Ahlan Wasahlan wa Marhaban Biziyaaratikum.. Selamat Membaca dan Menikmati Sajian dari kami.. :)..
Penasihat : Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam | Pemimpin Umum : Joko Waluyo, S.Pd.I | Pemimpin Redaksi :Devi Muharrom Sholahuddin, Lc. | Wakil Pemimpin Redaksi : Muhammad Sendi Sayyina, S.Pd.I | Dewan Redaksi : Ali Nurdin, M.S.I, Asep Deni Fitriansyah, M.Phil., Asep Ali Rosyadi, S.Ag., Asep Roni Hermansyah, S.Pd.I, Ajat Syarif Hidayatullah, S.Pd.I Al-Hafidz | Distributor : Munir Hermansyah, S.Pd.I, Egi Mulyana, S.Pd.I, Acep Mutawakkil | Dapur Redaksi : Gedung Perpustakaan Pondok Pesantren Darussalam Sindang Sari Kersamanah Garut Indonesia 087758202070 | Risalah Ilmiah FIGUR Darussalam diterbitkan oleh Forum Ilmiah Guru (FIGUR) Pondok Pesantren Darussalam, terbit seminggu sekali, Redaksi menerima tulisan dari berbagai kalangan dan berhak untuk mengeditnya tanpa merubah maksud dan isi tulisan | Kritik dan saran silahkan hubungi redaksi via surat, telepon atau email (figur-darussalam@yahoo.com)

Kamis, 31 Maret 2011

WAJAH ATEIS BERKEDOK PLURALIS

No. 22, 15 Shafar 1432 H/ 20 Januari 2011 M


WAJAH ATEIS BERKEDOK PLURALIS
Oleh: Muhammad Ihsan, S.H.I.
(Peserta PKU ISID Gontor Angkatan Ke-4

Jika Anda memasuki dunia kampus (Perguruan Tinggi) di Negeri ini. Telinga Anda akan akrab dengan istilah kebenaran objektif dan kebenaran subjektif. Menarik untuk dikaji bahwa hampir di setiap perguruan tinggi, mahasiswa dan dosen seolah ditekankan untuk selalu berpikir objektif baik dalam menganalisa maupun dalam mengkritisi sesuatu, dan sebisa mungkin untuk menghindari subjektivitas pemikiran. Tak ketinggalan, berbagai perguruan tinggi Islam pun menyuarakan hal yang sama: selalu berpikir objektif. Terlebih dalam menghadapi problem keagamaan. Indonesia yang sedari dulu mempunyai pluralitas agama yang begitu beragam dengan berbagai aliran kepercayaannya, seolah tak pernah luput dari pola pikir “bagaimana seharusnya kita lakukan dalam menghadapi pluralitas agama ini, harus objektifkah? Atau subjektif?”. Lalu apa yang salah dengan pola berpikir objektif maupun subjektif? Apa yang sebenarnya hendak dicapai oleh pola berpikir yang demikian? Berikut sekelumit tulisan, semoga menjadi sarana dalam mendapatkan petunjuk tentang suatu kebenaran.

Membahas objektivitas-subjektivitas kebenaran sebenarnya membutuhkan sebuah kajian kritis tersendiri yang tidak mungkin selesai hanya dengan selembar dua lembar kertas ini. Kajian kritis dan mendalam mutlak dibutuhkan dalam hal ini, mengingat objektivitas-subjektivitas berpikir adalah bahasan menyangkut cara, bagaimana kita mendapatkan suatu kebenaran berpikir, atau yang dalam istilah akademis disebut dengan epistemologi.

Namun demikian, dalam bahasa sederhana, berpikir objektif adalah cara seseorang (sebagai subjek) memikirkan tentang sesuatu (objek), di mana antara subjek dan objek tersebut tidak ada ikatan apapun yang dapat mempengaruhi hasil dari cara berpikirnya. Sehingga hasilnya adalah pure secara natural pandangan subjek berdasarkan ilmu-ilmu yang didapatnya terhadap objek tersebut, tanpa ada tendensi baik atau buruk, positif atau negatif. Dalam beberapa hal, cara berpikir ini memang dibutuhkan. Misalnya, bagi seorang hakim yang akan memutuskan suatu perkara, kondisi netral atau normal mutlak diperlukan. Hakim tidak dibebani suatu tekanan emosi baik berupa perasaan senang, sedih, maupun marah, yang dapat mempengaruhi hasil putusannya. Akan tetapi, sulit ditemukan sebuah pemikiran yang pure, terbebas dari sebuah kecenderungan. Inilah yang sebenarnya menjadi persoalan dalam cara berpikir objektif, bahwa hampir bisa dipastikan, seorang peneliti tidak akan bisa menggunakan cara berpikir objektif dalam mengkaji atau meneliti suatu persoalan.

Adapun cara berpikir subjektif adalah cara berpikir yang dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman yang dipedomani sejak sebelumnya, atau bisa disebut sebagai cara berpikir dalam kacamata atau framework tertentu. Contoh, mengenai hal yang selalu menarik untuk diperbincangkan, yaitu perbuatan mencintai. Adakalanya subjek mencintai objek karena pandangan subjektifnya tentang objek, yang berupa respon subjek terhadap aksi maupun kondisi dari si objek. Seseorang mencintai barang miliknya karena bagusnya atau kegunaannya, seseorang mencintai pasangannya karena sikap atau sifat yang dimiliki oleh pasangannya, itu tergantung subjektivitas masing-masing. Adakalanya menurut seseorang bahwa sesuatu itu bagus untuk dimiliki, belum tentu demikian menurut orang lain, itu dikarenakan masing-masing memiliki subjektivitas penilaian yang berbeda-beda. Jadi, subjektivitas itu sebenarnya penilaian subjek terhadap objek dalam segala seginya yang beraneka ragam.

Lalu apa hubungannya dengan pluralisme agama? Sebagaimana telah saya tulis dalam Figur edisi yang lalu (No. 11/28 Dzulqa’dah 1431 H/5 Nopember 2010), bahwa paham relativisme agama akan selalu digembar-gemborkan sebagai upaya menciptakan keraguan kaum muslim dalam meyakini agamanya. Ironisnya, upaya ini tidak lagi dilakukan oleh kaum orientalis-misionaris, melainkan dilakukan oleh kaum cendikiawan muslim sendiri yang entah sadar atau tidak, telah digelincirkan pemikirannya ke dalam pemahaman yang demikian menyimpang.
Adapun para orientalis barangkali hanya menyeringai senang, karena dia tidak usah bersusah payah meyakinkan kaum muslim untuk meragukan agamanya, karena toh kata-kata manis namun menipunya itu telah bisa diungkap dan disebarkan secara fasih oleh orang-orang yang dianggap sebagai kaum intelektual muslim.

Muatan dalam relativisme agama yang menjadi pemicu lahirnya pluralisme agama sebenarnya hanya berkutat pada dua hal saja, yakni objektivitas dan subjektivitas pandangan terhadap agama. Pandangan ini menghendaki seseorang yang beragama, yang ingin mengetahui kebenaran agamanya, agar melepas segala atribut keagamaannya untuk bisa melihat agama yang diyakininya dari luar agama tersebut. Sehingga dengan begitu, seseorang akan menjadi objektif dalam memandang agamanya. Dia akan menemukan bahwa kebenaran, kebaikan, dan sikap menghargai nilai-nilai kemanusiaan tidak hanya dimiliki oleh agamanya, karena agama lain pun memiliki nilai yang sama. Dengan begitu, dia akan menganggap agamanya sejajar, sama dan memiliki satu kebenaran yang sama dengan agama lain, inilah yang disebut sebagai pluralisme agama. Adapun orang yang memandang agama dari dalam, yakni dari agama yang dipeluknya saja, dianggapnya subjektif, egois, fanatis, pemicu konflik dan tidak toleran terhadap agama dan pemeluk agama lain. Konkritnya, pada satu dasawarsa kemarin, gencar sekali kelompok yang menamakan diri sebagai kaum liberal dalam mempropagandakan relativitas kebenaran agama-agama. Sebut saja satu kelompok liberal dari kalangan umat muslim, yang dikenal dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). JIL mengatakan untuk bisa melihat Islam secara objektif, maka kita harus melepas dulu status sebagai muslim, -artinya kita harus keluar dari Islam- dengan anggapan bahwa ketika melihat Islam dengan posisi tidak Islam lagi, maka kita bisa melihat Islam secara objektif.

Masalahnya, objektivitas pandangan yang dimaksud oleh mereka tidaklah seperti yang diungkapkan dalam definisi sederhana di atas, karena memang sulit untuk melakukan objektivitas yang demikian. Apakah setelah kita melepas status keislaman, kita akan benar-benar dalam kondisi netral, kosong dari asumsi dan prasangka tentang Islam? Jawabannya tentu tidak. Sebagaimana disebut di muka, kita tidak akan bisa terlepas dari sudut pandang mana kita beranjak dalam memandang sesuatu. Bulend Senay dalam makalah resensinya sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Anis Malik Toha mengatakan:
“metode-metode pendekatan yang berbeda pada dasarnya ingin mencapai tujuan-tujuan yang berbeda. Tentu saja hal ini tidak selalu berkonotasi negatif, tapi setiap orang tidak boleh lupa bahwa setiap metodologi adalah value-oriented. Apa yang sejatinya ingin kami jelaskan adalah bahwa ‘mitos kajian agama yang bebas dari nilai-nilai subjektif’, sebagaimana juga akarnya, adalah sarana yang dilakukan pandangan hidup sekular (secular worldview) untuk menghapus atau menyelesaikan konflik yang terjadi antara dua tradisi yang begitu asasi: sekular (yang hanya tunduk pada supremasi akal) dan religius (yang tunduk pertama, pada supremasi iman, dan kedua pada akal)”.

Dari pendapat di atas jelas, bahwa siapa pun tidak bisa terlepas dari sudut pandang (subjektivitas, atau worldview) dalam melihat fenomena apapun termasuk agama. Termasuk mereka yang menganggap dirinya objektif dalam melihat realita agama. Benar mereka telah keluar dari kungkungan subjektivitas/worldview agama, dalam hal ini Islam, tapi dengan begitu, tidak menjadikan mereka objektif dalam memandang agama, melainkan masuk dalam perangkap subjektivitas sekular, atau dalam istilah Senay disebut worldview sekular, yakni cara pandang yang menyisihkan agama dari kehidupan.

Jika worldview sekular telah merasuki seseorang, lalu dengannya orang lantas tidak membutuhkan agama lagi.Maka apa namanya jika tidak disebut sebagai ateis? Mereka menggembar-gemborkan isu demokrasi, HAM, emansipasi wanita, dan lain sebagainya, tapi apa gunanya jika tidak beragama dan ber-Tuhan? Mereka mencampur semua ajaran agama dengan dalih semua agama adalah sama. Awalnya memang terdengar indah, tetapi akhirnya mengarah kepada ateisme. Tentu saja bagi mereka semua agama adalah sama karena bagi mereka agama itu sama-sama tidak ada. Bagi mereka, semua agama sama konyolnya. Dalam realitanya, tidak ada sikap menghargai agama yang selalu mereka elu-elukan, karena menyama-nyamakan agama seperti yang mereka lakukan saat ini bukanlah sebuah penghargaan, tapi penghinaan.

Lucunya, ajaran dan kitab suci mereka adalah gabungan dari semua ajaran agama. Padahal sudah jelas agama-agama berbeda secara doktrin dan masing-masing berhak mengklaim kebenaran agama masing-masing, terlebih di Indonesia, hal itu dijamin dalam Undang-Undang. Mereka menyuguhkan sebuah parodi tentang kebingungan mereka, dengan melarang pengklaiman kebenaran dari agama di satu sisi. Namun di sisi lain, memaksakan paham mereka untuk diterima. Mereka memakai standar ganda.

Lucunya lagi, mereka mengklaim “doktrin baru” mereka (liberalisme, sekularisme, pluralisme, relativisme, dan ateisme) tersebut sebagai kebenaran mutlak di saat mereka sendiri menolak agama untuk mengklaim kebenaran agama masing-masing. Standar ganda lagi yang dipakai oleh mereka. Alasannya karena jika masing-masing agama mengklaim ajarannya benar, maka inilah yang menjadi akar perpecahan bangsa dan perpecahan dunia. Padahal pemicu konflik sebenarnya adalah mereka yang berani mengkonfrontasikan keyakinan yang berbeda-beda di satu pihak, dan di pihak lain memaksa umat untuk menyatukan agama-agama. Untuk apa ada konsep toleransi atas perbedaan, kalau perbedaan itu berusaha untuk dihilangkan. Perbedaan, layaknya persamaan bukan untuk dihilangkan. Karena perbedaan itu pasangan dari persamaan. Jadi untuk mencari kerukunan hidup, tidak dengan menyama-nyamakan prinsip hidup yang secara kodrati berbeda. Tapi perbedaan itu dijaga dengan saling menunjukkan sikap toleran dan saling menghormati.

Maka yang terpenting sekarang adalah menganut agama secara proporsional, Islam mengajarkan kita untuk menjadi ummat wasath, artinya posisinya jelas sebagai penengah. Tidak mengarah ke fanatisme sempit, ateisme, ataupun indiferentisme (apatis, tidak peduli). Islam diwahyukan secara murni untuk dipeluk oleh orang-orang yang ikhlas menghamba kepada Allah. Li ya’budu-llah mukhlishin lahuddin. Wallahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar