Ahlan Wasahlan wa Marhaban Biziyaaratikum.. Selamat Membaca dan Menikmati Sajian dari kami.. :)..
Penasihat : Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam | Pemimpin Umum : Joko Waluyo, S.Pd.I | Pemimpin Redaksi :Devi Muharrom Sholahuddin, Lc. | Wakil Pemimpin Redaksi : Muhammad Sendi Sayyina, S.Pd.I | Dewan Redaksi : Ali Nurdin, M.S.I, Asep Deni Fitriansyah, M.Phil., Asep Ali Rosyadi, S.Ag., Asep Roni Hermansyah, S.Pd.I, Ajat Syarif Hidayatullah, S.Pd.I Al-Hafidz | Distributor : Munir Hermansyah, S.Pd.I, Egi Mulyana, S.Pd.I, Acep Mutawakkil | Dapur Redaksi : Gedung Perpustakaan Pondok Pesantren Darussalam Sindang Sari Kersamanah Garut Indonesia 087758202070 | Risalah Ilmiah FIGUR Darussalam diterbitkan oleh Forum Ilmiah Guru (FIGUR) Pondok Pesantren Darussalam, terbit seminggu sekali, Redaksi menerima tulisan dari berbagai kalangan dan berhak untuk mengeditnya tanpa merubah maksud dan isi tulisan | Kritik dan saran silahkan hubungi redaksi via surat, telepon atau email (figur-darussalam@yahoo.com)

Senin, 08 November 2010

JANGAN BERHENTI MEMBACA !

No. 09


JANGAN BERHENTI MEMBACA !
Oleh : Asep Roni Hermansyah, S.Pd.I1


Ilmu bagi seorang pendidik ibarat persediaan logistik yang harus dijaga agar jangan sampai menipis dan habis persediannya. Dalam suasana perang, saat persediaan logistik menipis, habis atau berhasil dikuasai musuh, akan terjadi kekalahan signifikan yang bisa meluluhlantakan eksistensi. Tengok sejarah, saat Rasulullah saw. menguasai sumur-sumur di areal perang Badar, Quraisy hanya mampu berdiri tegak beberapa saat dan kemudian bertekuk lutut. (Lihat: Sirah Nabawiyah –pelajaran dari kehidupan nabi-, DR. Musthafa As-Siba’i, hal. 67, pererjemah Shalihin Rasyid, Era Intermedia, Solo. Atau lihat: سيرة ابن هشام - ج 1 / ص 620)

Ilmu bagi seorang pendidik ibarat pedang bagi seorang pejuang (mujahid). Bisa digunakan untuk membela diri atau menyerang. Jika pedang itu tajam, akan tercipta kemenangan. Namun sebaliknya jika tumpul atau hanya disarungkan, seakan-akan dengan suka rela menjadi seorang pecundang.
Ilmu bagi seorang pendidik ibarat pelita ditengah gelap malam. Jika ia ada dan tersedia maka jalan terjal penuh duri masih bisa dilewati. Akan tetapi, jika ia padam, jalan lurus dan lenggang pun seakan menanjak dan penuh onak.

Ilmu, tidak akan ada dengan serta merta. Meniup sekali, kemudian rangkaian kata dan untaian kalimat masuk dengan lancar kedalam akal pikiran hanya terjadi di dunia dongeng. Membakar buku, mencampur abu dengan air, meminumnya dan ilmu hadir secara kasyaf hanya dagelan konyol orang-orang pandir.
Layaknya sebuah komputer, ada input, proces dan output. Ilmu juga memerlukan input agar bisa di-print out. Input ilmu pengetahuan adalah membaca. Dengan membaca intensif, seorang ‘alim (Pendidik/Ustadz/Santri) akan mampu menghasilkan karya, lancar berbicara, lugas mengulas, mudah menelaah, kreatif menulis, kritis berfikir, bijak memutuskan, dan lebih hati-hati dalam berperilaku.

Memaksa diri untuk memulai membaca sangat berat, dan akan lebih berat jika tidak pernah mau untuk memulai. Membaca adalah proses merubah untuk berubah. Setelah seseorang membaca ia akan sampai pada suatu ilmu, ilmu itu harus mampu merubah pola fikir, watak dan perilaku. Inilah yang sulit, inilah yang dihindari, inilah momok menakutkan bagi mereka yang malas membaca. Merasa takut saat bacaan itu menjadi ilmu ternyata tak mampu untuk mengamalkan dan mengajarkan. Takut terkena delik sebagai seorang ‘alim yang tidak ‘amil. Padahal, saat membaca ditinggalkan, dengan otomatis ia kena delik memelihara kebodohan. Nah lho!

Biblioholism

Biblioholism atau disebut juga literary addiction bisa diterjemahkan sebagai kecanduan buku. Berbeda dengan pembaca buku biasa. Mereka lebih ekstrem karena lebih tamak membeli, mengumpulkan, dan lebih rakus membaca buku. Semua itu menempatkan mereka dalam dunia eksotis yang disebut biblioholic (orangnya).
Pada abad ke-18 ada seorang pakar perundang-undangan Perancis, Boulard, begitu bernafsu mengoleksi buku sampai harus membeli rumah keenam untuk menampung semua koleksi bukunya. Namun, dia bibliomania; membeli dan mengoleksi buku tetapi tidak membaca. Dia bukan seorang bibliofil (bibliophile), yaitu senang membeli dan rajin membaca buku sampai menguasai apa yang ia baca.
Ada istilah lain yang sejalan dengan itu, tetapi ada perbedaan yang melatar belakanginya, seperti bibliotaf (bibliothap), yaitu orang yang ingin buku-bukunya aman, sehingga buku-buku tersebut dikubur supaya awet. Ada juga Bibliocast adalah orang yang tak tahan ingin merobek bila melihat halaman buku yang baik. Ia bisa disebut penghancur buku. Lain lagi dengan biblionarsis. Ia membeli buku mahal yang kemudian dipajang dengan baik hanya untuk pamer dan mendapat pujian. Itulah pendapat Tom Raabe dalam bukunya Biblioholism, The Literary Addiction (Fulcrum Publishing, 1991).

Indonesia berada di urutan ke-21 sebagai negara yang mempunyai kampung buku (book village) kedua di Asia Tenggara setelah Malaysia. Kampung buku di dunia ini awalnya digagas oleh Richard Booth dengan membuat book town di Wales, Inggris, yang disebut Hay-On-Wye. Selanjutnya diikuti beberapa negara, di antaranya Redu Village du Livre (Belgia), Bredevoot (Belanda), Miyagawa (Jepang), dan Kampung Buku Langkawi (Malaysia). Di Indonesia, kampung buku tersebut berada di Desa Buku Taman Kyai Langgeng yang terletak di kawasan obyek wisata Taman Kyai Langgeng, Kota Magelang, Jawa Tengah. (lihat : Mamat Sasmita, http://www.prakarsa-rakyat.org/ artikel/ news/ artikel.php? aid=22454, dengan beberapa perubahan)
Mana diantara label diatas yang menempel dalam diri kita: kolektor buku, penikmat buku, pemajang buku, perusak buku, atau sama sekali asing dengan buku? Anda lebih tahu, bukan !

Muslim dan Membaca

Jauh sebelum Richard Booth menggagas kampung buku, Khalifah Al-Makmun sudah menciptakan Baitul-Hikmah. Perpustakaan besar sekaligus Lembaga Khusus untuk menulis, menerjemah, menelaah, dan membaca buku. para ulama muslim adalah orang-orang yang tidak pernah berhenti membaca. Bahkan, setiap orang dari mereka memiliki koleksi bacaan (perpustakaan pribadi) yang jumlahnya melebihi perpustakaan umum zaman sekarang. Mari kita baca secara langsung tulisan F.B. Artz yang dikutip DR. Salah Zaimeche saat mengomentari kenyataan tersebut:

We hear of a private library in Baghdad from as early as the ninth century that required a hundreed and twenty camels to move it from one place to another.

Saya terjemahkan secara bebas: (kami mendengar bahwa ada satu perpustakaan pribadi di Baghdad pada abad ke-19 M memerlukan seratus dua puluh unta untuk memindahkan buku koleksinya dari satu tempat ke tempat yang lain.)

Di halaman berikutnya dia menulis:
Another scholar of Baghdad refused to accept a position elsewhere because it would take four hundreed camels to transfort his books. The catalogue of this private library filled tens volumes, wich is the more astonishing when it is realized that the library of the king of France in 1300 had only about four hundreed titles.

(Lihat : F.B. Artz, The Mind: The Mind of The Middle Ages; third edition revised; The University of Chicago Press, 1980; pp. 149,153. Atau lihat : Baghdad, Salah Zaimeche, Ph.D. Foundation For Science Technology and Civilisation, June 2004, Manchester, United Kingdom. www.fstc.co.uk)

Saya terjemahkan secara bebas: (seorang ilmuan (sarjana) lain, menolak untuk menerima jabatan yang ditawarkan kepadanya disetiap tempat. Sebab, ia harus menyediakan empat ratus ekor unta sebagai alat transportasi untuk memindahkan koleksi buku yang ia miliki. Katalog dari koleksi buku di perpustakaan itu mencapai sepuluh volume (jilid). Yang lebih mengejutkan, ternyata pada saat yang sama, Raja Perancis pada tahun 1300 M hanya memiliki empat ratus jilid buku saja.)

Mari kita sedikit kritisi kenyataan diatas :
1. Koleksi buku yang demikian banyak menunjukan bahwa ilmuan tersebut mencintai ilmu pengetahuan.
2. Jika sepersepuluh saja dari koleksi itu pernah dibaca oleh pemiliknya, maka pengetahun pemilik perpustakaan tersebut sungguh sangat luas. Apalagi jika seluruhnya pernah dibaca.
3. Jabatan yang tinggi tidak membuat ilmuan tersebut silau. Ia menolaknya karena lebih senang bermesraan dengan buku-bukunya. Perbedaan mencolok dengan zaman ini, para pencari jabatan hanya memiliki beberapa jilid buku saja sebagai koleksi yang dipajang untuk menambah wibawa dimata pendukungnya (biblionarsis).
4. Harta (uang) yang dikeluarkan oleh ilmuan tersebut sungguh tiada terkira. Apalagi jika dikalikan dengan harga kertas, pada saat itu masih termasuk barang mahal dan langka. Berbeda jauh dengan orang-orang di zaman ini, yang lebih suka membeli barang-barang elektronik dan aneka furniture penghias ruangan daripada membeli buku.
5. Jika perpustakaan pribadi sampai sedemikian banyak jumlah koleksinya, maka sebanyak apa koleksi buku yang ada di Perpustakaan Baitul-Hikmah milik Khalifah.
6. Sebagai ilustrasi, Maktabah Ibnu Shalah Darul Aitam memiliki sekitar 800-1000 jilid buku berbagai ukuran disimpan dalam dua rak. Saya mengambil perkiraan minimum, jika buku-buku itu bisa diangkut dengan lima ekor unta, maka perpustakaan pribadi milik ilmuan diatas jumlahnya sekitar 80 kali Maktabah Ibnu Shalah, Subhanallah. Padahal, jika Asatidzah, Ustadzat, Santri dan Santriyah mau membaca buku-buku yang ada di Maktabah Ibnu Shalah saja, wawasan keilmuan pasti meningkat dengan pesat dan fenomenal. Apalagi jika 80 kali lebih banyak. Atau ditambah Maktabah Kubro dan Maktabah Syamilah (digital) yang jumlahnya hampir mencapai 36 Gigabytes. Jika dicetak, Kampung Sindangsari pasti tertimbun buku. Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang selalu mensyukuri nikmat as-sam’u (pendengaran), al- absharu (penglihatan) dan al-af`idah (matahati) dengan banyak membaca.

Saat Berhenti Membaca 

Ketika buku tak lagi mampir ditangan walau sekejap, ada kehilangan pencapaian yang sangat banyak yang seharusnya mengisi relung-relung terdalam dari hati dan pikiran. Ada banyak kemunduran yang diciptakan dengan sengaja dan suka rela.

Saat mengajar Tafsir, pernahkah membuka kitab-kitab tafsir dan mengambil keterangan dari kitab-kitab tersebut sebagai referensi? Bukankah ada banyak hasil karya para ulama yang bisa dijadikan rujukan? Tasir Ibnu Katsir, Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ruhul-Ma'ani, Shofwatut-tafasir, Tafsir Fi Dzilalil-Quran, dll.
Saat mengajar Tarikh Islam, pernahkah membuka maraji utama sejarah nabi Kitab Sirah Ibnu Hisyam? membuka beberapa maraji tarikh seperti Al-Bidayah Wan-Nihayah, Usudul-Ghabah, Hayatush-Shabah? Atau mungkin mendengar nama kitab-kitab itu saja baru sekarang? Lalu bagaimana mungkin wawasan keilmuan akan berkembang jika khazanah Islam saja tidak pernah dibuka dan dikenali!

Ketika membaca tak lagi menjadi prioritas utama, maka persediaan ilmu dalam gudang akan semakin berkurang. Ketika ia dibutuhkan, hanya akan ada kata maaf: “Maaf saya tidak tahu”, “Maaf saya kurang begitu faham”, “Maaf saya belum sempat membaca”. Bahkan mungkin akan terjadi penolakan terhadap kebenaran, karena tidak pernah membaca akan menciptakan dinding kebodohan. Jika dinding itu menyekat jiwa orang yang sombong, ia akan berkata, “Mengapa mesti begini”, “Kok tidak sesuai dengan logika”, “Ini bertentangan dengan hak asasi manusia”. Dalam ranah mikro, akan muncul nada dan gaya pesimis skeptis, “Saya tidak berani bergaul langsung dengan anak dan mengontrol ke lapangan. Soalnya, takut ditanya dan tidak mampu untuk menjawab”. Innalillahi, Bagaimana mau maju!


1) Penulis alumni Reward 2001, Pesantren Darussalam Sindangsari Kersamanah Garut. Alumni Ma'had 'Aly Li I'dad Mu'allimin Jakarta. Sekarang, mengajardi Pesantren DarulAitam

0 komentar:

Posting Komentar