimana ‘ilmu tafsir’ dibedakan dengan ‘tafsir’. Lebih tepatnya, hermeneutika adalah ilmu menafsirkan Bibel.

Nilai Dibalik Hermeneutika

Menurut Hans George Gadamer, terdapat tiga implikasi penting didalam hermeneutika. Pertama, universalitas hermeneutika sebagai metode masih merupakan tantangan. Kedua, hermeneutika muncul dari suatu milleu ilmiah yang mulai meninggalkan pemikiran metafisis. Ketiga, hermeneutika yang berasal dari Yunani dan diadopsi para teolog Kristen sebagai tafsir Bible itu dicoba dikembangkan menjadi teori sains kemanusiaan. Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi menuturkan, dari ketiga implikasi diatas, dapat difahami, bahwasannya hermeneutika yang lahir dan berkembang di Barat merupakan produk pandangan hidup (worldview) peradaban Barat. Oleh karena itu, hermeneutika tidak bebas nilai. Sedangkan dalam pandangan Warner G. Jeanrond, ada tiga milleu yang mempengaruhi terbentuknya hermeneutika sebagai teori interpretasi terhadap Bible di Barat. Pertama, Milleu masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani. Kedua, milleu masyarakat Yahudi dan Kristen yang menghadapi problematika Bible. Ketiga, milleu masyarakat Eropa di zaman pencerahan yang berusaha keluar dari otoritas keagamaan serta membawa hermeneutika keluar dari konteks keagamaan.

Hermeneutika dan Liberalisasi

Hermeneutika Modern menempatkan semua jenis teks pada posisi yang sama, tanpa memperdulikan apakah teks itu suci dari Tuhan atau tidak, sakral atau profan. Kemudian tidak lagi memperdulikan adanya otoritas dalam penafsiran. Semua teks dilihat sebagai produk pengarangnya. Hermeneutika modern dimulai oleh seorang teolog Kristen Liberal Protestan yaitu Friedrich Schleiermacher (1768-1834) bagi Schleiermacher, faktor kondisi dan motif pengarang sangatlah penting untuk memahami makna suatu teks, disamping faktor gramatikal.
Jauh sebelum Schleiermacher, upaya melakukan liberalisasi dalam interpretasi Bible sudah muncul sejak zaman Enlightenment di abad ke-18. Johan Solomo Semler (1725-1791) dan para teolog lainya di University of Halle memainkan peranan penting dalam melakukan apresiasi terhadap akal manusia, dan menumbuh kembangkan perlawanan terhadap otoritas gereja yang tidak masuk akal.

Perkembangan Hermeneutika yang terjadi dalam tradisi Barat jelas berbeda sekali dengan tradisi tafsir al-Qur’an yang berkembang dalam tradisi Islam. Hermeneutika muncul dari keresahan para teolog Yahudi dan Kristen terhadap Bible yang penuh dengan problematika. Hermeneutika juga muncul sebagai reaksi penolakan para teolog liberal terhadap otoritas gereja yang menyalahgunakan wewenangnya atas nama Tuhan. Para teolog liberal ini menginginkan suatu kebebasan untuk menafsirkan Bible. Maka timbulah suatu metode interpretasi hermeneutika. berbeda dengan al-Qur’an yang tidak memiliki problem sedikitpun.

Maka teori interpretasi hermeneutika sagat tidak mungkin untuk diaplikasikan dalam penafsiran al-Qur’an. Jika tetap dipaksakan, maka akan berimflikasi yang sangat fatal sekali. Kebenaran wahyu Allah yang selama ini diyakini oleh umat Islam akan musnah, otoritas para ulama yang telah berjasa dalam mengkoodifikasi berbagai disiplin ilmu akan runtuh. Dan akhirnya umat Islam akan mengikuti dan tunduk terhadap peradaban Barat (Yahudi-Kristen).Wallāhu al-Hādī ilā as-shawāb.[]

Referensi:

Al-Allūsy, Dr. Jalāluddīn, Dirāsah Fī at-Tafsīr Wa ’Ulūmihi, (Tunisia: Mu'assasah Ibn Asyūr Lī At-Tauzi' 2006)
Al-Qaṭān, Manna’, Mabāhits Fī ’Ulūm al-Qur'ān, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2004)
Armas, Adnin, Metodologi Bible dalam Studi al-Qur’an, Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005)
Az-Zarkasy, Al-Burhan fi aal-Ulum al-Qur'an, Jilid 1, (Beirut : Al-Maktabah Al-Ashriyyah, 2004)
Az-Zarqāny, Muhammad Abdul Adzīm, Manāhilu al-’Irfān Fī ’Ulūm al-Qur'ān, (Kairo: Dārul-Hadīts, 2001
Jeanrond,Warner G. Theological Hermeneutics, Development And Significance, (London: Macmillan, 1991)
Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, ISLAMIA, THN 1 NO. 1/Muharram 1425
Mandzur, Ibnu, Lisanul 'arab, Darul Hadits Kairo 2003 Hal. 101.
Saenong, Ilham B. Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002)
Salim, Fahmi, Kritik Terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal (Jakarta: Perspektif Kelompok Gema Insani, 2010)
Read more »

TRANSFORMASI NILAI DAN AJARAN PONDOK PESANTREN DARUSSALAM

No. 06, 21 Syawal 1431 H / 30 september 2010 M

KEPESANTRENAN

TRANSFORMASI NILAI DAN AJARAN
PONDOK PESANTREN DARUSSALAM

Oleh : KH. Asep Sholahuddin Mu'thie, BA.
(Pimpinan PP. Darussalam)

Selama berabad-abad Pondok Pesantren sudah terbukti mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam mendidik generasi muslim. Pendidikan dan pengajaran yang ditanamkan di Pondok Pesantren melahirkan cendikiawan-cendikiawan muslim yang ber-akhlaqu-l-karimah, berpengetahuan luas dan mampu menjawab berbagai tantangan zaman. Pondok Pesantren tanpa henti terus menjadi wadah penggemblengan aqidah, akhlaq dan adab serta menjadi media transformasi ilmu pengetahuan yang bersumber kepada al-Qur'an dan sunnah.

Pondok Pesantren Darussalam merupakan salah satu Pondok Pesantren yang turut mewarnai dunia pendidikan Islam di Indonesia. Pondok Pesantren Darussalam terus eksis dalam melakukan pendidikan dan pengajaran dengan berkonsentrasi terhadap pengembangan Pendidikan Agama Islam tanpa terkontaminasi oleh pengaruh-pengaruh yang bisa mendekonstruksi inti dari pada ajaran agama Islam. Hal ini dipertegas dengan tidak terlibatnya Pondok Pesantren Darussalam dalam politik praktis. Pondok ini tidak berafiliasi kepada partai politik ataupun organisasi kemasyarakatan apapun. "Darussalam berdiri di atas dan untuk semua golongan". Sehingga dengan prinsip ini, Darussalam tetap bebas dan leluasa dalam melakukan proses pendidikan dan pengajaran tanpa ada tekanan sedikitpun dari pihak luar. Dari prinsip ini, kemudian tercipta proses pendidikan dan pengajaran yang tenang, kondusif dan terkendali, dengan didasari oleh jiwa keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwah Islamiyyah, berdikari dan kebebasan yang dapat dipertanggung jawabkan.

Untuk merealisasikan idealisme diatas, maka Pondok Pesantren Darussalam memiliki nilai dan ajaran yang harus dipahami, dihayati dan diamalkan oleh seluruh elemen dalam Pesantren. nilai dan ajaran ini harus dipahami oleh kiayi, keluarga pesantren, guru-guru, santri, alumni, wali santri serta seluruh masyarakat di sekitar Pesantren. Dengan memahami nilai dan ajaran ini, maka totalitas dan idealisme seluruh elemen Pesantren akan tercipta, manajemen pendidikan dan pengajaran akan efektif dan efesien, sehingga akan tercipta pribadi yang siap berkorban untuk Pesantren, tidak menggantungkan hidupnya kepada pihak lain, santri akan berprestasi dan memliki mental serta moral yang tinggi dan akan produktif dalam segala bidang.

Ada lima poin penting dalam proses transformasi nilai dan ajaran Pondok Pesantren Darussalam yang harus dipahami dan dihayati oleh semua pihak. Pertama, Keteladanan. Sikap keteladanan ini harus dimiliki oleh seluruh elemen Pesantren, dari mulai kiayi, guru, pengasuh, santri dan para alumni. Dukungan dari wali santri sangat diharapkan untuk terciptanya keteladanan ini. Kedua, Penugasan. Dalam penyelenggaraan pendidikan dan Pengajaran di Pondok Pesantren Darussalam, semua pihak ditugaskan dan dilibatkan dalam proses pendidikan dan pengajaran, maka dari itu guru dan para santri selalu ditugaskan dan dilibatkan dalam berbagai kegiatan, baik di dalam mapun diluar Pesantren. Ketiga, Penciptaan lingkungan. Lingkungan yang kondusif dan efesien menjadi perhatian utama Pesantren, Pesantren senantiasa menciptakan lingkungan ini agar semua apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dialami sehari hari oleh santri mengandung unsur pendidikan. Keempat, Pengarahan. Sebelum melakukan aktivitas apapun selalu diadakan pengarahan terlebih dahulu, agar supaya apa yang dilakukan oleh guru dan santri sesuai dengan sunnah yang digariskan oleh Pesantren. Kelima, Pembiasaan. Proses pembiasaan dilakukan agar guru dan santri berdisiplin. Maka dalam menjalankan berbagai program pendidikan, dilakukan dari mulai yang ringan sampai yang berat. Terkadang untuk proses pembiasaan ini pemaksaan juga dilakukan, seperti adanya pengabsenan dalam aktivitas masuk kelas, shalat berjama'ah dan program ekstra kurikuler.

Itulah nilai dan ajaran Pondok Pesantren Darussalam yang harus dipahami, dihayati dan diamalkan oleh seluruh elemen Pesantren. Sehingga cita-cita Pondok Pesantren Darussalam dan wali santri untuk membentuk santri yang berkarakter, berpengetahuan luas dan siap mengabdi kepada masyarakat, agama dan bangsa akan tercapai.
Read more »

Minggu, 07 November 2010

Mengembalikan Tradisi Keilmuan

No. 05, 14 Syawal 1431 H / 23 September 2010 M

Oleh: Asep Roni Hermansyah, S.Pd.I.

Ayat pertama yang Allah turunkan adalah perintah untuk membaca, "Iqra". Baik ayat Qauliyah maupun Kauniyah. Dalam perintah ini terkandung banyak maksud. Yang paling jelas adalah kemampuan manusia untuk terus meningkatkan diri. Artinya, ketika Allah memerintahkan manusia untuk membaca, maka dalam diri manusia itu telah tersedia perangkat-perangkat yang mendukung unrtuk tercapainya hasil bacaan berupa pengetahuan. Manusia memiliki media input berupa pendengaran (as-sam’u), penglihatan (al-bashar) dan hati nurani (al-Fuâd). Perpaduan seimbang antara ketiga peringkat ini melahirkan ma’rifatullah yang kemudian hasilnya adalah al-hidayah. Terbukti kemudian bahwa manusia memiliki memori kompleks berupa otak yang belum ada tandingannya.
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur". (An-Nahl 78)
Setelah membaca adalah menulis, Alladzi ‘allama bi al-qalam. Karena menulis berarti menyimpan apa yang telah kita baca dalam sebuah media yang bisa diakses oleh siapa saja (dua arah). Dan dengan tulisan, kita bisa mengajari, menyebarkan ide, melontarkan gagasan, menyampaikan kritikan atau hanya sekedar memberi tanggapan.
Membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Membaca tanpa menulis berarti membiarkan apa yang ada di dalam otak kita tidak tereksplorasi dengan sempurna. Sebaliknya menulis tanpa membaca berarti kita menyampaikan sesuatu tanpa dasar yang valid dan autentik yang pada satu waktu tertentu akan membuat kita menyampaikan suatu kekeliruan fatal. Amanah 'Ilmiah adalah suatu keniscayaan.

Masa Kejayaan Umat Islam
Bila melihat latar belakang budaya Bangsa Arab, akan kita dapati bahwa mereka merupakan bangsa yang terbelakang. Norma seakan sudah tidak ada. Hukum rimba adalah satu-satunya pijakan. Sehingga yang kuat semakin kuat sehingga memakan yang lemah. Yang lemah semakin tak berdaya sehingga menjadi mangsa. Belum lagi landasan agama pagan yang sudah mendarah daging. Tuhan (dalam persepsi mereka) menjelma menjadi arca dan patung yang bahkan mereka buat sendiri dari batu, kayu dan bahkan dari roti yang bila mereka lapar, tuhan pun di konsumsi. Sungguh kerancuan beragama yang teramat akut.
Akan tetapi kemudian dunia tercengang. Romawi dan Persia tak mampu bicara, apalagi Yunani yang hampir binasa dari percaturan peradaban dunia. Bangsa Arab yang dalam kacamata seluruh penghuni bumi tidak termasuk nominasi untuk menguasai peradaban, ternyata justru menjadi tuan yang diakui oleh barat dan timur. Keajaiban apa yang merubah mereka secara fantastis dan fenomenal? Jawabannya hanya satu yaitu Islam. Islam mendorong mereka untuk maju. Mendidik mereka untuk berfikir kritis. Mengajak mereka untuk membaca dan menulis, mengkaji dan terus memahami. Pola berfikir kritis inilah yang membuat mereka menghasilkan karya-karya baru dalam berbagai bidang.
Hasil dari itu semua adalah terciptanya Peradaban Islam yang gemilang. Melampaui bangsa-bangsa lain yang sezaman dengannya. Khilafah Rasyidah, Umawiyyah, Abbasiyyah dan Andalusia adalah bukti nyata kemajuan yang dicapai kaum muslimin.
Bila kita baca sejarah, akan kita dapati mayoritas pakar keilmauan adalah ulama-ulama muslim. Kedokteran, geografi, oftik, kartografi, farmasi, kimia, astronomi, matematika, dan yang lainnya. Patut untuk di banggakan, ketika Eropa di abad pertengahan hanya memiliki seorang jenius bernama Leonardo da Vinci yang mumpuni dalam beberapa bidang keilmuan, ternyata kaum muslimin memiliki puluhan tokoh yang memiliki multiple intelligence.
Sebagai contoh, kejeniusan Ibnu Sina di bidang kedokteran menghasilkan karya menumental Al-Qȃnûn Fî Ath-Thibbi, yang pernah menjadi referensi kedokteran utama di universitas-universitas Eropa abad pertengahan selama hampir empat abad. Ibnu Rusyd yang faham dengan sangat baik filsafat Yunani, sehingga mampu memberikan koreksi dan catatan kaki atas kekeliruan yang ada di dalam buku mereka ternyata juga seorang Hakim di Andalusia (Spanyol) dan sekaligus seorang faqih yang dari tangannya terlahir Bidȃyatu-l-mujtahid, sebuah rujukan perbandingan madzhab dalam ilmu fiqih yang sampai sekarang tetap di perhitungkan. Belum lagi ada Al-Khawarizmi pencipta Al-Jabar (ilmu ukur) yang fenomenal, Al-Haitsam penemu Kamera Analog (kamar gelap), Al-Idrisi bapak kartografi dari pulau sisilia. Bahkan Galileo yang terkenal dengan teleskopnya ternyata terdahului oleh ulama-ulama di Baghdad yang telah lebih dulu menciptakan observatorium untuk mengamati pergerakan dan fenomena bintang-bintang. Al-kohol, al-kalin, sinus, kosinus, tangent, dan istilah-istilah lain lahir dari rahim keilmuan kaum muslimin. Begitu pula di bidang fiqih, hadits, tafsir, ilmu kalam, dan tarikh. Peletak dasarnya adalah kaum muslimin. Itu semua ada karena mereka memegang teguh Tradisi Keilmuan yang terkonsentrasi pada dua hal yaitu membaca dan menulis.
Masa Kemunduran
Prinsip perputaran roda sepertinya mengenai kaum muslimin dengan telak. Karena ternyata mengejar untuk mencapai suatu prestasi itu amat sulit, akan tetapi mempertahankan prestasi itu untuk tetap ada dalam genggaman ternyata lebih sulit. Karena kompetisi ada dalam segala bidang. Maka ketika perasaan bahwa prestasi itu telah di capai, menyebabkan ketidak hati-hatian sehingga akibatnya peradaban besar yang telah dicapai itu, memudar bahkan kemudian sirna. Dan kaum muslimin kemudian menjadi penonton yang dalam banyak kasus justru menjadi pengikut dan pangsa pasar yang membeli barang milik mereka, berasal dari mereka dan di tempat mereka, dengan kualitas yang berbeda. Hal itu tidak terlepas dari dua faktor utama yaitu Internal dan Eksternal.
Faktor internal adalah melemahnya semangat kaum muslimin untuk tetap memelihara Tradisi Keilmuan (membaca dan menulis) karena melihat prestasi gemilang yang telah dicapai. Adapun faktor eksternal amat banyak. Namun di sini kita kerucutkan menjadi beberapa hal pokok yang substansial. Pertama, jatuhnya Bagdad ditangan Hulagu Khan yang menyebabkan berakhirnya kekuasaan Abbasiyah. Kedua, Perang Salib dan Pengusiran kaum muslimin dari Andalusia. Setelah sekitar tujuh abad Granada, Toledo dan Sevila menjadi pusat peradaban Islam. Ketiga, Imperialisme bangsa Eropa yang membawa berbagai misi dan aktifitasnya, ekspansi, zending, orientalisme, Westernisasi dan faktor eksternal lainnya.

Masa kebangkitan kembali (An-Nahdhah)
Fenomena ini telah membangunkan dan menyadarkan tokoh-tokoh Islam dari tidur panjang. Maka kebangkitan itu di mulai dengan berbagai bentuknya. Syiekh Muhammad bin Abdul Wahab merenovasi sisi akidah. Syeikh Jamaludin al-Afghani mengambil sisi pemikiran yang kemudian di lanjutkan dengan estafet oleh Syeikh Muhammad Abduh dan Syeikh Rasyid Ridha. Muhammad Ali di Mesir, mengambil sisi politik dan pemerintahan. Kemudian di lanjutkan oleh tokoh-tokoh selanjutnya dengan spesialisasi dalam bidang masing-masing.
Ibarat sebuah bunga yang sudah membuka kuncup tak jadi mekar karena terganggu hama. Kebangkitan ini pun di gerogoti oleh hama yang di sebabkan oleh virus-virus yang sengaja diciptakan dan di suntikan kedalam. Ahmadiyah, liberalisasi, pendangkalan akidah, inkar sunnah, inkar nabi, inkar Qur`an (hermeunetika). Bahkan di luar, telah menunggu tangan-tangan berkuku tajam yang siap merenggut dan mencampakan peradaban ini agar tercerabut dari percaturan. Kekafiran dan kemunafikan memang selalu beriringan dan bergandeng tangan.
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu".
(Al-Baqarah 120)
Untuk mengcounter itu semua di perlukan pribadi-pribadi handal yang berakidah kuat, lurus dalam beribadah, berakhlak mulia dan berwawasan luas. Itu semua tidak akan dapat di capai kecuali ketika kaum muslimin merevitalisasi tradisi keilmuan yang pernah dimiliki, berfikir kritis, selalu membaca dan tak berhenti menulis. Perjuangan itu telah dimulai, maka kita punya tanggung jawab untuk melanjutkannya. Semoga cita-cita itu tercapai pada generasi kita, bilapun tidak, maka kita telah memberikan kontribusi (musahamah) untuk mencapainya dengan maksimal tentunya. Wallȃhu a’lam bi as-shshawȃb.


Referensi :
A. Berbahasa Arab :
1. البداية والنهاية، تأليف: إسماعيل بن عمر بن كثير القرشي أبو الفداء، دار النشر: مكتبة المعارف – بيروت
2. الكامل في التاريخ، تأليف: أبو الحسن علي بن أبي الكرم محمد بن محمد بن عبد الكريم الشيباني، دار النشر: دار الكتب العلمية - بيروت - 1415هـ، الطبعة: ط2، تحقيق: عبد الله القاضي
3. تاريخ الخلفاء، تأليف: عبد الرحمن بن أبي بكر السيوطي، دار النشر: مطبعة السعادة - مصر - 1371هـ - 1952م، الطبعة: الأولى، تحقيق: محمد محي الدين عبد الحميد
B. Berbahasa Inggris :
1. Baghdad, Salah Zaimeche, Ph.D. Foundation For Science Technology and Civilisation, June 2004, Manchester, United Kingdom. www.fstc.co.uk.
C. Internet :
1. Republika-online.co.id. sub judul : Khazanah Republika.

Penulis adalah Pengajar di Pondok Pesantren Darul-Aitam “Muniroh”. Menyelesaikan studi S1 di Ma’had ‘Aly An-Nu’aimi Jakarta.
Read more »

Mengecap Buah Ramadhan

Edisi 04, 07 Syawal 1431 H / 16 September 2010 M

Oleh: Ali Nurdin, M.S.I

Saudaraku,
Tidak terasa Ramadhan sudah berlalu membawa segala amalan baik dan buruk umat manusia. Kepergiannya terasa menyesakkan dada para pencinta ibadah, dan melapangkan perasaan para penggila kemaksiatan. Bagi pencinta ibadah, Ramadhan menjadi taman surgawi yang menawarkan beragam kenikmatan bermunajat, bertaqarrub dan menambah pundi-pundi pahala untuk bekal menempuh perjalanan panjang nan tak bertepi di akhirat kelak. Sementara bagi penggila kemaksiatan, Ramadhan laksana jeruji penjara yang menjadi penghalang diri untuk mereguk kenikmatan dunia, poya-poya dan beragam kelezatan dunia yang fana ini.
Ramadhan telah pergi bersama siangnya yang indah dan malamnya yang wangi. Kita telah mengucapkan selamat tinggal kepada Ramadhan; bulan puasa, qiyam, tilawah al-Qur'an dan bulan pengampunan terhadap dosa-dosa. Ramadhan adalah bulan pintu kebaikan dibuka lebar-lebar, keburukan ditutup rapat-rapat, setan-setan dibelenggu, kebaikan dan rahmat diturunkan, mesjid-mesjid terang benderang bermandikan cahaya, para malaikat memohonkan ampunan bagi orang-orang yang berpuasa, sedekah-sedekah diagungkan, amal-amal kebaikan dilipatgandakan pahalanya. Dosa-dosa dan kesalahan dihapuskan, musibah ditahan, dan derajat manusia ditingkatkan. Bulan keberuntungan bagi orang-orang yang berpuasa dan melakukan qiyamullail karena iman dan mengharap pahala, bulan penuh kerugian bagi orang yang berpuasa dan qiyamullail namun dihiasi dengan dusta, dengki, ghibah dan kemaksiatan.
Saudaraku,
Ibarat siklus kehidupan, Ramadhan laksana musim gugur saat pohon-pohon meranggas, dedaunan luluh simpuh, gugur tafakur, pulang ke akar menjadi pupuk kehidupan. Bagi insan beriman, Ramadhan berarti pembakaran. Saat gumpalan lemak jasmani, nafsani dan rohani sebagai parasit kehidupan memasuki kremasi pentralan. Puasa mengingatkan manusia bahwa keluhuran jati dirinya jauh melampaui nilai benda dan kuasa; bahwa nafsu at-takatsur (menimbun harta, memperluas pengaruh, dan ekploitasi pengetahuan) telah melalaikan manusia hingga membiarkan dirinya hanya sekadar faktor produksi, budak kekuasaan, dan alat percobaan. Dan di dalam gravitasi syahwat ini, fitrah agama sebagai pengemban misi keadilan, cinta kasih, dan kewarasan justru secara tragis berubah menjadi penasbih misi penindasan, penghancuran, dan pembodohan.
Ibadah puasa merupakan training ground refleksi diri, memulihkan tenaga rohani untuk membakar benalu yang mengerdilkan moralitas agama. Ramadhan member kesadaran bahwa hasrat menimbun, berkuasa, dan berpengaruh tak pernah ada puasanya kecuali dengan puasa (pengendalian diri). Kekuatan self restrain merupakan akar tunjang semua usaha pengendalian sosial. Kekuatan kendali diri tentu saja harus diperkuat oleh mekanisme kontrol sosial yang mangkus. Ibadah-ibadah sosial yang lain di bulan suci, mulai saat berjamaah hingga zakat fitrah, mestinya menjadi wahana pelatihan kepekaan dan kepatutan sosial.
Saudaraku,
Sekiranya semua orang beriman mampu berpuasa, gumpalan lemak yang berlebih pada satu kelompok bisa disalurkan menjadi energi hidup bagi kelompok lain, tidak menjelma menjadi kolesterol keserakahan sebagai biang kelumpuhan sosial. Seperti daun yang jatuh di musim gugur bisa memupuk rerumputan di bawah dan di sekelilingnya. Sesekali kita pun perlu meranggas, membiarkan egosentrisme terbakar, tersungkur sujud, menginsafi kefanaan dan menerbitkan hasrat untuk berbagi, membuka diri penuh cinta untuk yang lain.
Saudaraku,
Dimanakah posisi kita, apakah termasuk orang yang diterima ibadah puasanya? Jika ya. Selamat buat Anda. Anda telah berhasil melewati Ramadhan dan memperoleh kelulusan dan predikat orang bertakwa berikut bonus ridha Allah, rahmat-Nya, ampunan-Nya, dan surgan-Nya. bila Anda termasuk orang yang ditolak ibadah puasanya? Hanya ratapan dan tangisan yang kami berikan. Sungguh malang nasib Anda; berpayah-payah, berlapar-lapar, berhaus dahaga, namun hanya kemurkaan Tuhan, kerugian, dan kehinaan yang diperoleh.
Saudaraku,
Ramadhan berlalu begitu cepat bak kilat atau fatamorgana membawa kenangan manis dan pahit para pelakunya. Kita semua sudah menitipkan amalan baik maupun buruk, manis maupun pahit, jernih maupun keruh. Semoga Ramadhan menjadi saksi yang mengangkat derajat kita di sisi Allah, bukan saksi yang menjerumuskan dan menjatuhkan diri kita di hadapan-Nya.
Saudaraku,
Kepergian Ramadhan sudah mutlak terjadi. Ia akan kembali setahun lagi. Semestinya kita bertanya kepada diri kita, apakah kita sudah memanfaatkan Ramadhan secara maksimal? Sudahkah kita petik buah Ramadhan yang matang dan ranum? Sudahkah kita mewujudkan nilai ketakwaan dan lulus dari madrasah Ramadhan dengan menyandang gelar kehormatan al-Muttaqin? Ataukah kita DO duluan sebelum waktunya? Sudahkah kita belajar sabar dan tabah dalam melaksanakan ketaatan dan menahan diri dari kemaksiatan? Apakah kita sudah berjuang dan memperoleh kemenangan Ramadhan? Atau kita terpuruk dan kalah perang melawan nafsu diri dan godaan setan?
Saudaraku,
Ramadhan itu madrasah keimanan dan stasiun pengisi bahan bakar spiritual yang menjadi bekal untuk mengarungi masa setahun kedepan, dan mengasah semangat kita di umur selanjutnya. Ramadhan bulan penuh rahmat, barangsiapa terhalang memperoleh rahmat di bulan ini, maka terhalang pula di bulan selanjutnya. Barangsiapa tidak memperoleh ampunan pada bulan ini, kapan lagi ia akan memperoleh ampunan? Ramadhan bulan pembebasan dari api neraka. Barangsiapa tidak dibebaskan dari api neraka pada bulan ini, kapan lagi akan dibebaskan?
Saudaraku,
Pohon yang tidak berbuah pada waktunya, niscaya akan ditebang sampai akar-akarnya dan dicampakan ke dalam perapian. Orang yang lalai menanam pada masa tanam, hanya akan memperoleh penyesalan dan kerugian pada masa panen. Ramadhan bulan penuh kesempatan untuk berbuat kebajikan.
Jika di bulan Ramadhan kita penuhi dan jejali setiap desah nafas kita dengan qiyamullail, berlomba-lomba melakukan beragam amal kebaikan, berkompetisi mengisi barisan pertama dalam shalat berjamaah, tilawah al-Qur'an hingga khatam berkali-kali, mencurahkan segala permohonan, menengadahkan tangan mengharap ampunan Tuhan. Pertanyaan yang timbul, apakah aktivitas itu kini kita lakukan di luar Ramadhan? Apakah ibadah-ibadah yang kita jalankan di bulan Ramadhan masih kita laksanakan di luar Ramadhan? Ataukah semuanya pergi seiring dengan beranjaknya Ramadhan? Apakah ibadah-ibadah yang kita lakukan pada bulan Ramadhan hanya tradisi tahunan semata? ataukah karena terpengaruh lingkungan? Atau malah karena gengsi biar dikatakan ahlu Ramadhan?
Saudaraku,
Bila kondisi kita sebelum Ramadhan, saat Ramadhan dan pasca Ramadhan dibandingkan, manakah keadaan yang lebih baik? Apakah sebelum Ramadhan lebih baik dari Ramadhan? Apakah Ramadhan lebih baik dari sebelum Ramadhan? Apakah pasca Ramadhan lebih buruk dari Ramadhan? Kita hanya tinggal menjawab sejujurnya…
Saudaraku,
Mereka yang lulus dari penggemblengan di bulan Ramadhan sudah sepatutnya membuktikan tiga hal:
Pertama, berdisiplin memenuhi segala tuntunan dan tuntutan, baik yang terkait dengan hak-hak Allah atau pun hak-hak sesama makhluk. Demikian pula, dengan disiplin tinggi meninggalkan semua selera di siang hari Ramadhan, akhlak dan kehidupan seorang mukmin berporos pada satu kata: takwa.
Kedua, mengagungkan dan meninggikan Allah di atas segala-galanya. Allah Maha Besar bukan hanya dalam ucapan dan zikir lisannya. Naman-Nya mendominasi seluruh ruang dalam hati kita. Getaran sifat-Nya menguasai pengambilan keputusan kita. Kerinduan-Nya mengalahkan semua rindu.
Ketiga, bersyukur atas segala nikmat yang diberikan-Nya, khususnya nikmat hidayah. Semua nikmat selalu disalurkan kepada jalan yang benar, sesuai dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu ibadah, mengabdi kepada Allah dalam makna seluas-luasnya dan setepat-tepatnya. Ibadah yang mengandung unsure perlawanan terhadap hawa nafsu dan pengagungan terhadap Allah.
Saudaraku,
Janganlah kita termasuk orang yang mengurai kembali tenunan yang sudah selesai. Apa kata manusia jika kita menenun lalu dibuat pakaian yang menawan. Namun setelah menjadi pakaian, hasil tenunan itu dipotong selembar-demi selembar sehingga menjadi benang kembali tanpa ada sebab. Apa kata dunia?
Allah berfirman: "Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain[838]. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu." (QS. an-Nahl: 92)
Itulah gambaran orang yang kembali kepada kemaksiatan dan dosa setelah sebulan lamanya berenang di samudera ramadhan. Sungguh rugi dan hina orang-orang yang ingat Tuhan hanya pada bulan Ramadhan. Sungguh celaka orang-orang yang mengenal Allah pada bulan Ramadhan saja. Semoga Allah melindungi kita dari kesesatan setelah mendapatkan petunjuk. Semoga Allah menjaga kita dari kehinaan setelah memperoleh taufik. Semoga Allah memelihara kita dari kebutaan dan keraguan.
Saudaraku,
Ada banyak fenomena yang menunjukan bagaimana orang-orang melepas kembali hasil tenun bulan Ramadhan:
1. Sebagian orang melalaikan shalat jama'ah pada awal hari Ied, padahal sebelumnya mesjid-mesjid dipenuhi orang-orang yang mendirikan shalat taraweh – padahal hukumnya sunah – selepas Ramadhan mesjid menjadi sepi dari orang-orang yang mendirikan shalat fardhu seolah-olah kewajiban sudah gugur seiring kepergian Ramadhan.
2. Pasca Ramadhan, orang-orang sibuk mempersiapkan bekal untuk berwisata dan berrekreasi – walaupun dirinya tidak berpuasa – seolah-olah manusia terbebas dari belenggu dan baru menghirup udara segar. Fenomena kekhusyuan yang ditampilkan di bulan Ramadhan sirna dalam sekejap. Hingar binger dan keramaian membuncah bak banjir bandang. Semua orang bersenang-senang, seakan-akan terbebas dari kungkungan. Jika Ramadhan, yang terdengar alunan bacaan al-Qur'an dan nasyid penyejuk kalbu, kini seiring kepergian Ramadhan, VCD al-Qur'an dan Nasyid disimpan kembali ke tempatnya untuk distel kembali tahun mendatang. Sungguh ironis, Ramadhan hanya dianggap tradisi tahunan saat untuk menumpahkan segala nafsu syahwat yang tertunda selama satu bulan.
Saudaraku,
Jika Rasulullah bersabda bahwa setan dibelenggu pada bulan Ramadhan. Itu artinya pintu-pintu kemaksiatan ditutup rapat-rapat dan digembok dengan keras. Dan setan itu kembali dibebaskan berkeliaran menggoda anak manusia. Bila kita bayangkan bagaimana rasa lapar setan untuk menggoda manusia. Setan akan tertawa terbahak-bahak melihat tingkah polah manusia yang senang dengan kepergian Ramadhan. Setan tersenyum senang melihat manusia kembali ke tradisinya semula; berpoya-poya, melampiaskan nafsu syahwat yang dikekang selama sebulan.
Saudaraku,
Diterimanya sebuah amal di sisi Allah memiliki tanda yang jelas yaitu kebaikan yang diikuti dengan kebaikan serupa. Sedangkan tanda ditolaknya amal ialah kebaikan yang diikuti dengan kejelekan. Allah berfirman: (QS. Muhammad: 33)
Kebaikan yang dilakukan akan mendatangkan kebaikan yang lebih banyak lagi bahkan dapat menghilangkan keburukan. Sebaliknya, keburukan yang terus-menerus dilakukan akan berdampak pada kebaikan yang ada. Ada sebuah nasehat berujar: dosa yang dilakukan setelah taubat lebih jelek dari tujuhpuluh dosa yang dilakukan sebelum taubat.
Saudaraku
Seorang ulama salaf menitikkan air mata saat ajal menjemput. Ia pun ditanya, apa yang kau tangisi? Ia menjawab: "Aku menangisi malam yang tidak aku isi dengan qiyamullail, dan siang yang tidak aku isi dengan puasa. Allahu Akbar! orang saleh ini menangis dan menyesali diri karena melewatkan ibadah sunah yang ditinggalkannya. Bagaimana dengan kita yang terkadang sering melalaikan bahkan meninggalkan ibadah wajib?
Saudaraku,
Semoga buah Ramadhan bisa kita peroleh berupa istiqamah dalam ibadah, sensitive terhadap penderitaan sesame, peduli terhadap masalah-masalah social, memiliki daya tahan melawan godaan dan menjalankan ketaatan, tunduk dan patuh kepada Allah yang maha kuasa.
Semoga dengan spiritualitas Ramadhan dan nuraniyyatul qur'an di bulan al-Qur'an, kalbu insane mukmin menjadi sehat dan kuat sebagai cirri hati yang hidup. Dengan demikian member harapan untuk membuka lembar kehidupan yang lebih baik dan maju dari sebelumnya. Dengan hati yang hidup berkat puasa dan al-Qur'an maka tercipta kemakmuran hati. Berarti telah ada situasi yang kondusif untuk melakukan pemakmurkan kehidupan kita dengan lingkungan social budaya dan lingkungan alamnya. Sebab kehidupan itu sesungguhnya ada dalam hati dan dimulai dari hati. Kemakmuran pun dimulai dari kemakmuran hati. Kemiskinan dan kekumuhan pun akibat kemiskinan dan kumuhnya jiwa manusia.
Saudaraku,
Mudah-mudahan dengan puasa kita telah merecovery hubungan secara total dengan Maha Pencipta. Kesadaran sebagai hamba Allah makin melekat di kalbu. Karena memang kita adalah hamba-Nya di mana pun dan kapan pun juga, dalam posisi apa pun juga. Sebagai hamba Allah sepenuh hati, pikiran dan raga kita. Kita semakin mantap bahwa segala perkataan dan perbuatan harus mencerminkan kehambaan kepada Allah. baik saat berada di mesjid atau rumah atau kantor.
Ya Allah, pertemukan kembali kami dengan Ramadhan. Satukan kembali kami dengan bulan penuh rahmat dan ampunan. Sampaikan kembali usia kami ke bulan Ramadhan. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim.

Referensi
Abu Abdurrahman Khalid bin Husain bin Abdurrahman, Waahaat al-Iman fi Zilal Syahri Ramadhan, Maktabah ar-Rusyd, Riyadh, 2001
Abdul Aziz al-Muhammad as-Salman, al-Manahil al-Hisan fi Durus Syahri Ramadhan, 1409
Majalah Tarbawi, edisi 119 Th.7, 2005
Majalah Tarbawi, edisi 142 Th.8, 2006
Majalah Gatra, no. 43 Th XIV, 2008
Read more »