Ahlan Wasahlan wa Marhaban Biziyaaratikum.. Selamat Membaca dan Menikmati Sajian dari kami.. :)..
Penasihat : Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam | Pemimpin Umum : Joko Waluyo, S.Pd.I | Pemimpin Redaksi :Devi Muharrom Sholahuddin, Lc. | Wakil Pemimpin Redaksi : Muhammad Sendi Sayyina, S.Pd.I | Dewan Redaksi : Ali Nurdin, M.S.I, Asep Deni Fitriansyah, M.Phil., Asep Ali Rosyadi, S.Ag., Asep Roni Hermansyah, S.Pd.I, Ajat Syarif Hidayatullah, S.Pd.I Al-Hafidz | Distributor : Munir Hermansyah, S.Pd.I, Egi Mulyana, S.Pd.I, Acep Mutawakkil | Dapur Redaksi : Gedung Perpustakaan Pondok Pesantren Darussalam Sindang Sari Kersamanah Garut Indonesia 087758202070 | Risalah Ilmiah FIGUR Darussalam diterbitkan oleh Forum Ilmiah Guru (FIGUR) Pondok Pesantren Darussalam, terbit seminggu sekali, Redaksi menerima tulisan dari berbagai kalangan dan berhak untuk mengeditnya tanpa merubah maksud dan isi tulisan | Kritik dan saran silahkan hubungi redaksi via surat, telepon atau email (figur-darussalam@yahoo.com)

Kamis, 31 Maret 2011

MENJAGA EKISTENSI AL-QUR’AN

No. 19, 24 Muharram 1432 H/ 30 Desember 2010 M

MENJAGA EKISTENSI AL-QUR’AN
Oleh: Muhammad Kholil
(Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo Mesir)

Al-Qur'an merupakan kitab suci umat Islam, dalam memahami teks al-Qur’an itu sendiri, terdapat beberapa disiplin ilmu serta metode yang dapat digunakan. dimana, metode itulah yang menjadi salah satu tolak ukur diterima atau tidaknya penafsiran al-Qur’an baik secara makna maupun lafaz.


Untuk menafsirkan Al-Qur’an, para ulama tafsir telah menetapkan syarat-syarat tertentu. Sehingga, tidak setiap orang bisa dan berhak untuk melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an. Karena, walaupun susunan al-Qur’an menggunakan bahasa arab, dan secara makna bisa dimengerti oleh setiap orang arab dan orang yang belajar bahasa arab dengan akalnya, namun hal tersebut belumlah cukup untuk bisa diterima. Oleh sebab itu, apabila seseorang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya saja, tanpa melihat syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama tafsir, tentunya akan sangat berpotensi melakukan kesalahan dalam memaknai suatu ayat. Hal ini dipertegas dengan hadist Nabi Saw "Man qāla fī kitābillāhi ta'ālā bi ra'yihi fa ashāba faqad akhtha'a" ( HR Abu Daud dan Termidzi).

Setiap disiplin ilmu mempunyai prosedur dan metodologi yang digunakan dalam meneliti objek yang akan dikajinya, tak terkecuali dengan ilmu tafsir, dimana kedudukannya merupakan sebagai penjelas dari maksud kalamullah. sehingga tidak berhak bagi setiap orang untuk menafsirkan teks al-Qur’an tersebut tanpa memperhatikan syarat-syarat yang telah ditentukan tersebut, kecuali dengan melalui prosedur yang telah ditempuh oleh para mufassir mu’tamad dalam menafsirkan al-Qur’an, adapun prosedur yang harus dilalui oleh seorang mufassir adalah:
a. Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an
b. Tafsir al-Qur’an bi al-hadits
c. Tafsir al-Qur’an bi aqwali as-shahabah
d. Tafsir al-Qur’an bi aqwali at-tabi'in
e. Tafsir Al-Qur’an bi al-ra'yi

Jumhur ulama telah sepakat dengan lima prosedur di atas, walaupun tentunya, ada beberapa ulama yang menyayangkan legalitas tafsīr bil ra'yi. Akan tetapi, pendapat jumhur lebih kuat, dengan catatan apabila tafsīr bi al-ra'yi tersebut tidak bertentangan dengan nash-nash yang sharih dan hadits yang shahih.

Setelah seseorang mengetahui prosedur serta metodologi dalam penafsiran Al-Qur’an, maka bagi seorang mufassir harus mengeksplorasikan lima hal ini secara berurutan dalam rangka mencari makna dari suatu ayat. artinya, tidak dibolehkan bagi seseorang menafsirkan satu ayat Al-Qur’an dengan langsung menggunakan al-ra'yu (akalnya) tanpa berusaha mencari maknanya terlebih dahulu di ayat lainnya. Kemudian jika tidak didapatkan, mencarinya di hadist Nabi, aqwal sahabat dan seterusnya.

Deviasi (penyimpangan) penafsiran Al-Qur’an di masa duhulu dan sekarang.

Setelah meninggalnya Rasulullah SAW., riak- riak perpecahan umat Islam semakin menjadi. Tepatnya pada abad ke-2 H dengan munculnya beberapa kelompok Islam, baik perpecahan yang bersifat aqidah, maupun yang diakibatkan oleh nafsu politik. Hal inilah yang menjadi faktor terjadinya deviasi dalam penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan oleh golongan Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah dan lain sebagainya. Fakta ini, masih bisa kita rasakan sampai saat ini dengan banyaknya hadits maudhu’ (Hadits Palsu), sehingga mengakibatkan penafsiran al-Qur’an yang serampangan. Mereka berusaha mati-matian menjadikan al-Qur’an dan hadits sebagai alat memperkuat ideologi pemikirannya, sehingga banyak menimbulkan keresahan umat pada saat itu.

Dewasa ini, kita juga banyak mendapatkan penafsiran al-Qur’an yang jauh dari nilai-nilai agama yang murni, namun mengarah kepada kesesatan yang nyata, yang di lancarkan oleh sekelompok yang menamakan dirinya JIL (Jaringan Islam Liberal) atau dari kelompok ekstrim yang memahami Al-Qur’an dan hadits secara harfiyah tanpa melihat syarah serta pendapat para jumhur ulama terlebih dahulu. Hal ini merupakan cerminan keadaan umat Islam zaman dahulu yang banyak melakukan deviasi penafsiran Al-Qur’an dan hadist untuk menguatkan madzhab mereka masing-masing. Walaupun, argument mereka dalam menafsirkan al-Qur’an tersebut telah banyak terbantahkan oleh hadits shahih dan dari segi bahasa arab itu sendiri. Misalnya saja, Sekte Mu’tazilah dalam menafsirkan surat al-Qiyamah ayat 23, mereka dalam mengartikan lafad nadzirah dengan makna "menunggu" tidak dengan makna "melihat". Hal ini di ungkapkan oleh Doktor Muhamad Husein adz-Dzahabi dalam kitabnya at-Tafsīr Wa al-Mufassirūn. Kemudian pendapat Mu’tazilah tersebut, di bantah juga oleh al-imam al-Qurthubi, beliau mengatakan, bahwa nadzirah ila dalam bahasa arab hanya berarti "melihat kepada sesuatu”. Ditambah dalil dari hadist-hadits Nabi SAW. Yang shahih dan aqwal sahabat yang mengatakan bahwa "melihat Allah swt di surga itu benar". Meski demikian, Mu’tazilah bersikeras bahwa Allah swt tidak mungkin bisa dilihat di surga, seraya mengklaim bahwa hadist-hadist yang menyebutkan ru'yatullah adalah lemah. Hal ini tidaklah aneh apabila kita melihat dan menelusuri metode pengambilan hukum mereka yang menempatkan akal di atas segala-galanya, walaupun hal tersebut bertentangan dengan nash qath'i.

Berbeda dengan sekte Mu’tazilah, Sekte Khawarij memiliki corak penafsiran yang berbeda. Tentang orang yang berbuat dosa besar misalnya, mereka berpendapat bahwa “seseorang yang melakukan dosa besar pasti akan masuk neraka”. pendapat tersebut, mereka cocokkan dengan merujuk kepada surat at-Taghabun ayat 2. Mereka memaknai secara harfiyah tanpa melihat permasalahan secara komprehensif, dengan melihat ayat-ayat lain yang berbicara dalam hal ini atau melihat hadist dan aqwal sahabat tentang ayat tersebut. Sehingga, dengan melihat dalil-dalil secara utuh dan tidak parsial, mereka tidak akan gegabah mengklaim orang yang fasik itu termasuk golongan orang kafir, yang pasti akan masuk neraka.

Seperti itulah gambaran deviasi penafsiran Al-Qur’an pada zaman itu, semuanya itu bermuara pada latar belakang seorang mufassir. Jika ia seorang mufassir dari sekte Mu’tazilah, maka ia akan mengedepankan akal dalam menafsirkan Al-Qur’an dan berusaha mewarnai pentafsirannya dengan pola pikir mazhab yang dianautnya. Begitu juga, apabila seorang mufassir berideologikan Khawariz atau bahkan Syiah, tentunya mereka akan menggunakan metodologi penafsiran dari kelompok mazhab mereka masing-masing .


Adapun pada masa kini, hanya ada beberapa model baru dalam deviasi penafsiran Al-Qur’an. Dan yang selebihnya adalah hanya pengulangan masa lalu. Menurut hemat penulis, penafsiran Al-Qur’an yang menyimpang beberapa dekade belakangan ini, yang lebih berlandaskan atas issue-issue seperti Pluarisme Agama, Sekularisme dan Liberalisme bermuara dan berkumpul pada satu metode yaitu Hermeneutika.

Lalu ada apa dengan hermeneutika sehingga keberadaannya sangat berbahaya sekali apabila di gunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an? hermenetika adalah suatu metode penafsiran kaum Nasrani dalam mengkaji dan memahami Bible. Hal ini tentu sangat disayangkan, apabila pemahaman hermeneutika ini diaplikasihkan kedalam penafsiran Al-Qur’an yang sudah barang tentu akan senantiasa berseberangan. karena al-Qur’an telah mempunyai metode penafsiran tersendiri yang sudah mapan, seperti yang sudah penulis paparkan diataas. Namun apabila metode hermeneutika tetap di paksakan untuk menafsirkan Al-Qur’an, tentunya kita akan menyamakan Al-Qur’an dengan Bible yang sudah mengalami banyak tahrif (perubahan yang disebabkan oleh tangan-tangan manusia ). Hal ini tentu sangat berbahaya sekali, sebagaimana telah di ungkapkan oleh Prof. DR. Mudjia Raharjo dalam bukunya, Dasar-dasar Hermeneutika. Beliau mangatakan “menggunakan hermeneutika pada Al-Qur’an bisa berimplikasi mensejajarkan al-Qur’an dengan teks-teks buatan manusia yang terbatas”. Kemudian Prof. DR. Hamadi B. Husein dalam bukunya, Dekonstruksi Pemikiran Islam Liberal, Beliau mengatakan: “Secara umum, hermeneutika mempunyai 4 tahapan pendekatan dalam menafsirkan suatu teks yaitu :
1. Mencoba mengenali diri penafsir dengan segala latar belakang sosiologis, psikologis dan kultural, agar bisa meminimalisasi subyektivitas penafsir.
2. Melihatnya secara historis dan kontekstual.
3. Mencari esensi-esensi nya.
4. Menyesuaikan dengan tantangan zaman.”

Secara kasat mata, 4 tahapan di atas memang cukup menjanjikan. Namun setelah kita mlihat penafsiran yang dihasilkan oleh metode ini, kita tentunya akan merasa aneh, metode ini menghasilkan penafsiran yang salah. Misalnya kaum liberal yang begitu antusias sekali dengan penafsiran metode ini beranggapan bahwa, minuman keras (khamr) tidak lagi haram untuk saat ini, apalagi bagi daerah-daerah yang beriklim dingin, dengan alasan bahwa jazirah Arab beriklim panas. Padahal jelas, bahwa di arab juga ada saatnya beriklim dingin yang jatuh pada bulan desember s/d maret. Contoh lain dari penafsiran alqur’an yang terbaru adalah disertasi Abdul Muqsith di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Argumen Pluralisme Agama”. Dalam disertasi ini, menurut hemat penulis, Muqsith terlalu sembrono dalam menafsirkan haramnya pernikahan muslimah dengan orang musyrik pada surat al- Baqarah ayat 221 adalah bersifat politis, yaitu bahwa pada saat itu kaum musyrikin selalu menyerang Nabi Saw, dan para pengikutnya. Maka pada saat ketegangan antara umat Islam dan kaum musyrik telah berakhir, bisa saja konsekuensi hukum yang melarang umat Islam menikah dengan orang musyrik bisa berubah menjadi diperbolehkan.

Inilah cerminan orang-orang yang kurang mumpuni dalam memahami ilmu Al-Qur’an dan hadist yang shahih, sehingga jatuh kepada kehinaan dan masuk kepada jurang api neraka jahanam, atau mereka melakukan hal tersebut karena ada dorongan dalam dirinya yang menginginkan legalitas pluralisme agama dengan mengganti hukum-hukum Allah Swt dengan hokum-hukum manusia (HAM)

Referensi:

At-Tafsir wa al-Mufassirun
Sahih Bukhari
Ad-Dakhil fi at-Tafsir, Dr. Ibrahim Khalifah
Prof. DR. Mudjia Raharjo dalam bukunya "Dasar-dasar Hermeneutika
Prof. DR. Hamadi B. Husein dalam bukunya " Dekonstruksi Pemikiran Islam Liberal

0 komentar:

Posting Komentar