Ahlan Wasahlan wa Marhaban Biziyaaratikum.. Selamat Membaca dan Menikmati Sajian dari kami.. :)..
Penasihat : Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam | Pemimpin Umum : Joko Waluyo, S.Pd.I | Pemimpin Redaksi :Devi Muharrom Sholahuddin, Lc. | Wakil Pemimpin Redaksi : Muhammad Sendi Sayyina, S.Pd.I | Dewan Redaksi : Ali Nurdin, M.S.I, Asep Deni Fitriansyah, M.Phil., Asep Ali Rosyadi, S.Ag., Asep Roni Hermansyah, S.Pd.I, Ajat Syarif Hidayatullah, S.Pd.I Al-Hafidz | Distributor : Munir Hermansyah, S.Pd.I, Egi Mulyana, S.Pd.I, Acep Mutawakkil | Dapur Redaksi : Gedung Perpustakaan Pondok Pesantren Darussalam Sindang Sari Kersamanah Garut Indonesia 087758202070 | Risalah Ilmiah FIGUR Darussalam diterbitkan oleh Forum Ilmiah Guru (FIGUR) Pondok Pesantren Darussalam, terbit seminggu sekali, Redaksi menerima tulisan dari berbagai kalangan dan berhak untuk mengeditnya tanpa merubah maksud dan isi tulisan | Kritik dan saran silahkan hubungi redaksi via surat, telepon atau email (figur-darussalam@yahoo.com)

Senin, 08 November 2010

MENYIKAPI PLURALITAS DAN PLURALISME AGAMA

No. 11

MENYIKAPI PLURALITAS DAN PLURALISME AGAMA
Oleh: Muhammad Ihsan, SHI.
(Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Angkatan Ke-IV ISID Gontor Ponorogo)


Kehidupan umat manusia dalam keragaman agama, budaya, etnis, dan bangsa dalam bermasyarakat dan bernegara di mana pun berada di dunia ini adalah suatu keniscayaan (QS: 49: 13). Lebih dari itu, pluralitas merupakan bagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah (QS: 30: 22). Tinggal bagaimana kita bersikap dalam menghadapi pluralitas ini.

Tercatat di dalam sejarah bahwa masyarakat Madinah di masa Rasulullah SAW terdiri atas berbagai macam suku dan agama. Namun keragaman suku dan agama tersebut tidak lantas menjadikan satu sama lain saling mempertunjukkan perbedaan apalagi pertentangan, yang terjadi justru tercipta sebuah kerukunan bermasyarakat dan sikap toleransi yang tinggi. Hal ini ditandai dengan terbentuknya sebuah konstitusi yang dideklarasikan dan ditandatangani oleh perwakilan-perwakilan dari berbagai suku dan penganut agama yang ada waktu itu. Konstitusi itulah yang kita kenal dengan Piagam Madinah. Dalam kerukunan kehidupan bermasyarakat yang sedemikian plural, mereka menikmati kebebasan untuk menganut agama dan beribadat menurut agamanya dengan damai.

Seperti halnya pada masa Rasulullah, masyarakat Indonesia juga hidup dalam pluralitas suku bangsa, ras, dan agama. Untuk mersepon kenyataan ini, pemerintah Indonesia mengambil sikap dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, yang artinya berbeda-beda tapi tetap satu jua. Akan tetapi, sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya 65 tahun lalu, impian untuk hidup berdampingan dengan damai antar pemeluk agama belum maksimal. Masih banyak rintangan untuk menjalankan keyakinannya masing-masing. Kebebasan dalam beragama masih saja mendapat intimidasi dari pemeluk agama lainnya. Kekerasan atas nama agama sering menjadi sorotan orang-orang liberal untuk mendeskriditkan kaum agamawan. Namun sebenarnya adalah manusiawi jika seorang penganut agama berkeyakinan bahwa ajaran agama yang dipercayainya sebagai satu-satunya yang benar. Setiap penganut agama berkeyakinan bahwa agamanyalah yang akan mengantarkan manusia ke dalam kehidupan yang bahagia. Tapi keyakinan akan hal tersebut tidak harus menimbulkan persengketaan yang mengakibatkan banyak kerugian.

Sikap fanatik beragama memang harus dimiliki setiap umat yang memegang teguh agamanya. Meyakini bahwa agama adalah ajaran yang haqq, the ultimate concern adalah sikap yang harus kita miliki sebagai umat beragama. Tanpa “kefanatikan” beragama ini, orang akan lantas menganggap semua agama adalah sama, kebenaran yang diyakini suatu agama adalah bersifat relatif karena kebenaran yang sama juga dimiliki oleh agama lain. Sehingga dengan mudahnya ia keluar masuk agama-agama yang dikehendakinya. Akan tetapi kefanatikan beragama ini pun jangan sampai merusak tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang plural dengan berbagai agama resmi dan aliran kepercayaan, dengan memaksakan kehendak diri terhadap orang lain yang tidak seagama dengan kita. Bukankah Allah SWT telah mengajarkan pada Nabi Muhammad SAW dalam (QS: 109: 6) tentang hal ini? Allah berfirman:

“untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”

Beragama tidak hanya kesadaran kognitif, tetapi juga keyakinan hati, pengamalan anggota badan, kecintaan ruhaniah, dan kehangatan kebersamaan dalam melaksanakan ritual keagamaan. Dan hendaknya aspek-aspek penghayatan kehidupan beragama ini diterapkan juga dalam setiap tingkah laku kita sebagai individu, di masyarakat, maupun dalam kehidupan bernegara.

Nilai-nilai dasar dan universalitas agama yang kita yakini ini hendaknya kita aplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Sikap toleran, saling menghormati, musyawarah, tolong menolong, gotong royong, ramah tamah yang juga menjadi kearifan bangsa Indonesia sejak zaman nenek moyang dulu hendaknya tidak luntur oleh perubahan zaman. Karena sikap-sikap inilah yang juga diwariskan oleh para Nabi pembawa risalah keagamaan, dari sejak diutusnya Adam AS. hingga disempurnakannya Islam dengan risalah Muhammadiyah.
Dalam kehidupan sosial, Islam mengajarkan kita untuk membangun tatanan kehidupan bermasyarakat yang baik, dengan bermu’amalah dan tolong menolong dengan sesama anggota masyarakat, tidak saja sebatas sesama kaum muslim, tapi juga dengan penganut agama lain (QS: 60: 8). Dengan demikian, pluralitas yang penuh kedamaian dalam segala segi kehidupan akan terpelihara jika kita mau menghargai dan bertoleransi dengan orang lain.

Akan tetapi sikap toleransi beragama memiliki rambu-rambu tersendiri dalam Islam. Islam mengatur sedemikian rupa kerukunan antar umat manusia dengan tidak mengabaikan aspek kemurnian akidah yang dianut oleh umat muslim. Sehingga tidak hanya esensi dari toleransi –yaitu terciptanya kehidupan masyarakat yang damai sejahtera– yang bisa diraih, tetapi juga keutuhan dan kemurnian akidah pun tetap terjaga. Karena berapa banyak di antara saudara-saudara muslim kita yang terbuai dengan apa yang diistilahkan dalam al-Qur’an sebagai zukhruf al qawl gururan “kata-kata yang indah namun menipu” (QS: 6: 112) yang dengan kata-kata itu mereka akhirnya terjerembab ke dalam paham yang membingungkan sikap keberagamaannya. Karena serangan yang dilancarkan oleh kaum orientalis saat ini tidak secara kontras terlihat oleh kasat mata, tidak pula dirasakan oleh hati, lalu dengan mudah kita menolaknya; melainkan merasuknya paham-paham menyesatkan itu bisa jadi secara halus meluncur dari mulut para cendikia muslim yang tidak menyadari bahwa dia telah terkontaminasi oleh pemikiran menyimpang yang disusupkan oleh kaum orientalis melalui kata-kata menipu itu. Misalnya saja, penyamarataan derajat manusia yang dalam hal ini muncul dengan konsep HAM (padahal yang sebenarnya adalah paham humanisme sekular), keyakinan bahwa semua agama adalah benar, sehingga kebenaran bersifat relatif dan tidak ada agama yang lebih benar dari yang lain (paham relativisme), atau semua agama adalah sama (pluralisme agama), yang semuanya merupakan propaganda Barat dan kaum orientalis agar umat muslim menjadi ragu bahkan mempertanyakan keyakinannya, hingga akhirnya mereka menjauhi bahkan phobia dengan Islam dan islamisasi. Oleh karena itu, toleransi agama hendaknya berada dalam aturan dan koridor Islami untuk menghindari merasuknya paham menyesatkan yang dipropagandakan oleh kaum orientalis, yaitu pluralisme agama.

Pengertian antara pluralitas dan pluralisme agama pada saat ini sudah banyak direduksi oleh para orientalis dan juga oleh cendikiawan muslim liberal, bahkan cenderung disamakan. Seperti yang dilakukan oleh John Hick, dia menyatakan bahwa agama merupakan manifestasi-manifestasi dari realita yang satu, sehingga semua agama dianggap sama dan tak ada yang lebih baik satu sama lain. Pengertian ini tentu sangat keliru karena berangkat dari pemahaman agama yang sempit, yang memandang agama hanya sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial. Parahnya, pemahaman reduksionistik inilah yang justru semakin populer di kalangan para ahli dan para pemikir.
Adapun Islam, sudah berabad-abad yang lalu meletakkan konsep-konsep dasar dalam menghadapi pluralisme. Meski tidak menjadi bahasan tersendiri yang independen, Islam sebenarnya telah memiliki konsep yang mapan dalam menyikapi pluralisme agama. Biasanya konsep itu terdapat pada salah satu bab atau sub-bab pembahasan fiqhiyyah dalam kitab-kitab fiqh, dan tidak dalam pembahasan ilmu kalam atau teologi Islam. Karena isu-isu pluralitas dalam pandangan para ulama muslim lebih mengupas masalah koeksistensi dan interaksi sosial praktis antar manusia yang berafiliasi pada agama, tradisi, dan kultur yang berbeda, yang diatur dalam sebuah tatanan masyarakat, baik yang menyangkut hak maupun kewajiban, untuk menjamin ketenteraman dan perdamaian umum. Dengan begitu Islam memandangnya sebagai hakikat ontologis yang genuine (otentik) yang tidak mungkin dinafikan. Maka dengan begitu, umat muslim hendaknya memandang pluralisme ini melalui sudut pandang (worldview) keislamannya. Berbeda dengan teori-teori kaum orientalis yang melihatnya dengan melepaskan terlebih dahulu atribut-atribut keagamaannya, lalu mengklaim bahwa pandangannya itu objektif, dan menyimpulkan bahwa pluralisme merupakan keragaman yang hanya terjadi pada level manifestasi eksternal yang superfisial dan tidak hakiki, sehingga menurut mereka, yang beragam itu pada dasarnya adalah sama.

Sehingga pada tataran solusi pun, Islam menawarkan solusi yang praktis sosiologis karena permasalahan pluralisme lebih merupakan permasalahan yang aplikatif, praktis, administratif, dan historis, yakni dengan membangun tatanan masyarakat yang solid. Sementara teori-teori pluralisme orientalis memberi solusi teologis epistimologis, karena menganggap permasalahan tersebut adalah menyangkut keimanan atau teologi, yakni dengan menganggap semua agama adalah sama.


Referensi:
Baisard, Marcel A., Humanisme Dalam Islam Cet. I, pent.: H. M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980)
Hasan, Masudul, History of Islam Vol. I, (India: Adam Publishers & distributors, 1995)
Mas’du, Abdurrahman, Menuju Paradigma Islam Humanis, (Yogyakarta: Gama Media, 2003)
Balitbang dan Diklat Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Tafsir al-Qur’an Tematik: Hubungan Antar Umat Beragama Cet. I, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2008)
Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis Cet. I, (Jakarta: Perspektif, 2005)

0 komentar:

Posting Komentar