Ahlan Wasahlan wa Marhaban Biziyaaratikum.. Selamat Membaca dan Menikmati Sajian dari kami.. :)..
Penasihat : Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam | Pemimpin Umum : Joko Waluyo, S.Pd.I | Pemimpin Redaksi :Devi Muharrom Sholahuddin, Lc. | Wakil Pemimpin Redaksi : Muhammad Sendi Sayyina, S.Pd.I | Dewan Redaksi : Ali Nurdin, M.S.I, Asep Deni Fitriansyah, M.Phil., Asep Ali Rosyadi, S.Ag., Asep Roni Hermansyah, S.Pd.I, Ajat Syarif Hidayatullah, S.Pd.I Al-Hafidz | Distributor : Munir Hermansyah, S.Pd.I, Egi Mulyana, S.Pd.I, Acep Mutawakkil | Dapur Redaksi : Gedung Perpustakaan Pondok Pesantren Darussalam Sindang Sari Kersamanah Garut Indonesia 087758202070 | Risalah Ilmiah FIGUR Darussalam diterbitkan oleh Forum Ilmiah Guru (FIGUR) Pondok Pesantren Darussalam, terbit seminggu sekali, Redaksi menerima tulisan dari berbagai kalangan dan berhak untuk mengeditnya tanpa merubah maksud dan isi tulisan | Kritik dan saran silahkan hubungi redaksi via surat, telepon atau email (figur-darussalam@yahoo.com)

Kamis, 31 Maret 2011

WAJAH ATEIS BERKEDOK PLURALIS

No. 22, 15 Shafar 1432 H/ 20 Januari 2011 M

WAJAH ATEIS BERKEDOK PLURALIS
Oleh: Muhammad Ihsan, S.H.I.
(Peserta PKU ISID Gontor Angkatan Ke-4

Jika Anda memasuki dunia kampus (Perguruan Tinggi) di Negeri ini. Telinga Anda akan akrab dengan istilah kebenaran objektif dan kebenaran subjektif. Menarik untuk dikaji bahwa hampir di setiap perguruan tinggi, mahasiswa dan dosen seolah ditekankan untuk selalu berpikir objektif baik dalam menganalisa maupun dalam mengkritisi sesuatu, dan sebisa mungkin untuk menghindari subjektivitas pemikiran. Tak ketinggalan, berbagai perguruan tinggi Islam pun menyuarakan hal yang sama: selalu berpikir objektif. Terlebih dalam menghadapi problem keagamaan. Indonesia yang sedari dulu mempunyai pluralitas agama yang begitu beragam dengan berbagai aliran kepercayaannya, seolah tak pernah luput dari pola pikir “bagaimana seharusnya kita lakukan dalam menghadapi pluralitas agama ini, harus objektifkah? Atau subjektif?”. Lalu apa yang salah dengan pola berpikir objektif maupun subjektif? Apa yang sebenarnya hendak dicapai oleh pola berpikir yang demikian? Berikut sekelumit tulisan, semoga menjadi sarana dalam mendapatkan petunjuk tentang suatu kebenaran.

Membahas objektivitas-subjektivitas kebenaran sebenarnya membutuhkan sebuah kajian kritis tersendiri yang tidak mungkin selesai hanya dengan selembar dua lembar kertas ini. Kajian kritis dan mendalam mutlak dibutuhkan dalam hal ini, mengingat objektivitas-subjektivitas berpikir adalah bahasan menyangkut cara, bagaimana kita mendapatkan suatu kebenaran berpikir, atau yang dalam istilah akademis disebut dengan epistemologi.

Namun demikian, dalam bahasa sederhana, berpikir objektif adalah cara seseorang (sebagai subjek) memikirkan tentang sesuatu (objek), di mana antara subjek dan objek tersebut tidak ada ikatan apapun yang dapat mempengaruhi hasil dari cara berpikirnya. Sehingga hasilnya adalah pure secara natural pandangan subjek berdasarkan ilmu-ilmu yang didapatnya terhadap objek tersebut, tanpa ada tendensi baik atau buruk, positif atau negatif. Dalam beberapa hal, cara berpikir ini memang dibutuhkan. Misalnya, bagi seorang hakim yang akan memutuskan suatu perkara, kondisi netral atau normal mutlak diperlukan. Hakim tidak dibebani suatu tekanan emosi baik berupa perasaan senang, sedih, maupun marah, yang dapat mempengaruhi hasil putusannya. Akan tetapi, sulit ditemukan sebuah pemikiran yang pure, terbebas dari sebuah kecenderungan. Inilah yang sebenarnya menjadi persoalan dalam cara berpikir objektif, bahwa hampir bisa dipastikan, seorang peneliti tidak akan bisa menggunakan cara berpikir objektif dalam mengkaji atau meneliti suatu persoalan.

Adapun cara berpikir subjektif adalah cara berpikir yang dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman yang dipedomani sejak sebelumnya, atau bisa disebut sebagai cara berpikir dalam kacamata atau framework tertentu. Contoh, mengenai hal yang selalu menarik untuk diperbincangkan, yaitu perbuatan mencintai. Adakalanya subjek mencintai objek karena pandangan subjektifnya tentang objek, yang berupa respon subjek terhadap aksi maupun kondisi dari si objek. Seseorang mencintai barang miliknya karena bagusnya atau kegunaannya, seseorang mencintai pasangannya karena sikap atau sifat yang dimiliki oleh pasangannya, itu tergantung subjektivitas masing-masing. Adakalanya menurut seseorang bahwa sesuatu itu bagus untuk dimiliki, belum tentu demikian menurut orang lain, itu dikarenakan masing-masing memiliki subjektivitas penilaian yang berbeda-beda. Jadi, subjektivitas itu sebenarnya penilaian subjek terhadap objek dalam segala seginya yang beraneka ragam.

Lalu apa hubungannya dengan pluralisme agama? Sebagaimana telah saya tulis dalam Figur edisi yang lalu (No. 11/28 Dzulqa’dah 1431 H/5 Nopember 2010), bahwa paham relativisme agama akan selalu digembar-gemborkan sebagai upaya menciptakan keraguan kaum muslim dalam meyakini agamanya. Ironisnya, upaya ini tidak lagi dilakukan oleh kaum orientalis-misionaris, melainkan dilakukan oleh kaum cendikiawan muslim sendiri yang entah sadar atau tidak, telah digelincirkan pemikirannya ke dalam pemahaman yang demikian menyimpang.
Adapun para orientalis barangkali hanya menyeringai senang, karena dia tidak usah bersusah payah meyakinkan kaum muslim untuk meragukan agamanya, karena toh kata-kata manis namun menipunya itu telah bisa diungkap dan disebarkan secara fasih oleh orang-orang yang dianggap sebagai kaum intelektual muslim.

Muatan dalam relativisme agama yang menjadi pemicu lahirnya pluralisme agama sebenarnya hanya berkutat pada dua hal saja, yakni objektivitas dan subjektivitas pandangan terhadap agama. Pandangan ini menghendaki seseorang yang beragama, yang ingin mengetahui kebenaran agamanya, agar melepas segala atribut keagamaannya untuk bisa melihat agama yang diyakininya dari luar agama tersebut. Sehingga dengan begitu, seseorang akan menjadi objektif dalam memandang agamanya. Dia akan menemukan bahwa kebenaran, kebaikan, dan sikap menghargai nilai-nilai kemanusiaan tidak hanya dimiliki oleh agamanya, karena agama lain pun memiliki nilai yang sama. Dengan begitu, dia akan menganggap agamanya sejajar, sama dan memiliki satu kebenaran yang sama dengan agama lain, inilah yang disebut sebagai pluralisme agama. Adapun orang yang memandang agama dari dalam, yakni dari agama yang dipeluknya saja, dianggapnya subjektif, egois, fanatis, pemicu konflik dan tidak toleran terhadap agama dan pemeluk agama lain. Konkritnya, pada satu dasawarsa kemarin, gencar sekali kelompok yang menamakan diri sebagai kaum liberal dalam mempropagandakan relativitas kebenaran agama-agama. Sebut saja satu kelompok liberal dari kalangan umat muslim, yang dikenal dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). JIL mengatakan untuk bisa melihat Islam secara objektif, maka kita harus melepas dulu status sebagai muslim, -artinya kita harus keluar dari Islam- dengan anggapan bahwa ketika melihat Islam dengan posisi tidak Islam lagi, maka kita bisa melihat Islam secara objektif.

Masalahnya, objektivitas pandangan yang dimaksud oleh mereka tidaklah seperti yang diungkapkan dalam definisi sederhana di atas, karena memang sulit untuk melakukan objektivitas yang demikian. Apakah setelah kita melepas status keislaman, kita akan benar-benar dalam kondisi netral, kosong dari asumsi dan prasangka tentang Islam? Jawabannya tentu tidak. Sebagaimana disebut di muka, kita tidak akan bisa terlepas dari sudut pandang mana kita beranjak dalam memandang sesuatu. Bulend Senay dalam makalah resensinya sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Anis Malik Toha mengatakan:
“metode-metode pendekatan yang berbeda pada dasarnya ingin mencapai tujuan-tujuan yang berbeda. Tentu saja hal ini tidak selalu berkonotasi negatif, tapi setiap orang tidak boleh lupa bahwa setiap metodologi adalah value-oriented. Apa yang sejatinya ingin kami jelaskan adalah bahwa ‘mitos kajian agama yang bebas dari nilai-nilai subjektif’, sebagaimana juga akarnya, adalah sarana yang dilakukan pandangan hidup sekular (secular worldview) untuk menghapus atau menyelesaikan konflik yang terjadi antara dua tradisi yang begitu asasi: sekular (yang hanya tunduk pada supremasi akal) dan religius (yang tunduk pertama, pada supremasi iman, dan kedua pada akal)”.

Dari pendapat di atas jelas, bahwa siapa pun tidak bisa terlepas dari sudut pandang (subjektivitas, atau worldview) dalam melihat fenomena apapun termasuk agama. Termasuk mereka yang menganggap dirinya objektif dalam melihat realita agama. Benar mereka telah keluar dari kungkungan subjektivitas/worldview agama, dalam hal ini Islam, tapi dengan begitu, tidak menjadikan mereka objektif dalam memandang agama, melainkan masuk dalam perangkap subjektivitas sekular, atau dalam istilah Senay disebut worldview sekular, yakni cara pandang yang menyisihkan agama dari kehidupan.

Jika worldview sekular telah merasuki seseorang, lalu dengannya orang lantas tidak membutuhkan agama lagi.Maka apa namanya jika tidak disebut sebagai ateis? Mereka menggembar-gemborkan isu demokrasi, HAM, emansipasi wanita, dan lain sebagainya, tapi apa gunanya jika tidak beragama dan ber-Tuhan? Mereka mencampur semua ajaran agama dengan dalih semua agama adalah sama. Awalnya memang terdengar indah, tetapi akhirnya mengarah kepada ateisme. Tentu saja bagi mereka semua agama adalah sama karena bagi mereka agama itu sama-sama tidak ada. Bagi mereka, semua agama sama konyolnya. Dalam realitanya, tidak ada sikap menghargai agama yang selalu mereka elu-elukan, karena menyama-nyamakan agama seperti yang mereka lakukan saat ini bukanlah sebuah penghargaan, tapi penghinaan.

Lucunya, ajaran dan kitab suci mereka adalah gabungan dari semua ajaran agama. Padahal sudah jelas agama-agama berbeda secara doktrin dan masing-masing berhak mengklaim kebenaran agama masing-masing, terlebih di Indonesia, hal itu dijamin dalam Undang-Undang. Mereka menyuguhkan sebuah parodi tentang kebingungan mereka, dengan melarang pengklaiman kebenaran dari agama di satu sisi. Namun di sisi lain, memaksakan paham mereka untuk diterima. Mereka memakai standar ganda.

Lucunya lagi, mereka mengklaim “doktrin baru” mereka (liberalisme, sekularisme, pluralisme, relativisme, dan ateisme) tersebut sebagai kebenaran mutlak di saat mereka sendiri menolak agama untuk mengklaim kebenaran agama masing-masing. Standar ganda lagi yang dipakai oleh mereka. Alasannya karena jika masing-masing agama mengklaim ajarannya benar, maka inilah yang menjadi akar perpecahan bangsa dan perpecahan dunia. Padahal pemicu konflik sebenarnya adalah mereka yang berani mengkonfrontasikan keyakinan yang berbeda-beda di satu pihak, dan di pihak lain memaksa umat untuk menyatukan agama-agama. Untuk apa ada konsep toleransi atas perbedaan, kalau perbedaan itu berusaha untuk dihilangkan. Perbedaan, layaknya persamaan bukan untuk dihilangkan. Karena perbedaan itu pasangan dari persamaan. Jadi untuk mencari kerukunan hidup, tidak dengan menyama-nyamakan prinsip hidup yang secara kodrati berbeda. Tapi perbedaan itu dijaga dengan saling menunjukkan sikap toleran dan saling menghormati.

Maka yang terpenting sekarang adalah menganut agama secara proporsional, Islam mengajarkan kita untuk menjadi ummat wasath, artinya posisinya jelas sebagai penengah. Tidak mengarah ke fanatisme sempit, ateisme, ataupun indiferentisme (apatis, tidak peduli). Islam diwahyukan secara murni untuk dipeluk oleh orang-orang yang ikhlas menghamba kepada Allah. Li ya’budu-llah mukhlishin lahuddin. Wallahu a’lam.
Read more »

Ukhuwah dan jama’ah

No. 21-B


Ukhuwah dan jama’ah
Oleh: Faiz Ramdani Sholahuddin
(Alumni Pondok Pesantren Darussalam, Mahasiswa Ma’had ‘Aly An-Nu’aimy)

Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ketika muhajirin tiba di Madinah, Rasulullah SAW mempersaudarakan Abdurrahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin Ar-Rabi’. Sa’ad berkata kepada Abdurrahman, “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan Anshar. Ambillah separuh hartaku. Aku juga mempunyai dua istri. Maka lihatlah mana yang engkau pilih, agar aku bisa menceraikannya. Jika masa iddahnya sudah habis, maka nikahilah ia.”

Abdurrahman berkata, “Semoga Allah memberkahi bagimu dalam keluarga dan hartamu. Lebih baik tunjukkan saja mana pasar kalian.”

Demikianlah sebagian potret ukhuwah dalam bangunan jama’ah dakwah yang ideal. Sa’ad benar-benar memahami keterbatasan Abdurrahman bin Auf. Meskipun di Makkah Abdurrahman bin Auf adalah sudagar yang kaya raya, toh ia datang ke Madinah tidak membawa apapun. Hijrah lebih ia cintai walaupun resikonya adalah meninggalkan seluruh harta kekayannya. Namun, Abdurrahman bin Auf juga seorang sahabat yang tahu betul bahwa ia sanggup melakukan hal yang lebih baik, tanpa bermaksud menolak kebaikan Sa’ad. Ia tetap memberi kesempatan Sa’ad untuk berbuat baik padanya sebagai konsekuensi sebuah ukhuwah; menunjukkan pasar Madinah.

Banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang berbicara tentang ukhuwah dan keharusan berjam’ah, diantaranya: Allah SWT berfirman: "Orang-orang mukmin itu bersaudara, sebab itu perdamaikanlah antara dua orang bersaudara mu dan takutlah kepada Allah mudah-mudahan kamu mendapat rahmah" (Al-Hujurat:1). Rasulullah SAW bersabda: “aku wasiatkan kepada kalian (agar mengikuti) para sahabatku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya… kalian harus berjama’ah. Waspadalah terhadap perpecahan karena sesungguhnya syetan bersama orang yang sendirian, dan dia akan lebih jauh dari dua orang. Barangsiapa yang menginginkan harum wangi surga maka hendaklah komit dengan jama’ah (diriwayatkan oleh Tirmidzi)

Makna Ukhuwah dan jama’ah 

Ukhuwah artinya “bersaudara”. Ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan Islam merupakan ikatan yang akan mewujudkan kekuatan Islam. Aqidah yang sudah tertanam di hati setiap muslim tetapi tidak diikat dengan ukhuwah maka akan melemahkan kerja dakwah dan tujuan tidak akan tercapai. Sedangkan jama’ah artinya kawanan, perkumpulan, atau persatuan. Jama’ah disini bermakna persatuan dalam agama Islam, dan sering disebut juga ittihadul ummah. Persatuan atau jama’ah tanpa menjadikan ukhuwah sebagai ikatan maka akan menjatuhkan harakah itu sendiri. Dengan ukhuwah pula kesatuan kerja, amal dan aktivitas akan berlaku. Selain itu juga kesatuan berfikir dan kesatuan di dalam hati akan menambah mantap kekuatan Islam.

Keharusan berukhuwah dan berjama’ah

Lalu mengapa kita harus berukhuwah? Karena sungguh, tidak ada yang paling indah dalam kehidupan manusia kecuali memiliki sahabat dalam iman. Betapa kentalnya nilai persaudaraan yang disambung oleh tali iman ini, telah dibuktikan oleh para anggota jama’ah Rasulullah yang sekaligus sebagai bingkai kaca untuk bercermin dan menata kehidupan masyarakat Islam yang Qur’ani. Persaudaraan iman inilah yang menyatukan rasa dan cinta dalam jama’ah yang mampu membongkar segala ta’assub (kebanggaan golongan), keturunan, ras dan kebanggan golongan lainnya. ukhuwah merupakan buah pertemuan untuk beramal dijalan Allah, bahkan ukhuwah adalah asa pertemuan semacam itu, dan tidak akan tegak sebuah amal kecuali dengan ukhuwah. Maka loyalitas yang ada diantara kaum muslimin haruslah untuk Allah dan Rasul-Ny dan sebagai hasil dari loyalitas kepada Aqidah, bukan kepada yang lainnya. Dan Allah Ta’ala mengakui ukhuwah sebagai salah satu amal shalih, karenanya pelakunya akan mendapat pahala.

“ada tujuh golongan dimana Allah menaungin mereka dengan naungan-Nya pada suatu hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya:... dan dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya bertemu karena-Nya dan berpisah karena-Nya” (Muttafaqun ‘alaih)

Ukhuwah juga menjadi jalan untuk membahagiakan ummat manusia secara umum, diatas landasan keimanan, dan merupakan konsekuensi keimana itu sendiri.

Mengapa kita diwajibkan berjama’ah? Karena ada banyak hal yang mengharuskan kita untuk selalu berjama’ah, selalu bersatu dalam barisan Islam. Diantaranya:
Pertama, kaidah syar’iyah yang berbunyi “maa laa yatimmu al-waajibu illa bihi fa huwa waajib” bahwa suatu kewajiban yang tidak akan sempurna kewajiban tersebut kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itu hukumnya wajib. Mendirikan masyarakat Islam yng merujuk pada aqidah Islam dan syari’at Islam adalh kewajiban. Dan tidak ada cara untuk mewujudkannya kecuali dengan jama’ah yang solid.

Kedua, realitas yang terlihat bahwan manusia cendrung menjadi lemah ketika bekerja seorang diri. Sebaliknya akan menjadi kuat dan berdaya ketika ia bersama-sama dengan orang lain. Bekerja sendiri tidak akan banyak memberi pengaruh dalam mewujudkan sesuatu, kesendirian menyebabkan upaya yang dilakukan menjadi lemah dan minim efeknya

Ketiga, relitas pihak-pihak yang melakukan tekanan dan pertentangan dengan Islam, siapapun nmanya dan appun kelompoknya, semuanya melakukan aksi secara bersama-sama. Maka tidak masuk akal jika umat Islam menghadapi kekuatan strutural yang menekan Islamdengan kekuatan orang perorang. Sampai disini, kita mendapatkn firman Allah Ta’al yang sesuai untuk dijadikn pijakan berjama’ah. “adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai kaum muslimin) tidak melaksanakn apa yang di perintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar” (Al-Anfal:73)

Itulah sebabnya, berukhuwah dan berjama’ah sangat diperlukan. Bekerja untuk Islam mutlak memerlukan sebuah jama’ah dan ukhuwah yang didasarkan pada keimanan kepada Allah Ta’ala. Wallahu a’lam bi shawaab.


Referensi:
1. Bersama kereta dakwah (terjemah indonesia). DR. Adil Abdullah Al-Laili Asy-Syuwaikh. Rabbani press
2. Beginilah jalan dakwah mengajarkan kami. Muhammad Lili Nur Aulia. Pustaka Da’watuna
3. Brotherhood, aku rindu persaudaraan. KH. Toto Tasmara. Penerbit Pena
4. Lentera rakyat.sos4um.com
5. Tabayun.wordpress.com
6. http.mahira.cybermq.com
Read more »

BAHAYA FAHAM LIBERAL BAGI PEMUDA ISLAM

No. 21-A

BAHAYA FAHAM LIBERAL BAGI PEMUDA ISLAM
Erfan Shofari Sholahuddin, S.H.I.

Islam adalah agama terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT kepada ummat manusia, begitupula Islam merupakan penyempurna Agama-agama sebelumnya, Nabi Muhammad sebagai penutup para Nabi adalah orang yang Allah SWT tugaskan untuk membawa risalah Islam. Islam telah menunjukan kebenaran yang nyata dan itu terlihat dan terekam dengan jelas sepanjang perjalanan Islam, kendati demikian kadang kebenaran gak selamanya dapat diterima oleh semua orang, namun ada pula yang mengingkarimnya.

Tantangan mendasar yanng dihadapi ummat Islam dari serangan Liberal saat ini adalah bukan hanya berkecimpung di bidang pemikiran, ekonomi, politik, akan tetapi sosial dan budaya, maka dampak yang ditimbulkan adalah hancurnya akhlak para pemuda generasi Islam.
Ummat Islam saat ini menghadapi persoalan yang sangat kompleks, terutama generasi muda yang terinfeksi paham Liberal. Paham ini menempatkan kebebasan individu sebagai acuan sistem nilai yang tertinggi. Paham yang diperkenalkan oleh Marcus Aurelius (121-180 M) ini menemukan momentum kebangkitan di jaman Renaissance. Menurut paham ini, negara tidak boleh campur tangan dalam berbagai bidang. Seperti kesusasteraan, kesenian, pemikiran, , pergaulan, dan dalam bidang-bidang lainya. Paham ini dengan begitu gencarnya disebarkan melalui berbagai media. Mulai dari internet, koran, televisi dan berbagai media lainya. Kondisi ini merubah fungsi media menjadi tele poison (racun yang ditembakkan dari jarak jauh). Sebagai orang Islam, kita perlu mewaspadai faham Liberalisme. Mengapa ?
Karena para penganut paham kebebasan ini dalam berfikir lebih mendahulukan akalnya dari pada wahyu Allah dan sunnah Rasul-Nya. Mereka menolak adanya kebenaran mutlak dalam agama yang berasal dari Allah Mereka menganggap peraturan peraturan agama dan negara sebagai pengekangan terhadap hak azasi manusia. Kemudian mereka bebas berpacaran dengan dalih penjajahan. Berhubungan badan untuk membuktikan tulusnya cinta. Bersikap permisif terhadap hubungan seks di luar nikah disebabkan karena maraknya pornografi dan pornoaksi. Akibatnya banyak gadis-gadis yang hamil di luar nikah, banyak bayi-bayi yang mati ditemukan di tong sampah maupun selokan-selokan. Naudzubillahi min dzaalik.

Allah mengancam para pemuda dan pemudi yang berbuat zina dengan hukuman dera sebanyak 100 kali. Bagi pezina muhshon (orang yang sudah pernah menikah) dengan hukuman rajam (QS An-Nuur : 2). Allah SWT. Berfirman: ”Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al-Israa’ : 32)

Salah satu diantara tanda-tanda akan datangnya hari kiamat adalah terjadinya perzinaan terang terangan. Rosulullah SAW. Bersabda: ”Diantara tanda-tanda datangnya kiamat ialah terangkatnya ilmu, munculnya kejahilan,maraknya peminum khomr, dan perzinaan dilakukan secara terang-terangan.” (HR.Bukhari )

Kini paham Liberal sudah memicu generasi muda muslim terjerat minuman keras. Merasa dirinya lebih macho, lebih jantan dan lebih berani dengan bermabuk-mabukan. Akibatnya banyak diantara mereka yang tidak mampu mengendalikan diri. Dampaknya banyak yang mati karena kecelakaan. Mati karena over dosis. Banyak keluarga muda yang berantakan karena suaminya mengkonsumsi minuman keras. Dampaknya membuat peminumnya mudah tersinggung, mudah marah, bersikap agresif, dan tidak mampu mengontrol dirinya sendiri. Kondisi ini menjadi pemicu munculnya ering ribut-ribut dengan orang di sekitarnya maupun dalam keluarganya sendiri.

Yusuf Al-Qaradhawi mengatakan, Allah memuliakan manusia dengan akal. Sedang minuman keras berbahaya bagi tubuh, akal dan moral. Orang yang mabok menjadi amoral, tidak sadar dan tidak mengenal kewajibanya kepada Allah, diri sendiri dan orang lain. Secara social, masyarakat dirugikan oleh gangguan orang-orang yang mabok. Banyak terjadi konflik horizontal yang dipicu oleh pertengkaran orang yang sedang mabuk. Ancaman kehancuran bangsa karena miras belum bisa diatasi, masih ditambah lagi dengan ancaman yang lebih besar bahayanya yakni narkoba (narkotika dan obat-obat terlarang). Dalam sepuluh tahun terakhir ini jaringan pengedar ganja, pil koplo, ineks, putaw, heroin, dan sabu-sabu telah menyebar ke seluruh penjuru tanah air.

Kita masih ingat pernah ditemukan sebuah pabrik sabu-sabu yang terbesar nomor tiga di dunia tepatnya di daerah Tangerang. Polisi berhasil menyita berton-ton bahan dan produk jadi yang akan dipergunakan untuk meracuni dan menghancurkan generasi muda kita. Beberapa orang berhasil tertangkap basah di lokasi itu, termasuk diantaranya beberapa warga negara asing. Kenyataan ini membuktikan bahwa Indonesia telah dijadikan sebagai pasar narkoba oleh para mafia narkoba Internasional.

Inilah salah satu program yang dilakukan orang-orang Liberal terhadap kalangan muda ummat Islam, oleh karena itu mari kita selalu meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya Liberalisme yang bisa menghancurkan moral bangsa ini dengan meningkatkan pendalaman serta pengamalan agama Islam dalam kehidupan sehari hari.

Referensi :

Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisme Pemikiran Islam ( Gerakan bersama misionaris Orientalis dan Kolonialis), Ponorogo : CIOS-ISID Gontor, 2009.
Adian Husaini, M.A dan Nuaim Hidayat, Islam Liberal, Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan jawabannya. Gema Insani, Jakarta 2002
Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi, Gema Insani, Jakarta 2009
http//kaferemaja wordpress.com.
Read more »

SYA’IR ARAB TRANSFORMATIF

No. 20, 01 Shafar 1432 H/ 06 Januari 2011

SYA’IR ARAB TRANSFORMATIF
Oleh : M Purwa Nugraha


Sastra Arab dapat diklasifikasikan secara umum menjadi dua karakter sastra, yang pertama sya’ir dan yang kedua natsr, keduanya selalu bersama dengan seiring berkembangnya peradaban Arab, namun dalam perjalananya sya’ir lebih mendapatkan porsi perhatian yang lebih besar dari sastrawan Arab, karena sya’ir dipandang mempunyai muatan dan nilai sastra lebih besar dari natsr.

Dalam perjalananya sastra Arab mengalami transformasi dari masa kemasa, namun tranformasi yang signifikan dirasakan ketika Islam berkembang ditanah Arab dan mereformasi kehidupan Arab, termasuk melakukan reformasi dalam sasta Arab, trasformasi nilai-nilai yang dibawa Islam ini sering kita sebut dengan Islamisasi.

Objek Islamisasi Sya’ir Arab.

Sebenarnya proses islamisasi itu pada dasarnya berangkat dari dasar teologi umat Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabawi , dari keduanya itu awal mula dan dasar pijakan dalam proses islamisasi, juga dari keduanya diambil dasar-dasar prinsip dalam islamisasi secara umum khususnya yang kita bahas saat ini yaitu sya’ir Arab.

Secara global proses islamisasi sya’ir Arab adalah mentransformasi serta memfilter nilai-nilai negatif yang ada dalam sya’ir Arab pra Islam kepada nilai-nilai kebaikan yang dibawa Islam, jadi pada dasarnya semua sastra yang terlepas dari nilai negatif baik itu secara mabani atau ma’ani, itu sudah mengalami islamisasi secara etimologi, namun nilai yang dibawa akan kurang karena mereka dasarnya hanya mungkin berupa satu sisi nurani manusia yang cinta akan kebaikan, bukan berasaskan nash Islam yang absolut.
Objek dari islamisasi dalam sastra Arab secara umum dibagi menjadi dua, yaitu ma’ani (makna) dan mabani (susunan kalimat).

a. Ma’ani (makna/nilai).

Objek pertama dalam islamisasi sya’ir Arab adalah memperbaiki ma’na dari sebuah sastra, sya’ir Arab salah satu sastra yang sangat kaya akan makna, setiap kata-katanya penuh dengan makna yang pariatif. Background kehidupan Arab yang sangat keras dan fanatik membentuk nilai/muatan sya’ir Arab tidak jauh dari karakteristik masyarakatnya. Semua itu sangat terasa dalam ratsa (ratapan) dan tafakhur (menyombongkan diri), tidak cukup disana, ghazal (rayuan/gombal), pun menjadi karakteristik tema yang ramai dipakai oleh sastrawan Arab pra Islam, rayuan untuk memuji orang lain, ataupun dengan menerangkan kecantikan seorang wanita.

Islam datang dengan cahaya-Nya, mengubur dalam-dalam jiwa fanatisme yang ada dalam diri manusia dan dalam diri masyarakat Arab pada khususnya, berkata jujur dan ajaran lainya yang sangat syarat akan nilai positif, hasil islamisasi dalam bentuk makna sya’ir Arab dapat kita rasakan, terutama ketika Islam mulai mengibarkan benderanya di tanah Arab, banyak sastrawan Arab pra-Islam merubah kandungan makna sya’irnya setelah mengalami islamisasi.


b. Mabani (kalimat).

Tidak hanya pada kandungan makna saja Islam mengadakan perbaikan pada sya’ir Arab, susunan kalimat Al-Qur’an dijadikan acuan utama karena al-Qur’an merupakan kalam Ilahi yang tidak ada kecacatan di dalamnya, dan itu telah diakui dan dibuktikan oleh sastra Arab, yaitu bagaimana mereka lemah dan tidak mampu ketika Nabi meminta kepada para sastrawan Arab untuk membuat suatu seni sastra yang sebanding dengan al-Qur’an, sedikitpun mereka tidak mampu untuk menyerupai, apalagi menyaingi sastra al-Qur’an, walaupun pada dasarnya al-Qur’an bukan jenis dari sastra Arab, bukan dari jenis sya’ir atau natsr, al-Qur’an adalah karya Allah yang maha sempurna. Kata-kata al-Qur’an banyak menginspirasi para sastrawan Arab dalam penyusunan sya’irnya, sehingga menjadikan sya’ir Arab paska islamisasi penuh akan nilai-nilai Islam, karena kata-kata al-Qur’an berasal dari sang pencipta langit dan bumi Yang Maha Sempurna.


Proses Islamisasi Sya’ir Arab.

Dalam sya’ir Arab ada tema-tema yang disusung oleh penya’ir dalam sya’irnya, beberapa tema yang familiar dalam sya’ir Arab pra Islam dan mengalami Islamisasi paska Islam adalah :

- Ghazal (Rayuan).

Ghozal juga mempunyai beberapa macam, yaitu : Pertama, ghazal ‘udzri. Ghozal ini merupakan sya’ir yang digunakan oleh penya’ir dalam menggambarkan kecintaan dia kepada orang yang ia cintai. Kedua, ghazal sharih. Yaitu sya’ir yang terfokus kepada bagaimana menggambarkan keindahan seorang wanita. Ketiga, ghazal taqlidi. Yang dominan pada jenis ghazal ini adalah para penya’ir menuangkan daya seni (imajinasi) merekadalam sya’irnya, dan tidak membahas apa yang eksis disekitar dia seperti dua ghazal sebelumnya.

Paska Islamisasi ghazal ‘udzri dan sharih tidak lagi berkembang dalam sya’ir Arab, dikarenakan nilai yang dibawa adalah nilai non Islami, sedangkan ghazal taqlidi masih di tolelir karena nilai non Islaminya tidak sebesar kedua ghazal pertama, juga mengingat ghozal merupakan tema sya’ir yang sudah mendarah pada satrawan Arab.

- Ratsa(Ratapan).

Warna yang sangat signifikan dari jenis sya’ir ini dengan sya’ir yang lainya adalah dalam sya’ir inilah para penya’ir menuangkan rasa sedih dan duka mereka, para ulama sastra arab juga mengatakan bahwa ratsa merupakan jenis sya’ir yang sangat jujur, karena dalam sya’ir itu benar-benar menggambarkan perasaan penya’ir yang duka dan sedih, dan dikatakan ratsa (ratapan) ini tidak ada bedanya dengan madiih (pujian) secara methodology, hanya yang berbeda cara pengunkapan saja.

Paska Islamisasi, nilai ini juga masih dibawa oleh penya’ir Islam, bahkan berkembang lebih pesat, karena peperangan yang terjadi menyebabkan para muslimin banyak kehilangan keluarga tercinta mereka, nilai yang dibawa dalam tema ini juga telah terislamisasikan.

- Hamasa dan fakhr (penyombongan diri).

Yang menyebabkan timbulnya tema sya’ir ini adalah kehidupan masyarakat arab yang selalu berperang antar sesama qabilah (kaum) karena keta’asuban mereka kepada kaumnya masing-masing sebagaimana penulis jelaskan diatas, sehingga ketika mereka akan memulai peperangan atau setelah mendapatkan kemenangan, mereka banyak melantunkan jenis sya’ir ini, sebagai bentuk kesombongan mereka kepada kaum yang lainya.

Paska Islamisasi, tema ini benar-benar dihapus dalam sya’ir Islam, karena nilai yang dibawa sudah keluar dari dasar-dasar ajaran Islam yang menyama ratakan berbagai komunitas dan qabilah serta perintah untuk bersatu.


- Madh (pujian).

Tema pujian sangat berkembang dalam sya’ir pra Islam apalagi dalam komunitas ‘abidusy syi’ri, yaitu komunitas yang menggunakan sya’ir sebagai mata pencariannya, komunitas ini melantunkan sya’ir yang bertemakan pujian kepada para petinggi qabilah, sehingga sebagai timbal baliknya, para petingggi qabilah ini memberikan uang.

Paska Islamisai, tema pujian masih ada, namun pujian yang diperbolehkan adalah pujian yang jujur, bukan pujian yang bohong, seperti banyak dilakukan oleh komunitas penya’ir pra Islam.

- Haja (penghinaan).

Fanatisme terhadap qabilah menjadi darah dalam masyarakat pra Islam, maka tidak heran jika tema penghinaan banyak dipakai para penya’ir pra Islam untuk menhinakan i yang menjadi musuh mereka.

Paska Islamisasi, tema ini tidak lagi dipakai karena Islam melarang kepada pengikutnya untuk menghina sesamanya.


Tema-tema sya’ir yang dibawa oleh Islam.

- Tauhid.
Tema ini banyak diusung dalam sya’ir paska Islamisasi dan tema ini juga tema baru yang dibawa oleh Islam dalam sya’ir Arab karena Islam menyeru kepada ketauhidan.

- Akhlak mulia.

Islam datang mengkoreksi dan mereformasi akhlak Arab menjadi lebih baik, maka seruan ini juga banyak dilantunkan para penya’ir dan menjadi tema sya’ir baru yang dibawa Islam.

- Jihad di Jalan Allah.

Kebutuhan mempertahankan diri ketika awal-awal Islam berkembang menjadi faktor jihad di jalan Allah dengan berperang sangat dibutuhkan, maka wajar saja jika para penya’ir memberi semangat dalam berjihad lewat sya’ir-sya’ir mereka.


Sumber :

1. Atsarul Islam fisy Sy’iri fil ‘ashrir Rosul wal khulafa’u Rosyidin. DR Sayyid ‘Abdul Qadir.
2. Al Adab Al Islami fi ‘Ashrihi; awwal. Prif DR Sholahuddin Muhammad ‘Abdut Tawwab.
3. ‘Ijaazul Qur’an. Imam Al Baaqalaanii.
4. Al Aghanii. Imam Abil Faraj Al Ashbahanii.
5. Al Bayan wa Tabyiin. Imam jaahizh.
6. Dirosat fil Adab al ‘Arabii. Prof DR Thoohir ‘Abdul Latif.
Read more »

MENJAGA EKISTENSI AL-QUR’AN

No. 19, 24 Muharram 1432 H/ 30 Desember 2010 M

MENJAGA EKISTENSI AL-QUR’AN
Oleh: Muhammad Kholil
(Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo Mesir)

Al-Qur'an merupakan kitab suci umat Islam, dalam memahami teks al-Qur’an itu sendiri, terdapat beberapa disiplin ilmu serta metode yang dapat digunakan. dimana, metode itulah yang menjadi salah satu tolak ukur diterima atau tidaknya penafsiran al-Qur’an baik secara makna maupun lafaz.


Untuk menafsirkan Al-Qur’an, para ulama tafsir telah menetapkan syarat-syarat tertentu. Sehingga, tidak setiap orang bisa dan berhak untuk melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an. Karena, walaupun susunan al-Qur’an menggunakan bahasa arab, dan secara makna bisa dimengerti oleh setiap orang arab dan orang yang belajar bahasa arab dengan akalnya, namun hal tersebut belumlah cukup untuk bisa diterima. Oleh sebab itu, apabila seseorang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya saja, tanpa melihat syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama tafsir, tentunya akan sangat berpotensi melakukan kesalahan dalam memaknai suatu ayat. Hal ini dipertegas dengan hadist Nabi Saw "Man qāla fī kitābillāhi ta'ālā bi ra'yihi fa ashāba faqad akhtha'a" ( HR Abu Daud dan Termidzi).

Setiap disiplin ilmu mempunyai prosedur dan metodologi yang digunakan dalam meneliti objek yang akan dikajinya, tak terkecuali dengan ilmu tafsir, dimana kedudukannya merupakan sebagai penjelas dari maksud kalamullah. sehingga tidak berhak bagi setiap orang untuk menafsirkan teks al-Qur’an tersebut tanpa memperhatikan syarat-syarat yang telah ditentukan tersebut, kecuali dengan melalui prosedur yang telah ditempuh oleh para mufassir mu’tamad dalam menafsirkan al-Qur’an, adapun prosedur yang harus dilalui oleh seorang mufassir adalah:
a. Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an
b. Tafsir al-Qur’an bi al-hadits
c. Tafsir al-Qur’an bi aqwali as-shahabah
d. Tafsir al-Qur’an bi aqwali at-tabi'in
e. Tafsir Al-Qur’an bi al-ra'yi

Jumhur ulama telah sepakat dengan lima prosedur di atas, walaupun tentunya, ada beberapa ulama yang menyayangkan legalitas tafsīr bil ra'yi. Akan tetapi, pendapat jumhur lebih kuat, dengan catatan apabila tafsīr bi al-ra'yi tersebut tidak bertentangan dengan nash-nash yang sharih dan hadits yang shahih.

Setelah seseorang mengetahui prosedur serta metodologi dalam penafsiran Al-Qur’an, maka bagi seorang mufassir harus mengeksplorasikan lima hal ini secara berurutan dalam rangka mencari makna dari suatu ayat. artinya, tidak dibolehkan bagi seseorang menafsirkan satu ayat Al-Qur’an dengan langsung menggunakan al-ra'yu (akalnya) tanpa berusaha mencari maknanya terlebih dahulu di ayat lainnya. Kemudian jika tidak didapatkan, mencarinya di hadist Nabi, aqwal sahabat dan seterusnya.

Deviasi (penyimpangan) penafsiran Al-Qur’an di masa duhulu dan sekarang.

Setelah meninggalnya Rasulullah SAW., riak- riak perpecahan umat Islam semakin menjadi. Tepatnya pada abad ke-2 H dengan munculnya beberapa kelompok Islam, baik perpecahan yang bersifat aqidah, maupun yang diakibatkan oleh nafsu politik. Hal inilah yang menjadi faktor terjadinya deviasi dalam penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan oleh golongan Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah dan lain sebagainya. Fakta ini, masih bisa kita rasakan sampai saat ini dengan banyaknya hadits maudhu’ (Hadits Palsu), sehingga mengakibatkan penafsiran al-Qur’an yang serampangan. Mereka berusaha mati-matian menjadikan al-Qur’an dan hadits sebagai alat memperkuat ideologi pemikirannya, sehingga banyak menimbulkan keresahan umat pada saat itu.

Dewasa ini, kita juga banyak mendapatkan penafsiran al-Qur’an yang jauh dari nilai-nilai agama yang murni, namun mengarah kepada kesesatan yang nyata, yang di lancarkan oleh sekelompok yang menamakan dirinya JIL (Jaringan Islam Liberal) atau dari kelompok ekstrim yang memahami Al-Qur’an dan hadits secara harfiyah tanpa melihat syarah serta pendapat para jumhur ulama terlebih dahulu. Hal ini merupakan cerminan keadaan umat Islam zaman dahulu yang banyak melakukan deviasi penafsiran Al-Qur’an dan hadist untuk menguatkan madzhab mereka masing-masing. Walaupun, argument mereka dalam menafsirkan al-Qur’an tersebut telah banyak terbantahkan oleh hadits shahih dan dari segi bahasa arab itu sendiri. Misalnya saja, Sekte Mu’tazilah dalam menafsirkan surat al-Qiyamah ayat 23, mereka dalam mengartikan lafad nadzirah dengan makna "menunggu" tidak dengan makna "melihat". Hal ini di ungkapkan oleh Doktor Muhamad Husein adz-Dzahabi dalam kitabnya at-Tafsīr Wa al-Mufassirūn. Kemudian pendapat Mu’tazilah tersebut, di bantah juga oleh al-imam al-Qurthubi, beliau mengatakan, bahwa nadzirah ila dalam bahasa arab hanya berarti "melihat kepada sesuatu”. Ditambah dalil dari hadist-hadits Nabi SAW. Yang shahih dan aqwal sahabat yang mengatakan bahwa "melihat Allah swt di surga itu benar". Meski demikian, Mu’tazilah bersikeras bahwa Allah swt tidak mungkin bisa dilihat di surga, seraya mengklaim bahwa hadist-hadist yang menyebutkan ru'yatullah adalah lemah. Hal ini tidaklah aneh apabila kita melihat dan menelusuri metode pengambilan hukum mereka yang menempatkan akal di atas segala-galanya, walaupun hal tersebut bertentangan dengan nash qath'i.

Berbeda dengan sekte Mu’tazilah, Sekte Khawarij memiliki corak penafsiran yang berbeda. Tentang orang yang berbuat dosa besar misalnya, mereka berpendapat bahwa “seseorang yang melakukan dosa besar pasti akan masuk neraka”. pendapat tersebut, mereka cocokkan dengan merujuk kepada surat at-Taghabun ayat 2. Mereka memaknai secara harfiyah tanpa melihat permasalahan secara komprehensif, dengan melihat ayat-ayat lain yang berbicara dalam hal ini atau melihat hadist dan aqwal sahabat tentang ayat tersebut. Sehingga, dengan melihat dalil-dalil secara utuh dan tidak parsial, mereka tidak akan gegabah mengklaim orang yang fasik itu termasuk golongan orang kafir, yang pasti akan masuk neraka.

Seperti itulah gambaran deviasi penafsiran Al-Qur’an pada zaman itu, semuanya itu bermuara pada latar belakang seorang mufassir. Jika ia seorang mufassir dari sekte Mu’tazilah, maka ia akan mengedepankan akal dalam menafsirkan Al-Qur’an dan berusaha mewarnai pentafsirannya dengan pola pikir mazhab yang dianautnya. Begitu juga, apabila seorang mufassir berideologikan Khawariz atau bahkan Syiah, tentunya mereka akan menggunakan metodologi penafsiran dari kelompok mazhab mereka masing-masing .


Adapun pada masa kini, hanya ada beberapa model baru dalam deviasi penafsiran Al-Qur’an. Dan yang selebihnya adalah hanya pengulangan masa lalu. Menurut hemat penulis, penafsiran Al-Qur’an yang menyimpang beberapa dekade belakangan ini, yang lebih berlandaskan atas issue-issue seperti Pluarisme Agama, Sekularisme dan Liberalisme bermuara dan berkumpul pada satu metode yaitu Hermeneutika.

Lalu ada apa dengan hermeneutika sehingga keberadaannya sangat berbahaya sekali apabila di gunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an? hermenetika adalah suatu metode penafsiran kaum Nasrani dalam mengkaji dan memahami Bible. Hal ini tentu sangat disayangkan, apabila pemahaman hermeneutika ini diaplikasihkan kedalam penafsiran Al-Qur’an yang sudah barang tentu akan senantiasa berseberangan. karena al-Qur’an telah mempunyai metode penafsiran tersendiri yang sudah mapan, seperti yang sudah penulis paparkan diataas. Namun apabila metode hermeneutika tetap di paksakan untuk menafsirkan Al-Qur’an, tentunya kita akan menyamakan Al-Qur’an dengan Bible yang sudah mengalami banyak tahrif (perubahan yang disebabkan oleh tangan-tangan manusia ). Hal ini tentu sangat berbahaya sekali, sebagaimana telah di ungkapkan oleh Prof. DR. Mudjia Raharjo dalam bukunya, Dasar-dasar Hermeneutika. Beliau mangatakan “menggunakan hermeneutika pada Al-Qur’an bisa berimplikasi mensejajarkan al-Qur’an dengan teks-teks buatan manusia yang terbatas”. Kemudian Prof. DR. Hamadi B. Husein dalam bukunya, Dekonstruksi Pemikiran Islam Liberal, Beliau mengatakan: “Secara umum, hermeneutika mempunyai 4 tahapan pendekatan dalam menafsirkan suatu teks yaitu :
1. Mencoba mengenali diri penafsir dengan segala latar belakang sosiologis, psikologis dan kultural, agar bisa meminimalisasi subyektivitas penafsir.
2. Melihatnya secara historis dan kontekstual.
3. Mencari esensi-esensi nya.
4. Menyesuaikan dengan tantangan zaman.”

Secara kasat mata, 4 tahapan di atas memang cukup menjanjikan. Namun setelah kita mlihat penafsiran yang dihasilkan oleh metode ini, kita tentunya akan merasa aneh, metode ini menghasilkan penafsiran yang salah. Misalnya kaum liberal yang begitu antusias sekali dengan penafsiran metode ini beranggapan bahwa, minuman keras (khamr) tidak lagi haram untuk saat ini, apalagi bagi daerah-daerah yang beriklim dingin, dengan alasan bahwa jazirah Arab beriklim panas. Padahal jelas, bahwa di arab juga ada saatnya beriklim dingin yang jatuh pada bulan desember s/d maret. Contoh lain dari penafsiran alqur’an yang terbaru adalah disertasi Abdul Muqsith di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Argumen Pluralisme Agama”. Dalam disertasi ini, menurut hemat penulis, Muqsith terlalu sembrono dalam menafsirkan haramnya pernikahan muslimah dengan orang musyrik pada surat al- Baqarah ayat 221 adalah bersifat politis, yaitu bahwa pada saat itu kaum musyrikin selalu menyerang Nabi Saw, dan para pengikutnya. Maka pada saat ketegangan antara umat Islam dan kaum musyrik telah berakhir, bisa saja konsekuensi hukum yang melarang umat Islam menikah dengan orang musyrik bisa berubah menjadi diperbolehkan.

Inilah cerminan orang-orang yang kurang mumpuni dalam memahami ilmu Al-Qur’an dan hadist yang shahih, sehingga jatuh kepada kehinaan dan masuk kepada jurang api neraka jahanam, atau mereka melakukan hal tersebut karena ada dorongan dalam dirinya yang menginginkan legalitas pluralisme agama dengan mengganti hukum-hukum Allah Swt dengan hokum-hukum manusia (HAM)

Referensi:

At-Tafsir wa al-Mufassirun
Sahih Bukhari
Ad-Dakhil fi at-Tafsir, Dr. Ibrahim Khalifah
Prof. DR. Mudjia Raharjo dalam bukunya "Dasar-dasar Hermeneutika
Prof. DR. Hamadi B. Husein dalam bukunya " Dekonstruksi Pemikiran Islam Liberal
Read more »